foto: ahmad faiz karunia saat mengaji kitab bab munakahat |
Ketika santri
hendak mengaji di pesantren, bab yang tidak pernah terlewati adalah Bab Munakahat
(bab pernikahan). Bab ini sering menuai reaksi yang cukup unik dikalangan santri.
Apalagi ditambah seorang kiai yang cukup fulgar dalam menerangkan bab ini. Kitab
fikih seperti fathul qorib, kifayatul akhyar, fathul muin, dan lain-lain semua
terdapat bab munakahat. Di pesantren manapun kitab-kitab tersebut selalu menjadi ajaran fundamental dalam belajar ilmu agama.
Jika selama
nyantri gak pernah ketemu dan ngaji bab munakahat, sepertinya sudah ada
indikasi bakalan menjomblo lebih lama. Itu sih menurut saya,,,,,,,,,entah
menurut anda. Santri yang ada di pesantren sudah saatnya sadar memang akan
pentingnya bab munakahat. Sebagian santri mengatakan bahwa munakahat adalah bab
yang sangat asyik ketika dibahas. Pada faktanya memang iya.
Sebelum saya
mondok di salah satu pesantren yang saya tempati dulu, saya sudah belajar lebih
dari bab munakahat, kitab yang lebih intim dalam perspektif keluarga dan
rumah tangga, yaitu Uqudul lujaian. Dalam proses belajar sebenarnya
tidak perlu memberikan sekat soal keilmuan. Namun dalam penyampaiannya
diperlukan cara yang cocok dan tersampaikan secara moral dan beradab. Sehingga
tidak menimbulkan persepsi bahwa materi itu hanya dilaksanakan sebagai
kebutuhan biologis semata.
Semangat yang terus terpatri dihati santri dalam mengkaji ilmu bab munakahat, menunjukkan kepedulian dan kesadaran untuk menyempurnakan keimanan. Tak jarang saya temui dalam pesantren ketika sudah saatnya membahas bab pernikahan, santri begitu semangat dalam mendengarkan keterangan guru dan kiainya. Bab munakahat memiliki daya tarik tersendiri dikalangan santri daripada bab muamalat dan bab zakat yang sarat dengan matematis. Karena dalam bab pernikahan serasa sesuatu yang sangat gampang dan mudah dalam pengaplikasiannya.
Dikalangan
santri, menikah bukan hanya sebatas menjalin hubungan dengan indikator sah dan
resmi dengan adanya buku nikah yang ditanda tangani KUA, melainkan juga atas kesadaran
akan pentingnya dua keluarga yang bisa dipastikan aka ada perbedaan baik dari
sisi kultur dan karakter. Inilah kadang yang menjadi problem hidup santri dalam
menjalani proses pernikahan sehingga ia tidak menikah dan tetap setia dengan
kejombloannya.
Ada sebuah
cerita unik dikalangan santri dulu, teman saya. Ia sudah bisa dibilang lanjut
usia dan lambat dalam menikah karena diantara teman-temannya sudah memiliki
anak semua. Taukah anda kira-kira apa yang menjadi penghambat dalam menikah?
Apakah ia jelek rupa, bodoh, dan tidak berilmu? Tidak, semua sudah cukup dalam
segi keilmuan, tampang yang rupawan, keturunan darah biru. Semua ini sudah cukup
sebagai komplemeter dan investor dalam membangun rumah tangga. Tapi faktor
mertua yang sama-sama menginginkan anak-anaknya harus bersamanya. Ini lah
kenapa tugas memadukan kultur dan karakter mertua yang berbeda sangatlah
penting. Sebab tidak jarang hal ini terjadi, bukan hanya kalangan santri semata
tetapi kalangan non santri pun bisa jadi mengalami hal seperti ini.
Maka disamping
harus mencari pasangan yang baik, juga harus mencari mertua yang baik. Hal penting
ini, harus terus diperhatikan dalam membangun rumah tangga. Pastikan kedua
orang tua dari kedua mempelai sama-sama setuju dan sepakat dengan keputusan
yang diambil kedua mempelai. Santri yang hanya sebatas memahami pernikahan
sebagai legitimasi perkara haram menjadi halal, harus terus dikembangkan
melalui beberap disiplin keilmuan yang bisa mengatasi problem kekeluargaan
dalam hubungan suami istri dan membangun rumah tangga yang sakinah, mawadah,
warahmah.
Santri Mahasiswa
Al-Hikam Malang