Atorcator

Atorcator

Menulis adalah usaha merawat kejernihan berpikir, menjaga kewarasan, dan menyimpan memori sebelum dunia terkatup.

Latest Update
Fetching data...

07 Desember 2019

Kisah Pangeran dan Tuan Putri dalam WhatsApp

Kisah Pangeran dan Tuan Putri dalam WhatsApp

Penulis: Vanzaka Musyafa
Sabtu 7 Desember 2019
Ilustrasi: Pixabay

Shohibul Bahri, Bojonnegoro 10 april 1997. Sifat seorang laki laki asal Bojonegoro ini berbeda dari kian banyak laki-laki pada umumnya. Kiranya seperti itu sedikit mukaddimah.

Terkadang, dia mau pergi, tetapi tidak memiliki tujuan pasti. Sosok yang kerap dipanggil pak de itu tidak seperti sikap cowok cowok lain pada umumnya. Mudah meninggalkan pelabuhan satu dan berlabuh ke pelabuhan lain.

Perempuan bukan pelabuhan, ujar pak de dalam hati nurani. Baginya, sekali berlabuh itulah rumah terindah. Meski kata orang, rumput tetangga lebih indah.

Buat Pak de rumah sendiri itu sangat nyaman dan tidak tergantikan. Apalagi persinggahan pertama semasa hidupnya.

Mungkin, itu pula yang dirasakan Titin Sulistiyowati. Sapaan akrabnya Bu de, yang merasa aneh dengan satu laki-laki ini, dengan mudahnya mengabaikan pelabuhan lain hanya untuk kembali kepada pelabuhan pertama, yaitu Bu de.

Pak de memang dikenal pemalu orangnya. Ketika berkomunikasi lewat media sosial (katakan saja WA [WhatsApp]) perasaan bude seperti tuan putri sesungguhnya, yang hidupnya sangat bahagia bersama pangeran.

Namun, perasaan itu agak memudar di mana saat keduanya bertemu dalam satu acara wisuda. Dan mungkin juga di waktu-waktu yang lain. Saat itu, mereka berfoto, di saat itu pula tuan putri melihat kejanggalan di wajah sang pangeran.

Benarkah ini pangeran yang membahagiakanku di WA ? Dia bertanya-tanya dalam benaknya untuk meyakinkan diri, karena seakan rasanya berbeda saat berada di dunia WA dan dunia nyata.

Kebimbangan tuan putri mulai tumbuh. 50% keraguan mulai menguasai hatinya. Melihat pose pangerannya yang dirasa berbeda dengan imajinasinya di dunia WA.

Namun sekali lagi, pangeran yang kusebut pak de itu pemalu orangnya, dia kurang pede memperlihatkan kesetiannya di hadapan publik. Jelas berbeda dari cowok lain yang dengan pede-nya selfi dan dipost ke instastory.


Hatinya bersih, campur aduk perasaan takut. Bersih hatinya tidak mudah berlabuh ke pelabuhan baru. Khawatir atas kepergian yang akan cepat menghantui ketika kata hatinya diketahui publik. 

Pada suatu ketika, tuan putri kembali 100% yakin kepada sang pangeran. Melihat staus WA-nya yang kerap galau ketika pelabuhan itu terasa bukan lagi pangeran yang berhak mendapatkan.

Berkali-kali membuat story bernuansa galau. Keahliannya meguasai handam, pangeran menggoreskan tinta bertuliskan arab "aku cinta kamu." dan di story' lain "paringi sabar Gusti."

Bu de tidak melihat itu hanya sekali, tapi berkali-kali. Story Pak de seakan selalu mewakili perasaan malu pak de untuk mengatakan kepada Bu de "jangan tinggalkan aku tuan putri..!"

Pada satu ketika, Pak de merasa semakin menjauh dari pelabuhan. Tidak kuasalah pak de untuk curhat kepada sahabatnya. Tentu tidak semua pak de curhati. Hanya orang tertentu yang dia pilih untuk berbagi  jawaban-jawaban yang menenagkan hati.

kata salah satu sahabatnya, sifatmu seperti saya. tidak mudah meninggalkan pelabuhan yang telah nyaman disinggahi. "Kamu punya hati yang setia. Ikat tuan putri, dan jaga", tegas sahabatnya.

Kamu (pak de) tidak jauh beda saat sahabatmu dulu saat berada di posisimu. Sahabat gatelmu (yang usil) ini tidak mau melihat masa lalu yang tidak tertolong itu terjadi pada sahabat seperjuanganmu ini.

Sahabatmu ini sudah nyaman menjadi Biru (aktor dalam novel KATA Rintik Sendu). Biarlah Senjani bahagia bersama Nugraha. Dan itu sudah cukup membahagiakan bagi Biru.

Cita-citanya hanya mendokumentasikan kisah masa lalu dalam artefak yang fenomenal, ya, buku. Berharap, siapa saja yang membaca akan mendapat pelajaran "tidak mudah mempermainkan cinta."

Oh iya, kembali ke pangeran. Setelah mendengar jawaban dari sahabatnya, pangeran meyakinkan niatnya. Mengokohkan hati, dan ingin melanjutkan perjuangan sampai ke pelaminan.

Tentunya dengan izin calon mertua dong. Khitbah, nunggu selesai kuliah kemudian nikah. Kalau ta'aruf sepertinya sedari dulu, pertama kali pangeran dan tuan putri berkenalan. Jadi, masa ta'aruf rasanya sudah selesai dan cukup untuk mengetahui masing-masing keduanya.

Kisah selanjutnya nanti setelah uas. Setelah libur mau lamaran. Jadi, tunggu saja bagaimana kisah pangeran dan tuan putri selanjutnya.

Vanzaka Musyafa Pengurus Jam'iyah Ngopi Pegon Malang
Read More
Catatan Kritis: Menakwil Ceramah Kontroversial Gus Muwafiq

Catatan Kritis: Menakwil Ceramah Kontroversial Gus Muwafiq

Penulis: Muhammad Al-Fayyadl
Sabtu 7 Desember 2019
Gus Muwafiq (antara)

Ini sekadar butir-butir ringkasan dari pengamatan alfaqir secara pribadi dan tanggapan atas merebaknya kontroversi ceramah Maulid Nabi oleh Mas Ahmad Muwafiq (MAM) atau dikenal dengan panggilan Gus Muwafiq.

1/ Satu fragmen dari ceramah MAM pada momen pengajian Maulid yang kontroversial itu, secara retoris dan melihat substansinya, memang keliru, dan bukan saja tak tepat. Lihat mimik wajahnya, ada kesan menyepelekan dan mengentengkan (istikhfaf) terhadap “khilafiyah” (perbedaan pendapat/perbedaan versi riwayat) mengenai sejumlah aspek dari Kelahiran Rasulullah Muhammad (shallallahu ‘alahi wa sallam). MAM menafikan dan mementahkan pendapat-pendapat ulama seputar, pertama-tama, adanya pancaran sinar pada jasad Rasulullah kala lahir. Ia bahkan tidak melakukan takwil sufistik atau metafisik atas “cahaya” tersebut—yang sebenarnya sangat mungkin kalau melihat posisinya sebagai “budayawan” NU. Ekspresi wajahnya kala mengisahkan semua itu memang menyinggung, dan sungguh tak patut. Bukan cerminan adab selayaknya orang yang menyitir Rasulullah. Tidak ada “‘ayn at-ta’dhiim” (raut penghormatan) terhadap nama Nabi. Itu tinjauan bahasa mimik dan retoris.

Dilihat dari substansinya, ada beberapa poin yang dipermasalahkan.

Satu, soal ada-tidaknya cahaya Nabi pada momen kelahiran.

Dua, soal kondisi Nabi di masa kanak-kanak yang pernah “rembes” (kata ini kemudian menjadi multitafsir).

Tiga, soal kondisi masa kanak-kanak Nabi yang disebut-sebut tidak begitu terurus oleh kakeknya, Sayyidina Abd Muththalib r.a.

Mengenai soal pertama, ada peluang dari penceramah untuk mengeksplorasi dimensi-dimensi “cahaya” pada momen persalinan ibunda Rasulullah, Sayyidah Aminah r.a., dengan penalaran logis, filosofis, atau metafisik, bahkan metaforis (sastrawi) yang memungkinkan pendengarnya menghayati momen kelahiran itu dengan intelektualitas yang kaya dan sarat emosi bahkan spiritualitas. Namun, itu tidak dilakukannya.

Dengan gaya “realisme vulgar”, artinya memaknai sesuatu hanya pada objeknya yang fisik dan empiris, MAM memaknai cahaya sebagai “sinar” yang bisa dilihat dan diukur secara fisik. Ini vulgar, dan tidak memadai menggambarkan kekayaan nuansa pada momen kelahiran suci tersebut. Memang, salah satu di antara riwayat bersanad Shahih yang kita terima mengenai hal ini adalah hadits riwayat ‘Irbadh bin Sariyah r.a., yang mengandung kata-kata Rasulullah menyifati kelahiran beliau:


ورؤيا امي التي رأت

“dan mimpi ibundaku yang melihat (sesuatu pada saat kelahiranku)”.

Yang diberi penjelasan oleh Sayyidina ‘Irbadh:


وان ام رسول الله ﷺ رأت حين وضعته نورا اضائت له قصور الشام

“Dan ibunda Rasulullah (shallahu ‘alaihi wasallam) (bermimpi) melihat cahaya, kala melahirkannya, yang membuat gemerlap istana-istana Syam” (HR Ahmad, Ibn Hibban, dan Al-Hakim dengan sanad Shahih pada riwayat Ahmad).

Dari sinilah kita mengenal kekayaan narasi yang disajikan para ulama pengarang kitab Maulid. Seperti kata-kata Imam Abdurrahman Ad-Diba’i :


فاشرق ببهائه الفضا وتلألأ الكون من نوره واضا

“Maka memancarlah dengan pesonanya medan luas (dunia dan hamparannya), dan alam semesta menjadi gemerlap dari cahaya dan bersinar”.

Atau kita mengenal dalam kitab Maulid Imam al-Barzanji yang sangat populer redaksi berikut:

وتدلت اليه ﷺ الأنجم الزهررية , واستنارت بنورها وهاد الحرم ورباه , وخرج معه نور اضائت له قصور الشام القيصرية , فرأها من ببطاح مكة داره ومغناه

“dan mendekatlah kepadanya (Rasulullah) bintang-bintang (Sayyidah Aminah) Az-Zuhriyah; pelataran-pelataran tanah Haram dan pelosoknya menjadi terang; dan bersama (kelahirannya) keluar cahaya yang membuat gemerlapan istana-istana kekaisaran Syam; maka melihatnya orang-orang di lembah Makkah, negeri dan tempat kecukupannya”.

Apakah narasi-narasi ini mengada-ada, seperti terkesan dari penilaian MAM pada satu sesi pendek ceramahnya tersebut? Ini bisa jadi duel intelektual dan ruhani menarik antara MAM dan para pengarang kitab Maulid, sepeti Imam ad-Diba’ie atau al-Barzanji, yang pastinya bukan orang sembarangan dan memiliki “bashirah” (mata batin) dalam memaknai kelahiran Nabi (Rata-rata para pengarang Maulid adalah para ulama yang masyhur telah berkali-kali mengalami mimpi bertemu atau ditemui Rasulullah). Tapi baiklah, kalau kita tidak mampu “menerawang” ke dalam sisi itu, kita ambil pemaknaan atas makna “cahaya” dan “melihat” dalam teks-teks itu.

Ini tema klasik dalam literatur kesufian, yang pasti tidak asing bagi MAM. Kali alfaqir sedikit meninjaunya dari sudut pandang linguistik (lughawi) dan falsafi.

Pertama, di sana terdapat dua versi “melihat”. Dalam hadits riwayat Ahmad, ibunda Nabi melihat cahaya itu dalam mimpi, sebagai kabar gembira atas kelahiran putranya. Sedangkan para ulama Ashabul Maulid memaknainya sebagai melihat dalam mimpi sekaligus dengan mata kepala. Di sini kita tiba pada ambiguitas dan kekayaan tafsir kata “melihat”.

Secara ringkas, epistemologi Islam mengenai penglihatan tidak positivistik-empiris. Penglihatan pertama-tama terkait dengan level keimanan dan pengetahuan. Ada ‘Ilm al-Yaqin, ‘Ain al-Yaqin, dan Haqq al-Yaqin. Penglihatan yang hanya mengakui objeknya pada level empiris dengan mata kepala berada pada taraf ‘Ilm al-Yaqin. Penglihatan ini terbatas dan tidak mampu menangkap apa yang melampaui indera mata. Prinsip utama epistemologi Islam adalah: semakin tinggi tingkat keimanan dan pengetahuan, semakin ia mengakui yang luput dari mata kepala namun  dapat ditangkap oleh “indera” batin (bashirah, qalbu, dll.).

Secara ringkas, cahaya kelahiran Rasulullah mungkin saja tidak terlihat dengan indera mata pada level ‘Ilm al-Yaqin, namun bisa ditangkap pada dua level di atasnya (‘Ain al-Yaqin dan Haqq al-Yaqin). Sebagaimana sebagian mimpi orang shalih memiliki kebenaran nyata (haqq), mimpi ibunda Nabi juga benar. Jika kita melihat di level mana mimpi ini berada, bisa dipastikan itu adalah Haqq al-Yaqin.

Pada level ini, sebagian teori ulama mengatakan, ketika orang mencapai Haqq al-Yaqin, pemilahan antara objek yang bisa dilihat oleh mata kepala dan mata batin menjadi tidak berlaku. Ia bisa disaksikan sama validnya baik oleh mata kepala maupun mata batin. Ini berlaku pada banyak kasus para hamba pilihan Allah yang menyaksikan sesuatu atau kejadian dengan mata kepalanya, meski tak terlihat oleh mata orang lain.

Jika tidak mau berumit-rumit dengan alur pemaknaan ini, kita bisa mengambil “realisme” yang tampaknya menjadi pola pikir MAM. Misalnya dengan merujuk pada fakta adanya cahaya-cahaya fisik yang diberikan Allah sebagai mukjizat bagi para Nabi. Seperti cahaya putih pada tangan Nabi Musa a.s. Apabila Nabi Musa saja diberikan cahaya fisik sepert itu, bukankah Rasulullah lebih utama untuk memilikinya?

Motif untuk “memahamkan” generasi milenial tidak dapat menjadi alasan untuk menafikan kemungkinan memaknai cahaya itu secara fisik. Tentu MAM juga mengerti apa yang dimaksud dengan “Nur Muhammad”. Nur itu meliputi aspek lahir maupun batin. Kalau niatnya memahamkan generasi milenial (meski alfaqir meragukan alasan itu, mengingat audiens pengajian rata-rata orang tua di desa setempat), MAM bisa mengambil analogi cahaya itu dengan sinar Handphone. 

Sinar Handphone atau Komputer itu nyata secara empiris, memiliki kadar radiasi. Jika benda mati seperti Handphone saja memiliki energi dan memancarkan radiasi tertentu, bagaimana dengan jisim Rasulullah yang hidup dan dianugerahi energi Cahaya Ilahi yang telah ada sejak sebelum penciptaan alam? Bukankah lebih masuk akal untuk juga bercahaya secara fisik? Bagi anak muda seperti alfaqir, seawam-awamnya generasi milenial, ini lebih masuk akal. Kalau belum bisa dipahami juga, kita bisa belajar kepada para fisikawan untuk soal ini.

Cara penyajian MAM atas kelahiran Rasulullah, meski niatnya mungkin hendak menonjolkan sisi manusiawi Rasulullah, sebenarnya agak mirip dengan pola pikir kaum Wahabi yang secara epistemologis menganut paham realisme vulgar dalam memaknai peristiwa-peristiwa metafisik. Kaum Wahabi tidak segan akan menolak adanya hal-hal “supranatural” lantaran semata-mata berpijak pada apa yang empiris, menolak takwil, dan bahkan menolak tasawuf. Ini sekadar catatan kritis. Bukan berarti MAM adalah seorang Wahabi. Beliau, alfaqir yakin, adalah Nahdliyin tulen, bahkan juga dikenal aktivis hal-hal “supranatural” (ilmu kanuragan). Namun khusus mengenai poin ini, tampaknya ada kemiripan antara garis epistemologi kaum Wahabi dan tafsir MAM atas peristiwa pencahayaan pada momen kelahiran Rasulullah.

Bagi yang hendak memperdalam keimanan dan pemahaman atas dimensi-dimensi pencahayaan Rasulullah, sufi besar dari Andalusia, Imam Ibnu Sab’in (wafat 669 H), telah menulis karya yang sangat bagus tentang ini, “Anwar an-Nabi (shallallahu ‘alaihi wa sallam) Asraruha wa Anwa’uha” (Cahaya-cahaya Nabi: Rahasia dan Ragamnya). Di dalam karya tersebut, Ibnu Sab’in menyebutkan dua jenis cahaya Nabi yang relevan dalam kasus MAM, dan sayangnya disangkalnya, yaitu “nur al-maulid” (cahaya yang mengiringi kelahiran Nabi) dan “nur al-khilqah” (cahaya wujud fisik jasmani Rasulullah dari ujung rambut hingga ujung kaki).

Soal kedua, dalam banyak riwayat, memang masa kecil Nabi pernah ditimpa sakit mata ringan (ramad). Tapi hal itu tidak berlangsung lama. Itu semata-mata bukti bahwa jasad seorang Nabi pun bisa sakit, namun sakit yang manusiawi dan tidak merusak fitrah kenabiannya. Namun, ini tergantung dari konotasi dan denotasi apa yang dipakai MAM dengan kata “rembes”. Bila bermakna peyoratif, maka mengandung unsur penghinaan. Bila tidak, maka netral.

Namun lagi-lagi ketika disampaikan dengan mimik dan intonasi yang terkesan menyepelekan, sebagian penonton pasti akan cenderung berpikir ini penghinaan. Di situ letak kekurangtepatannya. Menyebut sakit Nabi, selayaknya seorang Muslim melakukannya dengan menunjukkan rasa empati dan kesedihan, mengenang duka, derita, dan rasa sakit beliau.

Soal ketiga, menyebut masa kanak Rasulullah tidak terurus, secara tekstual dan logis, bertentangan dengan dua ayat dalam surat Adh-Dhuha:


ما ودعك ربك وما قلى

“Tuhanmu tidak meninggalkanmu dan tidak pula membencimu”


الم يجدك يتيما فاوى

“Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungi(mu)”

Secara logis, bagaimana mungkin Allah (subhanahu wa ta’ala) akan membiarkan telantar tak terurus seorang anak yang kelak dipersiapkan-Nya sebagai Kekasih dan Pembawa Risalah-Nya? Tanpa perlu berspekulasi lebih jauh, berbagai riwayat telah menunjukkan, meski masa kanak Nabi dipenuhi duka-nestapa, beliau tidak telantar dan senantiasa memperoleh pengasuhan terbaik dari orang-orang di sekelilingnya.

2/ Berbagai penafsiran dan tanggapan di atas barangkali mubazir, mengingat kontroversi ini telah melampaui ranah dalil dan diskusi ilmiah, dipolitisasi sedemikian rupa oleh pihak-pihak yang memiliki massa atau jamaah. Pada akhirnya, kita menyaksikan duel ironis dan lucu, yang lagi-lagi Su’ul Adab ditinjau dari akhlak kita kepada Rasulullah, antara gerakan “Kami bersama Gus Muwafiq” versus gerakan “Kami bersama Rasulullah”. Jelas tidak “apple-to-apple”. Lebay.

Problemnya merembet ke ormas. Di belakang MAM ada ormas NU, di belakang para pengkritiknya ada berbagai macam ormas, dari NU sampai FPI.

Berbicara politisasi kasus ini, bukan kali pertama di negeri ini. Lagi-lagi, soalnya statemen. Dari sejak Ahok hingga Sukmawati, berbagai upaya politisasi dilakukan. Siapa yang menangguk untung? Tidak ada. Semua dirugikan. Mungkin bukan kebetulan bahwa isu penistaan agama oleh MAM ini muncul berbarengan dengan rencana besar pemerintah menggolkan sejumlah Undang-undang pro-Investasi melalui Omnibus Law. Bukan tak mungkin, elite oligarki negeri ini sedang mengambil keuntungan dari terkurasnya energi umat untuk saling menjegal.

Menyederhanakan kelompok pengecam MAM sebagai “kadrun” atau “FPI”, jelas bias dan tidak komprehensif. Berbagai suara dari majelis shalawat, dari kalangan Habaib dan kiai yang tidak berpolitik praktis, menunjukkan bahwa reaksi atas MAM bukan semata-mata dari kelompok “Islam radikal”. Ia juga datang dari kalangan moderat NU sendiri, atau yang dekat pada kultur Nahdliyin.

Menyebut sesama Muslim sebagai “kadrun” (“kadal gurun”) juga sebentuk “sabb al-muslim” (mencaci sesama Muslim), yang sangat dilarang Rasulullah. Atas nama membela seorang tokoh dari tuduhan “sabb an-Nabi”, kita tega melakukan “sabb al-muslim”. Ini lingkaran setan ujaran kebencian yang sedang membelit umat Islam Indonesia, tak terkecuali kaum yang mengaku “moderat”.

Sekarang, bagaimana menghentikan agar ujaran kebencian ini tidak semakin memperkeruh umat? Berbagai ujaran -- beberapa muncul dari kalangan pesantren, seperti statemen Mbah Yai Muhammad Najieh Maimoen  -- telah mengarah kepada persekusi  dan wacana kekerasan (seruan membunuh atau memenjarakan). Ini di luar ekspektasi, dan bukan tak mungkin memicu tindakan-tindakan nekat.

Satu-satunya langkah yang mungkin, dan barangkali terbaik, adalah mengembalikan polemik ini kembali ke rel ilmiah, bukan pengkafiran, persekusi, atau adu-massa. Minta pertanggungjawaban ilmiah MAM secara publik. Minta juga tanggapan ilmiah para pengkritiknya. Biarkan jamaah menilai mana yang lebih bermutu. Bedah lagi historiografi Sirah Nabawiyah, diskusikan serta kontekstualkan dengan realitas Indonesia yang aktual dan Nusantara.

Atau, kalau itu dianggap terlalu berlebihan, tempatkan MAM bukan sebagai pakar sejarah, -- yang dituntut akurasinya -- melainkan sebagai “budayawan NU”. Itu tampaknya lebih pas, karena MAM lebih dikenal sebagai budayawan, orang yang mencoba memaknai pesan-pesan agama dengan media budaya.

Kali ini, ia mencoba menarasikan kisah Maulid dengan gaya khas tradisi lisan ala pendongeng dalam kisah-kisah “wayang”. Tujuannya, menampilkan versi yang “tidak resmi” tentang kisah-kisah para Nabi: versi “utak-atik ghatuk”, versi “lokal”. Versi yang berjarak dari apa yang ditemui di kitab-kitab kuning. Masalahnya, apakah strategi “naratologi” atas kisah Nabi seperti ini cocok dan pas untuk penonton Indonesia 2019 yang selalu disibukkan dengan sahut-ribut Lovers dan Haters? Untuk audiens milenial yang telanjur dijejali perang ujaran kebencian di dunia maya, dan di sisi lain, sedang dilanda gairah keagamaan yang luar biasa? Rasanya tidak cocok. Ia hanya cocok di alam Jawa setengah abad lalu, barangkali. Ketika ritme kehidupan lebih santai, orang menyimak lebih nikmat. Tidak dikejar apa-apa. Di pelosok desa-desa Jawa yang bersahutan suara pepohonan dan tembang. Itulah “alam” sebenarnya Mas Ahmad Muwafiq.

Menyikapi perbedaan pendapat, mari biasakan meng-HUJAH, bukan meng-HUJAT.

Umat Rasulullah dikenal oleh umat-umat terdahulu sebagai “al-hammaduun”, para pelantun pujian (tahmid). Jangan gegara kasus ini, kita lalu berubah dikenal menjadi “as-saabbuun”, para penghujat.[]

*Tulisan ini sebelumnya dimuat di Beranda Facebook Muhammad Al-Fayyadl

Muhammad Al-Fayyadl Pegiat FNKSDA
Read More

06 Desember 2019

Usul Fiqh Memaknai Penodaan Agama

Usul Fiqh Memaknai Penodaan Agama

Penulis: KH. Imam Nakha'i
Jumat 6 Desember 2019
Ilustrasi: Liputan6

Akhir akhir ini banyak pelaporan pelaporan bahwa si Anu, si ini, si itu melakukan penodaan agama, karena di merendahkan syiar syiar agama. Dalam persoalan ini ada dua hal yg penting di mengerti, pertama apa yg dimaksud " penodaan agama", dan kedua bagaimana "memasukkan, menganggap, menilai ucapan dan tindakan orang sebagai penodaan agama".

Dalam usul fiqh, proses merumuskan konsep penodaan agama disebut "ijtihad bi tahriji al manath", yaitu mengeluarkan pesan pesan agama dari teksnya. Dan yg kedua disebut "ijtihad bi tahqiqi al manath", yaitu meyambungkan pesan yg sudah dirumuskan melalui "ijtihad bi tahriji al manath"  dengan realitas ungkapan dan tindakan seorang.

Contoh sederhana " merendahkan, mengolok olok, mengejek, menghinakan "Rasulullah muhammad saw" adalah sesat bahkan bisa kafir" (menodai agama), ini namanya hasil ijtihad bi tahriji al manath. Apakah "ucapan bahwa Nabi miskin, kelaparan, rembes" adalah penodaan agama, nah ini ijtihad bi tahqiqi al manath.

Harusnya ijtihad bi tahriji al manath dan ijtihad bi tahqiqi al manath adalah tugas "Mujtahid". Sebab kedua model ijtihad ini adalah merupakan satu kesatuan yang tak terpisah, dan membutuhkan keahlian metodologis yang mempuni dalam bidang agama.

Yang naif saat ini adalah, banyak orang orang awam yang mengambil alih ijtihad bi tahqiqi al manath, sehingga sering kali meleset menyambungkan realitas dengan konsep. Menganggap suatu ucapan atau tindakan merepakan penodaan agama, misalnya, padahal sesungguhnya belum tentu begitu.

Ijtihad dalam dua ranah itu memang tidak mudah, sebab itu sebaiknya hati hati. Jangan sampai semangat beragama lebih besar dari kemampuan memahami agama. Wallahu A'lam
Read More
Pemimpin Revolusioner: Jokowi Sebagai Asian of the Year 2019

Pemimpin Revolusioner: Jokowi Sebagai Asian of the Year 2019

Penulis: Satria Dharma
Jumat 6 Desember 2019
Ilustrasi: Liputan6

Kita harus benar-benar sadar dan bersedia menerima kenyataan bahwa kita kini telah masuk ke Era Disrupsi. Era Manual di mana segalanya masih dikerjakan oleh tangan dan harus oleh manusia sudah berakhir. Pintu tol sudah benar-benar tidak butuh tangan manusia untuk proses pembayaran. Kalau kita ke luar negeri kita bahkan tidak perlu lagi menempelkan kartu tol karena kartu tolnya sudah terpasang di kaca depan mobil dan pintu tol bisa langsung membacanya dari jarak jauh tanpa perlu ditempel lagi.

Jadi begitu mobil sampai di depan pintu tol dalam jarak sekian meter pintu tol akan membacanya dan membuka pintu mempersilakan mobil lewat tanpa harus berhenti. Jadi jangan lagi berpikir bahwa kalau kita punya teman yang punya bisnis jalan tol maka keponakan kita bisa kita titip pekerjakan sebagai petugas pintu tol. It’s over. No more job for that kind of thing.

Selain itu filosofi ‘alon-alon waton kelakon’ harus benar-benar kita tinggalkan. Lha wong permainan catur yang dulunya satu game bisa berjam-jam sekarang sudah ada jenis barunya, yaitu ‘lightning chess’ alias Catur Kilat yang hanya memberikan masing-masing waktu bagi pemainnya sebanyak 5 menit saja dalam satu partai. Gendeng…! Saya sampai tidak bisa melihat bidak melangkah ke mana dan dimakan sama apa saking cepatnya mereka bergerak dan tiba-tiba skak-mat…! Matek…!

Kita tidak bisa lagi berlambat-lambat kecuali kita benar-benar ingin tertinggal dan jadi negara besar yang miskin. Negara kecil miskin masih mudah untuk diatasi oleh dunia tapi negara besar miskin adalah benar-benar bencana bagi dunia. Bayangkan seandainya Negara China itu masih ‘sekaya’ Indonesia (yang jutaan warganya cari kerja jadi pembantu rumah tangga di negara-negara lain) maka TKI dan TKW akan setengah mati bersaing dengan ratusan juta warga China yang juga ingin bekerja jadi PRT di negara lain. Untunglah China sekarang sudah benar-benar kaya dan malah bisa memberi pekerjaan pada warga Indonesia.

Di era disrupsi (disruption), yang artinya ‘ketercabutan dari akar’, masyarakat dunia telah menggeser aktivitas-aktivitas yang awalnya dilakukan di dunia nyata ke dunia maya. Terjadi perubahan fundamental atau mendasar pada kehidupan sehari-hari. Revolusi di bidang teknologi mengubah cara bekerja dan kehidupan manusia dengan perubahan yang sangat cepat. Ia mengubah total pola tatanan lama dalam waktu yang sangat singkat.

Perubahan pola dunia bisnis dan industri membuat persaingan kerja tidak lagi linear. Cakupan perubahannya luas mulai dari dunia bisnis, perbankan, transportasi, sosial masyarakat, hingga pendidikan. Disrupsi menginisiasi lahirnya model bisnis baru dengan strategi yang jauh lebih inovatif dan tak dikenal sebelumnya. Era ini menuntut kita untuk berubah atau punah karena ditelan oleh perubahan sistem ini.

Jadi kita harus benar-benar menanamkan kesadaran atau mindset ini pada semua rakyat Indonesia. Wahai rakyat Indonesia, sadarlah bahwa dunia sudah benar-benar berubah. Kalau kalian tidak mau berubah maka kalian akan digilas oleh zaman yang tidak mengenal ewuh pekewuh ini.

Dalam era disrupsi ini jelas kita butuh seorang pemimpin yang mampu berfikir, bersikap, dan bertindak sesuai dan selaras dengan tuntutan zaman ini. Pemimpin era ini dituntut untuk cerdas dalam membuat suatu perubahan maupun inovasi yang mampu menjawab tantangan zaman.

Kemampuan beradaptasi dan berpikir out of the box dengan tingkat kecerdasan emosional yang tinggi  menjadi salah satu syarat untuk menghadapi perubahan yang sangat pesat.  Syukurlah kita memiliki Jokowi sebagai Presiden kita. (OK, beberapa di antara kalian memang masih susah move on dan masih terus membenci beliau. Itu masalah Anda yang serius yang butuh penanganan psikiater andal).

Apa sih ciri-ciri pemimpin revolusioner itu? Pertama, ia harus orang yang rendah hati meski memiliki prestasi yang menjulang. Ia tidak egosentris atau merasa pintar sendiri dan selalu mengedepankan kerja tim. Ia harus pemaaf dan tidak menyimpan dendam betapa pun orang-orang di sekitarnya menghina dan mencaci makinya. Kedua, ia harus berorientasi pada hasil dengan visi yang jelas. Ia memimpin dengan menggunakan kreatifitas dan inovasi yang dilandasi oleh kemampuan berpikir kritis. Ia harus berani keluar dari kungkungan cara berpikir dan bertindak yang rutin dan monoton. Pemimpin tipe ini selalu adaptif, sensitif, dinamis, dan fleksibel sesuai dengan kebutuhan situasi yang berkembang.

Mari kita lihat seberapa revolusioner Presiden Jokowi ini (sila bandingkan dengan pemimpin sebelumnya).

Pertama, Presiden Jokowi jelas bukan orang yang mudah sakit hati dan kemudian memendam rasa tersebut dan menikmati kemenangan dengan membalasnya. Jelas tidak. Ada sih beberapa contoh orang yang gampang sakit hati dan tidak mudah memaafkan. Orang seperti ini benar-benar sudah lewat eranya. Coba lihat betapa dengan mudahnya beliau merangkul Prabowo dan menjadikannya sebagai Menhan. Saya tidak melihat satu pun pemimpin kita sebelum ini yang mampu berpikir, bersikap, dan bertindak begitu revolusioner seperti ini.

Perseteruannya dengan Prabowo is nothing personal dan tindakannya mengangkat Prabowo sebagai pembantunya benar-benar out of the box dan sangat membantu berubahnya situasi konflik di masyarakat. Sekarang kita justru diminta untuk menuntut Prabowo untuk melakukan semua pemikiran briliannya di bidang pertahanan agar tidak ada lagi orang-orang yang meragukan kekuatan pertahanan bangsa kita. Bukankah beliau selama ini mengaku sebagai ‘lebih militer dari militer’ alias core of the core di bidang militer?

Kedua, belum reda kita dikejutkan oleh pengangkatan Prabowo kita dikejutkan kembali dengan diangkatnya Erick Tohir menjadi Mentri BUMN. Kementrian BUMN ini sangat, sangat strategis bagi kemajuan perekonomian bangsa dan selama ini kinerjanya adalah buruk. Bukannya membantu pemerintah dengan menyehatkan keuangan negara, eh sebagian besar BUMN ini (saat ini ada 118 perusahaan) justru menyusahkan dan menggrogoti keuangan negara. Sebagian dari BUMN ini merugi karena tidak efisien, para pejabatnya korup dan suka memanfaatkan harta dan fasilitas perusahaan untuk kepentingan pribadi mereka.

Apa yang terjadi dengan penyelundupan motor Harley Davidson di Garuda kemarin adalah contoh nyata betapa tak bermoralnya para pimpinan BUMN memanfaatkan segala fasilitas perusahaan yang semestinya mereka kelola dengan penuh tanggung jawab dan kehati-hatian. Erick Tohir bertindak tegas dengan menurunkan Dirut Garuda.

Ini adalah contoh pemimpin yang revolusioner yang dipilih oleh presiden yang revolusioner. Erick Tohir diharapkan agar dapat mendongkrak kinerja perusahaan BUMN yang memble, boros, tidak efisien, dan merugikan negara. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyoroti tujuh BUMN yang telah menerima Penyertaan Modal Negara namun kinerja keuangannya tetap merugi pada 2018.

Pada era Rini Soemarno 25 BUMN mengalami kerugian 6,7 trilliun pada tahun 2016 dan pada 2017 kerugiannya 5,2 trilliun. Kerugian di 2018 belum diketahui. Tetapi memang ada penurunan kerugian selama ini. Saat ini jumlah BUMN yang merugi hanya 24 BUMN, jumlah itu 20 persen dari total 118 BUMN yang ada di Indonesia.

Jumlah BUMN yang merugi pun lebih sedikit dibandingkan tahun 2013 di mana ada 30 BUMN yang merugi dengan total kerugian sebesar Rp 32,6 triliun. Sementara itu, pada 2017, Kementerian BUMN mencatat total kerugian yang dialami hanya Rp 5,2 trilliun. Artinya, justru jumlah kerugian turun hingga enam kali lipat (84 persen). Kerugian masih terjadi pada tujuh BUMN, yaitu PT Dok Kodja Bahari, PT Sang Hyang Seri, PT PAL, PT Dirgantara Indonesia, PT Pertani, Perum Bulog, dan PT Krakatau Steel.

Kondisi utang BUMN atau Badan Usaha Milik Negara sudah mulai mengkhawatirkan. Menurut data Bank Indonesia (BI) hingga triwulan I 2018, posisi utang BUMN non-lembaga keuangan saat ini mencapai US$ 47,11 miliar. Jumlah tersebut mengalami lonjakan signifikan sebesar US$ 7,1 miliar dalam dua tahun terakhir. Dengan kurs Rp 14.396 per dolar AS maka utang BUMN non lembaga keuangan telah mencapai Rp 677 triliun.
Jika digabung dengan utang lembaga keuangan publik termasuk bank BUMN total nilainya mencapai US$ 325,92 miliar atau senilai Rp 4.682 triliun. Dan ini artinya utang tumbuh lebih cepat dibandingkan pendapatan. Dibutuhkan seorang pemimpin perusahan yang benar-benar ahli untuk bisa mengubah situasi ini. Erick Thohir sungguh tepat diletakkan di posisinya saat ini.

Keberaniannya mengangkat Ahok sebagai Komut Pertamina juga menunjukkan keberaniannya untuk bertindak tepat meski mendapat banyak tentangan. Erick sama sekali tidak menunjukkan rasa takutnya dalam bersikap dan bertindak. Kita bisa berharap banyak dari Erick Thohir, Sang Pemimpin BUMN Millenial ini.

Selain mengangkat Erick Thohir, Presiden Jokowi kembali mengejutkan kita dengan mengangkat Nadiem Makarim sebagai Mendikbud dan bahkan memberikannya kewenangan lebih besar daripada mendikbud sebelumnya dengan mengembalikan Pendidikan Tinggi ke Kemdikbud. Apa yang dilakukan oleh Jokowi ini sungguh fenomenal, out of the box, luar biasa berani, dan sama sekali tidak terduga (kalau bisa diduga artinya gak ‘out of the box’ dong!). Saya sampai melongo dan menahan napas saking kagumnya melihat keberanian Jokowi menunjuk Nadiem Makarim sebagai Mendikbud. Dua jempol untuk Jokowi.

Bagaimana sosok Nadiem Makarim ini? Soal kemampuannya membuat tindakan-tindakan revolusioner tidak perlu diragukan. Apa yang telah dicapainya sebelum jadi mentri benar-benar fenomenal, luar biasa mengagumkan, dan tak terduga. Saat ini hari demi hari kita melihat betapa revolusionernya cara berpikir, sikap, kata-kata, dan tindakan Nadiem Makarim dalam mengerjakan tugasnya.

Saya yang mengira diri saya berani bersikap out of the box saja terkesima melihat betapa ‘berani’nya Nadiem bersikap begitu kasual pada pelantikan Rektor UI yang baru kemarin. Dia benar-benar percaya diri dan tidak mau larut dalam tatacara yang ada jika dianggapnya tidak benar-benar dibutuhkan. Apa sih perlu dan urgennya memakai jas dan dasi dalam upacara pelantikan tersebut? Kepantasan? Jika Anda berpikir demikian maka jelas Anda masih berpikir dalam lingkup emosional dan bukan cara berpikir millennial.

Apa lagi kejutan yang diberikan oleh Jokowi pada kita? Saya sungguh terharu dan terkagum-kagum pada pengangkatan tujuh staf khusus Presiden yang berasal dari anak-anak muda yang milenial. Tentu saja semua staf khusus Presiden, yang 14 orang jumlahnya itu, adalah orang-orang yang memiliki reputasi dan kapasitas yang sangat tinggi di bidang masing-masing. Mereka adalah anak-anak muda hebat yang telah terbukti mampu melakukan hal-hal yang luar biasa, mampu berpikir out of the box, dan berdampak positif pada lingkungan di mana mereka bekerja sebelum ini. Salah satunya Angkie Yudistia, adalah anak muda penyandang disabilitas. Baru kali ini penyandang disabilitas mendapat kepercayaan yang begitu tinggi untuk menjadi staf khusus presiden.

Meski hanya 14 orang tapi saya berani bertaruh bahwa kinerja mereka tidak akan kalah dengan TGUPP-nya Gubernur DKI Jakarta yang berjumlah 73 orang dan kebanyakan merupakan tim sukses Gubernur DKI Anies Baswedan pada Pilkada DKI 2017. Stafsus Presiden 14 orang mengurusi seluruh Indonesia dibandingkan dengan 73 Stafsus Gubernur DKI yang hanya mengurusi Kota Jakarta dengan anggaran sebesar Rp 19,8 miliar dalam rancangan KUA-PPAS 2020. Silakan nanti dibandingkan kinerjanya. 😀

Itulah sebabnya surat kabar asal Singapura The Straits Times memberikan gelar kepada Presiden Joko Widodo sebagai Pemimpin Terbaik di Asia tahun 2019. Media ini menganggap Jokowi sebagai tokoh pemersatu di tengah kondisi Indonesia yang sedang dalam kondisi tidak stabil.

"Kepribadiannya yang membumi dan kemampuan dalam berhubungan dengan banyak orang serta berempati kepada rakyat jelata mampu menarik perhatian masyarakat di dalam negeri," kata editorial Straits Times seperti dikutip pada Kamis, 5 Desember 2019. "Adalah Jokowi yang pertama kali memperkenalkan konsep kerja sama berdasarkan prinsip-prinsip utama, termasuk keterbukaan, inklusivitas, dan sentralitas ASEAN pada KTT Asia Timur di Singapura, November tahun lalu," tulis Straits Times.

Mari kita beri selamat bagi presiden kita, Bapak Joko Widodo. Semoga beliau mampu membawa Indonesia ke pintu gerbang kemakmuran bangsa. Amin!

Read More
Dua Kisah Indah Kemesraan Rasulullah Bersama Sayyidah Aisyah RA

Dua Kisah Indah Kemesraan Rasulullah Bersama Sayyidah Aisyah RA

Penulis: Abdul Adzim
Jumat 6 Desember 2019
Ilustrasi : pixabay
Suatu ketika Rasulullah ﷺ pernah pulang terlambat ke rumah Sayyidah Aisyah Radhiyallahu Anha karena menjawab semua pertanyaan yang dilontarkan oleh para sahabatnya. Setelah larut malam, kecemasan Aisyah bertambah. Ia tak bisa tidur, akhirnya hanya bisa terjaga menunggu suami yang paling dicintainya tersebut.

Rasulullah ﷺ pun berjalan dengan cepat kerumahnya, Beliau tak tega jika istrinya terlalu lama cemas dan menunggu kedatangannya. Namun, niatnya untuk mengetuk pintu hilang begitu saja karena tak ingin membangunkan istri tercintanya.

Akhirnya, Beliau menggelar sorban didepan pintu dan kemudian tidur diatasnya. Dinginnya malam lebih dipilihnya daripada harus membangunkan istri tercinta. Padahal dibalik pintu itu, Aisyah pun tertidur karena ia khawatir tak mendengar suara ketukan pintu suaminya.

Dalam kisah yang lain diceritakan: Pernah suatu hari Rasullulah ﷺ pulang dari perjalanan jihat fi sabilillah, Beliau pulang diiringi para sahabat. Di depan pintu gerbang kota Madinah nampak Sayyidah Aisyah Radhiyallahu Anha, sudah menunggu kedatangan Beliau. Rasa rindu kepada Rasulullah ﷺ sudah membuncah. Betapa bahagianya Sayyidah Aisyah Radhiyallahu Anha mendapati Rasulullah ﷺ, suaminya tiba di rumah dengan selamat.

Saat Rasulullah ﷺ sedang istirahat melepas penat, Sayyidah Aisyah Radhiyallahu Anha sibuk membuat minum untuk Sang Suami. Setelah minuman selesai dibuat, Rasululluh ﷺ langsung meminum habis minuman yang disuguhkan Aisyah. Padahal biasanya Baginda Nabi ﷺ hanya minum setengah air dari gelas, karena Aisyah sangat suka dan senang minum air sisa dari Rasulullah ﷺ.

Sayyidah Aisyah Radhiyallahu Anha heran bercampur sedih dan bertanya-tanya dalam hatinya, “Kenapa Rasulullah ﷺ tidak menyisakan minum untukku?”.

Tidak lama kemudian Sayyidah Aisyah Radhiyallahu Anha mengambil gelas itu untuk dicuci dan terlihat masih ada setetes air di dalamnya. Karena penasaran Sayyidah Aisyah mencoba meneguk sisa-sisa air tersebut. Entah apa yang terjadi? Tiba-tiba raut wajah Sayyidah Aisyah memerah, karena rasa air di gelas itu ternyata asin. Sayyidah Aisyah baru sadar bahwa yang dia kira gula, malah garam yang dimasukan kedalam air minuman Nabi ﷺ.

Seketika itu Aisyah Radhiyallahu Anha pergi menuju Baginda Nabi ﷺ untuk minta maaf, namun reaksi Rasulullah ﷺ sangat luar biasa, beliau tersenyum bahagia dan mengatakan bahwa air minum itu rasanya enak sekali. Subhanallah.

_______________________________
❤ Bagi kalangan Santri kisah diatas tentu tidak asing lagi, namun sampai detik ini penulis belum menemukan refrensi yang valid. Pernah penulis berkunjung ke beberapa situs web warga netizen barangkali mereka punya rujukan yang valid namun hasilnya tetap nihil. Mohon bantuan informasinya bagi kawan-kawan fb, barangkali ada yang pernah menemukan sumber asli kisah tersebut dalam kitab-kitab hadist atau syirah an-Nubawiyah ❤ Syukron•••

Abdul Adzim Lahir di Surabaya. Domisili Bangkalan Madura. Alumni Pondok Pesantren Sidogir. Aktif mengajara di Pondok Pesantren Syaichona Moh. Cholil Bangkalan.
Read More

05 Desember 2019

Menanggapi Kelompok Yang Sok Bijak Dengan Persoalan Gus Muwafiq

Menanggapi Kelompok Yang Sok Bijak Dengan Persoalan Gus Muwafiq

Penulis: Syaefudin Achmad
Kamis 5 Desember 2019
Ilustrasi: NU-online

Viralnya ceramah Gus Muwafiq yang dianggap merendahkan kanjeng Nabi Muhammad SAW memunculkan 3 kelompok, yaitu pro, kontra, dan tengah-tengah. Kelompok yang pro adalah kelompok yang membela Gus Muwafiq dengan sederet argumen yang ilmiah berbasis kitab tarikh. Rata-rata adalah kelompok generasi muda NU. Kelompok yang kontra adalah dimotori oleh kelompok di luar NU seperti FPI, ada juga beberapa kyai NU dan habib. Mereka menganggap Gus Muwafiq telah menghina Nabi. FPI bahkan sudah melaporkan Gus Muwfiq ke polisi.

Kelompok yang pro dan kontra, pembela dan pengecam, keduanya saling adu argumen. Masing-masing kembali membuka dan membaca kitab-kitab tarikh. Kitab tarikh yang selama ini mungkin kalah populer dengan kitab-kitab fiqih dengan viralnya ceramah Gus Muwafiq kembali disentuh. Tapi ada juga yang hanya bermodal caci-maki. Meskipun sudah dijelaskan referensinya, tetap tak peduli. Caci-maki terus dilayangkan dan diblow-up seolah tidak ingin viralnya ceramah Gus Muwafiq mereda, terlebih sudah ada klarifikasi dan permintaan maaf. Salah satu orang yang mengaku ulama, bagian dari MUI sampai detik ini masih terus memprovokasi dan memblow-up Gus Muwafiq di akun twitternya.

Ada kelompok ketiga yang berlagak bijak, netral, menjadi penengah di antara kelompok yang pro dan kontra. Mungkin kelompok ini berpedoman pada sebuah kutipan hadits yang berbunyi, "khoerul umur ausatuha", "sebaik-baik perkara adalah yang tengah-tengah.

Kelompok tengah-tengah ini memberikan kritik yang tajam kepada yang pro (pembela) dan yang kontra (pengecam). Kelompok ini mengkritik kelompok yang pro karena dianggap terlalu membabi buta membela Gus Muwafiq. Kelompok ini menganggap Gus Muwafiq bersalah dan harus diingatkan, bukan malah dibela secara membabi buta. Permintaan maaf dari Gus Muwafiq dijadikan landasan untuk menyatakan bahwa beliau memang bersalah.

Kepasa kelompok yang kontra, kelompok ini juga memberikan kritik tajam. Meskipun dianggap bersalah, terlalu berlebihan jika Gus Muwafiq dituding menghina nabi dan wajib dihukumi munafik, murtad, atau kafir sebagaimana yang ditudingkan oleh kelompok yang kontra.

Kelompok tengah-tengah ini mengaku ingin persoalan yang menjerat Gus Muwafiq tidak terus menerus diblow-up. Hanya bikin gaduh dan antar umat Islam saling berselisih. Kelompok ini ingin persoalan beliau disikapi dan diselesaikan secara bijaksana.

Sekilas, kelompok tengah-tengah adalah yang terbaik, tujuannya baik agar persoalan Gus Muwafiq bisa segera reda dan diselesaikan dengan penuh bijaksana dan kepala dingin. Intinya jangan sampai persoalan Gus Muwafiq membuat ummat Islam terpecah belah, saling berselisih dan berseteru, dan situasi menjadi gaduh dan memanas.

Hanya saja, kelompok tengah ini bisa menjadi kelompok yang terbaik, dibanding kelompok yang pro (pembela) dan kontra (pengecam) dengan catatan persoalan yang menimpa Gus Muwafiq berjalan secara natural dan alamiah. Dengan catatan tambahan, kelompok yang kontra ini benar-benar merasa sakit hati, bukan karena benci dengan Gus Muwafiq, bukan karena beliau orang NU.

Tapi realitanya (berdasarkan pengamatan pribadi), persoalan Gus Muwafiq ini tidak berjalan natural dan alamiah. Ada pihak yang sengaja mengatur sedemikian rupa agar cermah beliau viral. Teknik editing, potong, dan framing digunakan untuk memblow-up ceramah Gus Muwafiq. Dengan teknik ini, ceramah beliau dalam sebuah video yang telah diedit, dipotong, dan diframing macam-macam mampu membuat emosi siapapun yang menontonnya. Bagi orang yang jarang bermain media sosial, yang tak mengerti soal teknik-teknik seperti ini, biasanya akan sangat mudah emosi.

Mungkin ada yang benar-benar emosi dan tidak terima dengan Gus Muwafiq, tapi ada juga yang  sebenarnya hanya pura-pura. Mereka tidak marah dan sakit hati, tapi mereka ingin pura-pura marah dan terus memblow-up persoalan ini agar terus memanas dan tidak segera mereda. Kelompok ini biasanya adalah kelompok di luar NU yang benci dengan Gus Muwafiq karena kerap disindir di ceramahnya. Gaya berdakwah kelompok mereka kerap dikritik oleh beliau.

Sebagai bukti, saat ini FPI telah melaporkan Gus Muwafiq ke polisi. Tidak ada inisiatif dari mereka untuk mencari kebenaran lewat tabayyun dan menyelesaikan persoalan dengan kepala dingin. Mereka terlihat ingin benar-benar menumbangkan Gus Muwafiq, sebagaimana saat mereka berhasil mengirim Ahok ke penjara. FPI itu muslim. Tapi cara-cara yang ditempuh dalam menyikapi persoalan tidak sesuai apa yang sudah menjadi tradisi dalam Islam, yaitu tabayyun.

Gus Muwafiq butuh dukungan moril. Jangan sampai beliau dibiarkan sendiri, menjadi bulan-bulanan FPI dan para pembencinya. Jangan sampai hal ink menjadikan beliau takut untuk menyampaikan apa yang beliau pahami, berdasarkan referensi yang beliau baca. Terlebih, Persoalan ini bukan sesuatu yang natural dan alamiah, namun diseting sedemikian rupa dengan tujuan untuk menumbangkan Gus Muwafiq.

Jika merasa hina menjadi pembela Gus Muwafiq, biarlah kami generasi muda NU yang menjadi pembela. Biarlah kami yang berlumuran dosa yang menjadi terus mendukung beliau. Biarlah Para Kyai NU dengan kedalaman ilmu dan akhlak yang menjadi oase, yang menenangkan dan mendamaikan umat. Mungkin bisa berbagi tugas. Yang muda bertugas membela Gus Muwafiq dari para pembenci NU, yang sepuh bertugas menenangkan dan mendamaikan ummat.

(SA)

Syaefudin Achmad Dosen IAIN Salatiga Asal Purbalingga Jawa Tengah
Read More
Disparitas Ilmu dan Adab Berebut Depan

Disparitas Ilmu dan Adab Berebut Depan

Penulis: Dr. Nurbani Yusuf
Kamis 5 Desember 2019
Ilustrasi: NU-online

Mana lebih utama, ilmu atau adab? Hampir semua ulama bersepakat menjawab: adab lebih utama—berkata Syekh Abdul Qadir Al Jailani: ‘Aku lebih menghargai orang yang beradab, daripada orang yang berilmu. Jika hanya berilmu, iblis pun lebih tinggi ilmunya daripada manusia”.

Imam Syafii bercerita : ‘Aku sangat berhati-hati membuka lembaran kitab di hadapan guruku (Imam Malik pengarang kitab Muwattha') khawatir bunyi kitabku terdengar oleh beliau dan mengganggunya’.

Imam Rabi' murid Imam Syafii bercerita juga : Aku tidak punya kekuatan mengangkat wadah air ketika aku haus jika guruku (Imam Syafii) melihatku

Dalam sebuah majelis, Imam Malik ditanya santrinya —Apakah menyelai jari tangan dan jari kaki saat berwudhu adalah sunah ? Imam Malik menjawab pendek : Tidak. Sementara Al Atha’ salah seorang muridnya telah mendengar hadits bahwa menyelai jari tangan dan jari kaki adalah sunah. Tapi al Atha’ murid Imam Malik tidak memilih mendebat gurunya—ia menunggu sepi hingga semua  teman-nya pulang untuk menyampaikan kepada Imam Malik gurunya tentang menyelai jari saat berwudhu adalah sunah. Al Atha’ tidak menyelisihi gurunya dan apalagi  menyampaikan di depan publik meski telah memiliki hujjah yang lebih sahih. Al Atha’ mendahulukan adab.

Hudratus Syaikh Hasyim Asya’ari menulis dalam kitab adabul alim wal  mu ta’alim; "I'lam an-nadzilaka li ustadzika id-zuka. Wa tawadhu' akaluhu rif  'atuka. Wa khidmatakalahu wa barakatun-laka --"

Mengertilah bahwa: Andhap asharmu kerendah-hatian-mu kepada gurumu di situlah letak kemuliaanmu. Khidmadmu kepada Kyai-mu di situlah letak keberkahanmu. Kebanggaanmu kepada dosenmu di situlah letak keluhuranmu.

Ini bukan feodal tapi adab. Ini bukan sikap otorotatif tapi kesantunan. Para murid berdiri saat guru datang dan tidak duduk sebelum gurunya duduk ini bukan sikap deskriminatif, tapi kerendahan hati dan tawadhu .. lantas apa yang kita ajarkan sekarang  ..

Orang berlmu tuna moral jauh lebih bahaya —bedakan prilaku dan adab Ken Arok yang membunuh Mpu Gandring gurunya, karena keris setengah jadi tak sesuai pesanan. Dengan al Atha murid Imam Malik terhadap gurunya.

Imam Malik bin Anas lahir tahun 711 Masehi atau tepatnya tahun 93 Hijriah. Sementara Mpu Gandring berada di kisaran Ken Arok yang lahir tahun 1182 Masehi menurut catatan dalam pararaton. Bisa dibandingkan perbedaan keduanya dalam kurun 500 tahun yang jauh berbeda.

Di tahun itu Imam Malik bin Anas sudah membukukan kodifikasi hadits, kitab sunan, men-syarah hadits, mendalami kalam, fiqh, tafsir dan sastra yang hingga hari ini masih menjadi referensi para mahasiswa  menyusun tesis ataupun desertasi. Bedakan dengan Mpu Gandring dan Ken Arok muridnya meski terbilang lebih mutaakhir.

Bukan ilmu yang pertama kali dibanggakan. Para ulama terdahulu belajar adab. Rendah hati dan tawadhu untuk menerima pengajaran dari gurunya. Inilah kewajiban para murid sebelum belajar ilmu. Tak ada ruang bagi yang sombong. Iblis di usir dari surga juga karena sombongnya. Betapa mengerikan bila ilmu ditangan para tuna moral dan tuna adab..

Imam Ahmad berkata: ‘Pelajarilah adab sebelum mempelajari suatu ilmu. Imam Mubarak berkata: ‘Kami mempelajari masalah adab itu selama 30 tahun sedangkan kami mempelajari ilmu selama 20 tahun.”

Guru para Failasuf, Socrates dengan rendah hati berkata: 'aku tidak tahu apa-apa'. Berbanding terbalik dengan para Sofiis yang merasa tahu semuanya (kemeruh dan kesampingkan adab). Failasuf adalah guru. Penggembala atau pencerah. Dia membimbing ke jalan benar dan jalan baik. Bukan pencela dan pengkritik yang membuat onar.

Buya HAMKA tiba-tiba berqunut subuh karena makmumnya adalah Kyai Idham Chalid—Mereka semua kerap berbeda tapi tetap santun dan tawadhu. Kedalaman ilmu agama membuat keduanya arif dan bijak menyikapi setiap perbedaan

Al Iyyadh salah seorang penganjur salaf berkata: ‘dahulukan adab bila terjadi perbedaan tentang masalah furu’. Para alim lebih mengedepankan akhlaq ketimbang berdebat tentang perbedaan dan ikhtilaf penyebab perpecahan—

@nurbaniyusuf
Komunitas Padhang Makhsyar
Read More

04 Desember 2019

Gerakan "Cangkem Elek" Ala Gus Baha'

Gerakan "Cangkem Elek" Ala Gus Baha'

Penulis: Syaefudin Achmad
Rabu 4 Desember 2019
Ilustrasi: BincangSyariah

Gus Baha' benar-benar memberikan warna baru dan penyegaran di kalangan warga NU. Jika selama ini masyarakat NU yang masih awam cenderung dianjurkan untuk diam melawan kelompok yang suka mengkafirkan dan membid'ahkan karena keterbatasan ilmu, nampaknya sekarang tidak boleh diam lagi. Gus Baha' menawarkan cara baru yang bisa digunakan untuk membungkam kelompok yang suka mengkafirkan dan membid'ahkan yaitu gerakan "Cangkem Elek". Gerakan ini bisa dilakukan oleh seluruh warga NU, tanpa syarat harus sudah 'alim. Gerakan ini hanya mengandalkan logika-logika sederhana namun cerdas. Meskipun begitu, kekuatannya tidak kalah dahsyat dengan dalil yang menggunakan teks (Al-Qur'an, Hadits, maupun kitab karya ulama).

Saya belum paham mengapa Gus Baha' menyebut gerakan melawan kelompok takfiri dengan istilah "Cangkem Elek". Secara bahasa, Cangkem Elek bisa diartikan mulut kotor, jelek, buruk. Namun kalau boleh menafsirkan, istilah cangkem elek ini mungkin menunjukkan bahwa cukup bermodal cangkem (mulut) untuk melontarkan kata-kata yang simpel, sederhana, dan tak harus intelek untuk membungkam kelompok takfiri. Tak perlu memakai dalil atau referensi yang mu'tabar, cukup memakai kata-kata sederhana, namun sarat logika.

Gerakan cangkem elek ini lebih mengandalkan logika, akal sehat dalam mempertahankan kebenaran.  Gus Baha' memberikan contoh-contoh penerapan gerakan cangkem elek sebagai berikut:

Pertama, sering kaum takfiri yang usil, menganggap bahwa orang yang membawa keris dan benda-benda tertentu sebagaimana yang lumrah terjadi seperti di Pulau Jawa sebagai sesuatu yang bisa menenangkan batin sebagai musyrik dan menyekutukan Allah. Orang ini dianggap musyrik karena bergantung kepada makhluk.

Untuk menjawab tudingan ini, tak perlu dalil. Cukup dengan logika. Gus Baha' mencontohkan orang kota jika berpergian tanpa membawa ATM dan HP juga tidak tenang. Kenapa mereka tidak dihukumi musyrik? Lalu apa bedanya dengan orang yang hatinya tidak tenang jika tidak membawa keris?

Gus Baha' menegaskan bahwa iman kepada Allah adalah kebenaran absolut yang tidak akan terganggu oleh hal-hal yang sifatnya adat istiadat. Oleh sebab itu, membawa keris untuk ketenangan batin tidak dihukumi syirik karena itu masuk kategori adat istiadat, sebagaimana kebiasaan masyarakat  sekarang yang hatinya tidak tenang jika berpergian tanpa membawa ATM dan HP.

Kedua, soal berdzikir dan jabat tangan setelah shalat yang sering dibid'ahkan. Untuk menjawab tudingan mereka, tak perlu dengan dalil karena akan sangat sulit. Kalaupun ada haditsnya, biasanya dho'if. Oleh sebab itu, cukup dijawab dengan cangkem elek.

Ketika setelah shalat orang boleh menyalakan hp, boleh pergi ke kamar mandi, lalu kenapa tidak boleh berdzikir dan jabat tangan antar jama'ah?

Ketiga, Gus Baha' pernah menceritakan sebuah kisah nyata tentang seseorang yang bertanya kepada seorang kyai tentang iblis yang dimasukkan ke neraka. Singkatnya begini, orang ini menyebut jika iblis terbuat dari api, dan neraka itu adalah api, lalu bagaimana api akan menyiksa api? Untuk menjawab pertanyaan ini, kyai tadi mengambil tanah lalu melempar ke orang yang bertanya dan dia mengaduh karena sakit. Ternyata tanah bisa menyakiti manusia yang terbuat dari tanah. Lalu apa susahnya memahami bahwa api  neraka bisa menyakiti iblis yang terbuat dari api?

Dalam mengampanyekan gerakan "Cangkem Elek" ini, Gus Baha' tidak asal-asalan. Beliau mengaku apa yang disampaikan itu bersanad. Soal gerakan cangkem elek, beliau mengambil sanad dari kisah Nabi Ibrahim AS saat menghancurkan berhala-berhala raja Namrudz. Nabi Ibrahim menyisakan satu berhala yang paling besar lalu menalungkan kapak di leher  berhala tersebut.

Lalu Para pembesar kaumnya marah seelah mengetahui ulah Nabi Ibrahim terhadap berhala-berhala itu. Nabi Ibrahim didatangi dan digelandang menuju pengadilan. Beliau ditanya, "Aakah engkau yang menghancurkan Tuhan-Tuhan kami?”. Lalu beliau menjawab tidak melakukan apa-apa dan menyuruh para pembesar melihat berhala yang besar berkalungkan kapak. Beliau menuding Berhala besar itulah yang menghancurkan berhala-berhala kecil.

Para pembesar mengelak dengan alasan berhala-berhala itu tidak bisa berbuat apa-apa. Tidak mungkin ia menghancurkan berhala-berhala yang lain sedangkan ia pun tak bisa bergerak. Jawaban para pembesar kaumnya itu menjadi bumerang baginya. Lalu Nabi Ibrahim membalikkan perkataan mereka dengan pertanyaan sederha, "Lalu mengapa kau menyembah patung yang tidak bisa berbuat apa-apa?”

Walhasil, tampaknya gerakan "Cangkem Elek" milik Gus Baha' ini perlu untuk dikampanyekan dan dipraktikkan untuk membungkam kelompok yang sering mengkafirkan dan membid'ahkan amaliyah orang NU. Kita tak perlu risau dan ragu untuk membela agama dengan gerakan ini. Toh, gerakan ini juga tidak asal, namun sesuai dengan tradisi keilmuan di NU, yaitu bersanad, dan sanadnya nyambung ke Gus Baha'.

(SA)

Syaefudin Achmad Dosen IAIN Salatiga Asal Purbalingga Jawa Tengah
Read More

03 Desember 2019

Sahabat Nabi Bukan Sahabat Cangkem Elek

Sahabat Nabi Bukan Sahabat Cangkem Elek

Penulis: Muhammad Syamsudin
Selasa 3 Desember 2019
Iustrasi : NU-online

Gerakan Cangkem Elek versi beliau Kyai Bahauddin Nur Salim (Gus Baha') itu sebenarnya menyimpan makna yang mengkhawatirkan. Mengkhawatirkannya ini bukan pada Gus Baha'nya, melainkan pada poro penderek beliau.

Mengapa? Karena khalayak kita ada yang biasa ceplas-ceplos, meniru tanpa tendensi aling-aling mengujarkan sesuatu yang dianggapnya benar, yang penting maksud membumikan ajaran tersampaikan, namun di satu sisi pengujar ceplas ceplos ini sebagai pribadi sumbu pendek dan mudah tersinggungan. Ini yg unik dan penting saya sampaikan. Imbasnya, yang kelihatan justru eleknya, dan bukan ajaran yang disampaikan.

Tentu saja pola seperti ini tidak dikehendaki oleh beliau Gus Baha'. Karena maksud dari 'gerakan cangkem elek' Gus Baha' ini adalah gerakan rudud namun tidak meninggalkan ilmu dan adab.

Maksud dari ilmu ini adalah adanya dasar, meskipun garis besarnya saja. Ada rujukan, meski tak sedetail yang dibutuhkan untuk menjelaskan kepada 'cangkem elek'² ini.

Adapun maksud dari adab adalah tata krama. Andai saat Abasawatawalla diturunkan dan umat Baginda Nabi adalah seperti sosok² 'cangkem elek' yang meninggalkan ilmu dan adab sebagaimana yang saya maksudkan dalam paragraf di atas, bisa jadi mereka justru menjadi orang pertama yang akan meninggalkan Nabi. Karena dalam ayat itu, Allah SWT langsung bertindak selaku yang menegur Baginda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Allah SWT berfirman dalam Q.S 'Abasa [80] :1-11.

عَبَسَ وَتَوَلّٰىٓۙ

Dia (Muhammad) berwajah masam dan berpaling,

اَنْ جَاۤءَهُ الْاَعْمٰىۗ

karena seorang buta telah datang kepadanya (Abdullah bin Ummi Maktum).

وَمَا يُدْرِيْكَ لَعَلَّهٗ يَزَّكّٰىٓۙ

Dan tahukah engkau (Muhammad) barangkali dia ingin menyucikan dirinya (dari dosa),

اَوْ يَذَّكَّرُ فَتَنْفَعَهُ الذِّكْرٰىۗ

atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, yang memberi manfaat kepadanya?

اَمَّا مَنِ اسْتَغْنٰىۙ

Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup (pembesar-pembesar Quraisy),

فَاَنْتَ لَهٗ تَصَدّٰىۗ

maka engkau (Muhammad) memberi perhatian kepadanya,

وَمَا عَلَيْكَ اَلَّا يَزَّكّٰىۗ

padahal tidak ada (cela) atasmu kalau dia tidak menyucikan diri (beriman).

وَاَمَّا مَنْ جَاۤءَكَ يَسْعٰىۙ

Dan adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran),

وَهُوَ يَخْشٰىۙ

sedang dia takut (kepada Allah),

فَاَنْتَ عَنْهُ تَلَهّٰىۚ

engkau (Muhammad) malah mengabaikannya.

كَلَّآ اِنَّهَا تَذْكِرَةٌ ۚ

Sekali-kali jangan (begitu)! Sungguh, (ajaran-ajaran Allah) itu suatu peringatan,

Maha Besar Allah, yang tidak menjadikan sosok yang tidak berilmu dan tidak beradab sebagai shahabat perjuangan beliau Baginda Rasulillah shallallahu 'alaihi wasallam.
Read More