Penulis: Moh Syahri
Ada enam agama yang sudah menjadi agama resmi di Indonesia. Dan ini menunjukkan bahwa negara kita adalah negara yang sangat menghargai banyak agama. Menjadi kewajiban pemerintah memfasilitasi para penganut agama yang ada di Indonesia. Pemerintah yang baik adalah pemerintah yang tidak diskriminatif, terlebih kepada para penganut agama.
Ada enam agama yang sudah menjadi agama resmi di Indonesia. Dan ini menunjukkan bahwa negara kita adalah negara yang sangat menghargai banyak agama. Menjadi kewajiban pemerintah memfasilitasi para penganut agama yang ada di Indonesia. Pemerintah yang baik adalah pemerintah yang tidak diskriminatif, terlebih kepada para penganut agama.
Tempat ibadah adalah rumah ibadah, atau suatu tempat yang
digunakan oleh umat beragama untuk beribadah sesuai dengan keyakinan dan ajaran
agamanya masing-masing. Umat Islam memiliki masjid, umat Kristiani memiliki
gereja, umat Hindu memiliki pura, umat Budha memiliki vihara, umat Kong Hu cu
memiliki klenteng, umat Yahudi memiliki sinagoga, umat Shinto memiliki jinja,
umat Sikh memilki gurdwara, begitu juga dengan umat-umat lainnya.
Dengan adanya tempat ibadah yang beragam ini, lantas bagaimana
hukum memasuki tempat ibadah non-muslim? Terlebih pada hari minggu seperti ini,
ketika umat Nasrani melakukan ibadah di gereja, bolehkah kita berkunjung ke
gereja?
Baca juga: Penghafal Alquran Bisa Jadi Teroris Karena Tak Paham Pancasila
Al-Quran dan hadis tidak secara
eksplisit melarang seorang muslim memasuki tempat-tempat peribadatan no-muslim.
Dan juga sebaliknya, Al-Quran tidak melarang secara eksplisit non-muslim
memasuki tempat ibadah umat Islam. Islam hanya melarang umatnya untuk beribadah
menyembah Allah dengan cara yang tidak diajarkan.
Perhatikan firman Allah Swt:
أم لهم شركؤا شرعوا لهم من الدين ما
لهم يأذن به الله
“Apakah mereka
mempunyai sembahan selain Allah yang menetapkan aturan agama bagi mereka yang
tidak diizinkan (diridhai) Allah“ (Asy-Syura/42:21)
Larangan demikian juga ditegasakn oleh
hadis nabi:
من احد ث فى أمر نا هذا ما ليس منه
فهو رد
Barang siapa
mengada-mengada dalam masalah (agama) kami ini sesuatu yang tak masuk di dalam
bagiannya maka itu ditolak (HR. Muslim)
Dengan demikian para ulama berbeda
pendapat tentang masalah ini, ulama-ulama Syafiiyyah lebih memilih hukum haram
jika di dalamnya terdapat lukisan dan patung, dan jika tidak ada maka hukumnya
makruh (Sulaiman Al-Bujairimi, Hasyiyah
Al-Bujairimi, juz
4, hlm 72, Turki: Al-Maktabah Al-Islamiyah).
Ibnu Munzir meriwayatkan dari Umar bin
Khatab dan Ibnu Abbas dan Imam Malik bahwa memasuki rumah ibadah non-muslim
kemudian shalat di dalamnya maka hukumnya makruh (Al-Imam An-Nawawi, Al-Majmu’, juz 3, hlm, 158).
Ulama-ulama Hanafiyah cenderung
menghukumi haram dengan dalih bahwa tempat ibadah non-muslim adalah tempat
berlindungnya setan ((مأوى
الشيا طين (Ibnu ‘Abidin, Hasyiyah
Radd Al-Mukhtar, juz,
1 hlm, 380, Beirut; Dar al Fikr, 2000)
Sementara ulama Hanabilah terbagi dua
kelompok, pertama, memilih hukum haram jika terdapat lukisan, seperti
disampaikan oleh Ibnu Taimiyah:
والمذ هب الذي عليه عا مة الأصحاب:
كراهة دخول الكنيسة المصورة, وهذا هو الصواب الذي لا ريب فيه
Mazhab oleh
umumnya ulama Hanabilah adalah kemakruhan memasuki gereja yang didalamnya
terdapat lukisan. Dan ini adalah yang benar yang tak diragukan lagi. (Ibnu Taimiyah: Al-Fatawa
Al-Kubro, juz, 5, hlm, 327, Beirut:
Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 1987)
Baca juga: Yang Beda Tidak Harus Dikungkung
Kelompok kedua dari Hanabilah memilih
hukum mubah (boleh) secara mutlak, baik di dalamnya terdapat lukisan maupun
tidak. Hukum haram hanya berlaku bagi mereka yang memajang lukisan itu bukan
bagi mereka yang memasuki tempat ibadah yang ada lukisannya itu, begitulah yang
dikatakan Ibnu Qudamah. Dalam kitabnya Al-Mughni,
ia mengatakan:
فأما دخول منزل فيه صو رة فليس بمحرم
وإنما أبيح ترك الدعوة من أجله عقو بة للداعي باءسقاط حرمت لإيجا د المنكر في داره
ولا يجب على من راه فى منزل اللداعى الخروج فى ظا هر كلا م أحمد
Adapun
memasuki yang di dalamnya terdapat lukisan maka hukumnya tidak haram. Dan sesungguhnya
diperbolehkan tidak memenuhi undangan (undangan menghadiri acara yang
diselenggarakan di dalam rumah tersebut) dengan maksud memberi sanksi kepada
pemiliknya dengan cara menghilangkan kehormatan undangannya karena ia telah
memasukkan kemungkaran di dalam rumahnya. Dan bagi mereka yang melihat lukisan
tersebut di dalam rumahnya tuan rumah tidak diwajibkan untuk meninggalkannya. (Ibnu Qudamah, Al-Mughni, juz 8, hlm, 113, Beirut: Dar
Al-Fikr, 1405 H)
Melihat perbedaan ulama di atas, kita
sebagai seorang muslim pastinya harus bersikap hati-hati ketika memasuki rumah
ibadah non-muslim. Akan tetapi di dalam perbedaan ulama ini penulis akan
menarik konklusi bahwa keharaman itu bisa berlaku ketika orang memasuki tempat
ibadah non-muslim yang tidak memiliki kepentingan apa-apa.
Sebenarnya keharaman yang diberlakukan oleh para ulama karena ada
patung-patung di tempat ibadah tersebut dikhawatirkan menjadikan hati kita
cenderung ke patung tersebut dan secara tidak sadar menjadikan hati kita
mengakui benda-benda tersebut.
Namun, Jika masuknya ke tempat ibadah
non-muslim dengan tujuan ingin mempererat tali persaudaraan sebagai Ukhwah Insaniyah, dan Ukhwah Wathaniyah yang hal ini menjadi kewajiban
bagi kita merawat persatuan dan menjaga perdamaian khususnya di negara
Indonesia ini yang mana perbedaan agama sering menjadi alat permusuhan yang
berujung perpecahan, maka hukumnya boleh bahkan sangat dianjurkan sepanjang
tidak mengikuti ritual-ritual keagamaan di dalamnya. Hal itu itu karena tidak
ada larangan dalam Al-Quran dan hadis secara eksplisit.
Tulisan ini pernah dimuat di Islami.co
Wallahu A’lam
Sumber Foto: Wikipedia
Baca juga: Pahala Hoax