Jenis manusia yang agak sering saya jumpai adalah tamu.
Ssst…jangan bilang siapa-siapa ya, saya dan Andapun tamu di dunia ini. Kita
hanya pelancong yang kebetulan lewat dan singgah (sangat) sesaat di planet ini.
Jangan lama-lama dan lupa diri bertamu, sebab rumah dan tujuan kita bukan di
dunia!
Sejauh
ini, terdapat tiga jenis tamu yang kerap datang ke saya, ke pasantren kami.
Pertama, tamu yang membawa berita gembira, plus oleh-oleh tentu saja. Tamu
jenis ini agak langka dan bahkan mendekati punah.
Kedua, tamu yang membawa kabar buruk, berikut serangkaian
gerbong persoalan yang dilokomotifi sang tamu. Misalnya, para penagih hutang
dan pengutang yang memulai dengan retorika layaknya kelas pemikiran.
Baca juga: Mengenang Humor Gus Dur yang Lebih Memilih Pidato Ala Pesantren daripada Ala Pejabat
Ketiga, tamu yang tak jelas apa maunya, ia kadang datang bagai
bayangan, menjadi cermin, kadang pula mempertemukan saya dengan diri saya
sendiri, sesekali tamu tak jelas ini memuntahkan berjibun-jibun sampah dan
bertumpuk-tumpuk entah, tapi mereka jelas-jelas menyita waktu—yang adalah
uang—saya.
Dalam “piramida tamu”, jenis yang ketiga ini kadang sangat bijak-bestari,
kadang menjadi penafsir handal segala hal dan analis kawakan semua ihwal, sok
tidak butuh materi dan anti kemapanan, tapi rata-rata datang dengan damai alias
tidak membawa apa-apa selain korek dan rasa lapar. Lazimnya mereka bercerita
banyak topik yang orang lain tidak mengerti dan ia sendiri tidak paham.
Tamu-tamu yang perengek, peratap, penggerutu, pengeluh lambat-laut menjadikan
si tuan rumah pencaci dan pembenci, bahkan pobia tamu. Tamu tipe ini paling
banyak jumlahnya dan akan terus meningkat.
Namun
demikian, baik tamu yang kita inginkan atau tamu tak diundang, serta tamu-tamu
tak jelas apa maunya, tugas tuan rumah hanya melayani semampunya, bukan untuk
memahami apa yang diinginkan tamu, sebab boleh jadi ada tamu yang tidak punya
keinginan alias tidak ingin apa-apa (?) Lantas, bagaimana cara menyikapi tamu?
Saya
sendiri, mungkin tidak sendiri, setiap kali berkunjung anak-anak muda dan
mahasiswa, saya berprasangka baik bahwa kelak merekalah para pemimpin bangsa
dan pemakmur Nusantara. Betapa luar biasanya!
Setiap kali bertamu para santri dan pencari kebenaran, saya sebisa mungkin
membangun optimisme bahwa tamu-tamu itu adalah para wali dan pewaris para Nabi.
Tidak ada alasan untuk tidak menghormati.
Setiap
kali peminat filsafat dan pegiat kerukunan umat beragama singgah di pesantren
saya, segera saya membubungkan doa ke angkasa bahwa kepada mereka kebhinnekaan
Sabang-Merauke ini bisa diharapkan.
Setiap kali datang para aktivis Gusdurian, saya berusaha meyakinkan diri bahwa
Gus Dur sedang bertamu ke (pesantren) saya. Melihat, menatap, menghayati, dan
mempelajari Gus Dur adalah menyelami sumur tanpa dasar, mengarungi laut tak
bertepi. Cukuplah Gus Dur menjadi pelajaran untuk saya dan bangsa ini. Betapa istimewanya!
Baca juga: Yang Saya Tahu Dari Gus Fayyadl: Pembela Kaum Lemah
Setiap yang hadir dalam hidup kita sejatinya adalah guru, tugas
kita sebagai “murid” adalah belajar. Anda boleh tidak suka guru, Anda bisa saja
membenci pelajaran dan suasana tertentu dalam belajar, tapi Anda tidak boleh
berhenti belajar, sebab kehidupan tak pernah berhenti mengajar.
Tamu-tamu
itu memiliki keunikan masing-masing. Mereka mencari dan menghasrati sesuatu
yang mereka kira ada pada tuan rumah, padahal belum tentu! Mereka sejatinya
merindukan “ruang kosong” dalam diri mereka sendiri. Tugas tuan rumah adalah
memberikan beberapa alternatif “cara” agar tamu-tamu menemukan yang mereka
“cari”. Tidak harus sempurna, sebisanya saja memuliakan meraka!
Nah,
bagaimana dengan tamu-tamu tak tahu diri, tak pulang-pulang layaknya uban yang
terus bersinggasana sampai kelak tuan rumah mati? Nah, jika uban tak bisa
“diusir” dengan sisir dan semir, menggunduli rambut dan apalagi membuang kepala
tentu bukan solusi. Ada nasehat purba dan sederhana: jika Anda bingung dengan
jalan keluar, kembalilah ke pintu masuk. Jika uban tak bisa dibuang,
jangan-jangan ia bukan tamu, tapi tuan rumah!
Hari
ini, dalam catatan saya, tepat 18 tahun silam, saya untuk pertama kalinya di
pesantren Nurul Jadid melihat dan mendengarkan wejangan langsung Gus Dur,
seorang mahaguru yang karena teramat mencintainya, Tuhan buru-buru
memanggilnya. Alfatehah!
Wallahu a'lam
selengkapnya di sini
Penulis Ach Dhofir Zuhry adalah Ketua STF AL-FARABI dan Pengasuh Pesantren Luhur Baitul Hikmah Kepanjen Malang
Sumber Foto: NU Online
Baca juga: Ketika Santri Nonton Film A Man Called Ahok di Tengah-tengah Penonton Tionghoa