Ilustrasi |
Masa kecil saya (22 tahun lalu), dunia masih tidak segaduh dan seheboh ini. Hidup di tengah masyarakat desa memang memiliki suatu kelebihan yang sangat luar biasa. Mulai dari indahnya bergotong royong, santun dalam berinteraksi, rendah hati dalam bersikap, dan cair dalam bergaul. Khususnya di daerah tempat saya tinggal. Disamping memang atmosfer buminya asri, nyaman dan sejuk warganya pun sering menampakkan wajah yang demikian. Ada keserasian antara warga dan bumi yang dipijaknya.
Anak-anak desa memang dididik untuk bersikap ramah dan lemah lembut. Belajar menghargai pendapat orang, belajar menghargai karya orang. Belajar untuk tidak tamak, serakah, berlebihan dalam kebutuhan dunia, dendam, dan nafsu kekuasaan dan nafsu-nafsu buruk lainnya. Bahkan tak sendikit juga banyak yang toleran terhadap orang lain dan lingkungannya.
Menghormati yang lebih tua dan menyayangi yang lebih muda adalah sebuah keniscayaan yang harus dilakukan dalam setiap pergaulan. Titah orang tua tidak sekedar sebagai perintah saja, namun juga banyak yang mempraktekkan untuk bisa ditiru. Orang tua juga banyak memberikan suntikan religiusitas dan suntikan moralitas sampai anak-anak tersebut benar-benar dewasa dan bijak dalam menjalani kehidupan. Artinya, orang tua memang benar-benar memperhatikan betul pergaulan anak-anaknya. Tidak melulu dipasrahkan penuh kepada gurunya.
Setiap harinya bisa dipastikan banyak kegiatan yang berupa ibadah sosial, seperti bagi-bagi makanan setiap malam Jumat untuk menyedekahi para leluhurnya. Bahkan tak jarang juga kegiatan keagamaan seperti ngaji Yasin dan tahlil bersama setiap malam Jumat, yang kadang-kadang hal hal itu sampai menjadi sebuah keharusan bahkan bisa jadi kewajiban bagi sebagian mereka yang memiliki banyak harta dan hajat. Ini salah teladan dan peninggalan/warisan sejarah terbaik buat generasi selanjutnya.
Pertanyaannya sekarang, apakah saat ini sudah tidak damai dan indah? Tentu Ini merupakan pertanyaan yang semestinya banyak memunculkan jawaban yang berbeda-beda, tergantung dimana kita bertempat tinggal. Mungkinkah praktek sosial seperti di atas bisa kita pertahankan?
Kondisi dan situasi sekarang ini memang ada sedikit pergeseran dari yang biasanya peramah menjadi pemarah, yang biasanya aman dari fitnah menjadi cemas karena fitnah. Perasaan ini tidak hanya dirasakan oleh satu atau dua orang saja, tetapi sudah dirasakan oleh masyarakat yang daerahnya sudah maju dan berkembang dimana teknologi informasi begitu cepat menyeruak ke permukaan. Sehingga masyarakat terus dihadapkan dengan berbagai macam informasi yang tidak jelas, asli atau palsu. Banyak propaganda-propaganda marak dari sumber yang tidak dapat dipercaya dijadikan pegangan kuat yang mengendap dalam akal mereka.
Situasi ini jelas akan banyak memberikan pengaruh besar kepada generasi berikutnya. Indonesia memang sedang sakit moral, sepertinya penyakit ini sulit disembuhkan jika publik figurnya belum bisa mempertontonkan kedewasaan dalam bersikap dan bertindak. Artinya ketegangan-ketegangan yang terjadi saat ini banyak dipengaruhi oleh faktor hegemoni keduniawian sehingga masyarakat tidak terdidik.
Beberapa hari ini saya melihat tontonan di media sosial yang kurang menarik untuk dinikmati, kurang baik untuk disuguhkan kepada mereka yang masih labil. Namun karena media tidak membatasi usia maka tontonan ini mudah sekali dilihat dan dinikmati banyak orang. Sebenarnya semua ada pada diri kita masing-masing, bagaimana menyikapinya.
Orang-orang hebat banyak dilahirkan dari keluarga yang miskin, hidup di desa. Kehebatan mereka banyak dicetak oleh orang tua yang ada di desa. Mereka dulu juga pernah merasakan damainya dunia, dan mereka dulu juga pernah menikmati indahnya suasana. Namun karena perkembangan zaman yang semakin menantang, maka mereka pun dituntut untuk merubah gaya hidupnya sehingga sangat mudah melupakan masa lalunya.
Sedikit sekali rasanya dari sekian banyak orang hebat untuk bisa bernostalgia dengan desanya, menyapa desanya, bergaul lagi dengan warganya. Ikut ngaji dan tahlil bersama, kembali merajut asa yang sudah lama terlupakan demi masa depan yang lebih baik. Sehingga proses pendewasaannya sangat mudah diingat. Kecenderungan untuk terus menikmati dan menjaga kesehatan akal dan pikiran untuk bisa dihayati oleh hati akan sangat membantu dalam proses belajar hidup di hari-hari berikutnya.
Allah menciptakan memori pada manusia untuk menyimpan, sebagaimana juga menciptakan imajinasi untuk merekayasa masa depan. Orang yang kehilangan akal memorinya dianggap sakit oleh dokter sekaligus masyarakat. Dan dia tidak bisa membangun masa kininya atau masa depannya, kecuali berdasarkan masa lalunya.
Syauqi rahimahumullah pernah menggoreskan syairnya;
"Perumpamaan kaum yang melupakan sejarahnya
Bak Orang hilang merana di tengah perkampungan
Atau seorang yang tertimpa sakit memori
Mengadu masa lalunya yang sirna tak diingati"
Wallahu a'lam bisshowab