foto: mojok.co |
Atorcator.Com - Secara kualitas dan kapasitas saya
pribadi sebenarnya tidak kompeten dalam bidang politik apalagi politik praktis.
Namun seiring dengan perubahan dan perkembangan yang terjadi, sudah saatnya
santri melakukan reposisi serta mereaktualisasikan diri. Dan berperan aktif
dalam berbagai segi kehidupan berbangsa dan bernegara. Sampai kapan kita harus
bertahan dengan kepolosan dan kemurnian nurani, sementara nilai-nilai dan
prilaku yang berseberangan dengan nilai agama dan keperibadian bangsa terus digembor-gemborkan?
Sudah saatnya bangkit agar kita mampu bergerak dari gubuk menuju peradaban.
Tahun ini adalah tahun politik,
pentasnya kaum politisi, pergelaran kompetisi dalam adu gagasan visi dan misi
selama lima tahun kedepan, demi tegaknya demokrasi. Dalam demokrasi tidak ada
yang semeriah dan sefenomenal pemilu baik itu pilkada maupun pilpres. Dan ini
menunjukkan bahwa negara demokrasi menjunjung tegaknya politik yang cantik.
Politik yang kompatibel akan memperkuat demokrasi. Sehingga apapun bentuknya
jika hal itu mencenderai demokrasi maka otomatis akan di tolak karena sudah
dianggap bertentangan dengan Pancasila, seperti khilafah dan lain-lain.
Atmosfer politik di Indonesia sejak
zaman orde baru sering di hantui berbagai macam masalah, mulai dari kemelutnya partai politik hingga proses pencalonan dan proses kampanyenya. Dan ini tidak menutup
kemungkinan tahun ini akan terjadi. Semoga tidak.
Demokrasi di tingkat apapun yang
namanya pilkada pasti membutuhkan biaya (ongkos kendaraan politik) mulai dari
biaya paling kecil sampai paling besar, biaya mahar politik, biaya kampanye
baik di media elektronik maupun di media cetak, sampai biaya saksi tiap daerah.
Dan ini terbukti adanya kasus la nyalla matalitti yang merebak ke permukaan
terkait mahar politik. Walaupun hal ini, sempat menuai pro kontra, namun tidak
bisa kita pungkiri bahwa politik itu memang mahal. Maka dengan demikian, tidak
salah jika ketua umum partai gerindra, prabowo subianto pernah berorasi bahwa”
siapapun yang mau maju bersama saya dalam kontestasi pilkada maka pertama kali
yang saya tanyakan adalah “kamu punya uang berapa? Bukan kamu sudah pintar apa
gak“ inti orasinya seperti itu.
Di kesempatan lain, sebelum
penetapan calon kandidat gubernur jawa timur, azwar anas tiba-tiba
mengembalikan mandat sebagai penugasan calon wakil gubernur disebabkan berbagai
serangan yang tidak terhormat kepada dirinya. Ini merupakan salah satu indikasi
bahwa politik kita masih belum berjalan di rel yang benar. Kampanye hitam marak
sekali terjadi, isu-isu yang bernuansa agama terus di dengungkan, isu
primodialisme dan sara terus menjadi alat kemenangan.
Kampanye politik saat ini sudah di
mulai. Media promosi baliho, kupon kemenangan, dan stiker sampai senyuman manja yang
tiba-tiba mempesona dari pasangan calon sudah mulai di tunjukkan dan disebarkan
ke seluruh permukaan. Baik itu melalui media elektronik maupun media cetak,
sampai rela menunggangi berbagai macam acara demi menarik simpati banyak orang,
blusukan dan permohonan restu, dukungan dan doa kepada ulama dan kiai mulai diperagakan.
Praktik kampanye tentu memiliki cara dan strategi masing-masing dari pasangan
calon. Sudah biasa dimana-dimana calon pemimpin dalam proses kampanyenya akan
memberikan kesan dan pesan yang terbaik, mulai dari keloyalan untuk di ajak
selfi, foto bareng dan lain-lain. Semoga ini akan berlanjut ketika ia
benar-benar menjadi pemimpin.
Kita sudah melihat dengan terang
nyata bahwa polarisasi politik akan terjadi di tahun ini. Semenjak ditayangkannya
acara Mata Najwa beberapa hari yang lalu dengan tema “gelanggang tinju jokowi”
saya pribadi mengamati bahwa pihak oposisi sudah mulai gencar mengkritik
pemerintah mengenai program kerjanya dan target pencapaianya. Dengan demikian, wajah pemilukada yang kian mendekat ini akan sangat berpengaruh terhadap
pilpres tahun 2019, maka bisa dipastikan suksesnya pilkada tahun ini akan
berpotensi mensukseskan pilpres tahun mendatang dengan cara melakukan beberapa
konfigurasi konsolidasi dan koalisi dari beberapa partai politik praktis. Walaupun sampai saat
ini deklarasi perlawanan terhadap petahana belum dimunculkan secara nyata. Munculnya sederet partai baru juga akan memberikan udara segar dalam pesta demokrasi dan peta politik kebangsaan.
Ada
anekdot tentang Pemilu Kepala Daerah yang cukup rasional dan perlu menjadi
perhatian masyarakat sebagai pemegang hak suara. Anekdot yang beredar di sosial
media cukup menarik, judulnya Harga Diri dan Suara. “Jika anda bersedia dibayar
Rp. 100.000,- untuk memilih calon Gubernur dan Wakilnya, maka ketahuilah: Rp.
100.000,- : 5 tahun = Rp. Rp. 20.000,-. 1 tahun (Rp. 20.000,-) : 12 bulan = Rp.
1.666.- dan Rp. 1.666,- : 30 hari = Rp. 55.5,-. Jadi harga diri dan harga suara
anda = Rp. 55.5/ hari. Lebih murah dari harga sebuah permen karet. Jangan
berharap negeri ini bebas korupsi kalau suara anda masih bisa dibeli”.
Di
tahun politik ini yang tinggal beberapa bulan lagi, sebanyak 117 daerah yang
akan menyelenggarakan pemilukada, tentu masyarakat berharap akan memiliki
pemimpin yang baik, berkualitas. Dan semuanya ada di tangan masyarakat itu sendiri. Lihatlah
calon pemimpin itu dari sisi moralitasnya bukan dari sisi popularitasnya. Hindari cara golput, gunakan hak
pilih sesuai dengan hati nurani, dengan tidak mudah dipengaruhi suku, agama,
budaya, dan etnis hindari sikap apatis, sebab pilihan itulah nanti yang akan
menetukan kesejahteraan masyarkat