Penulis: Moh Syahri
Atorcator.Com - Orang Madura itu memang suka membunyikan toa atau speaker atau istilah lain corongan. Sekalipun tidak ada hajatan dan kepentingan apa-apa. Beda halnya ketika memang ada hajatan seperti mantenan, pengajian, maulidan, dan acara-acara lain, toa atau corongan itu seolah-olah bagian dari rukun acara tersebut.
Saya jadi ingat masa-masa kelas 3 MI/SD dulu, waktu itu kakak saya suka main speaker toa atau corongan, dia tidak hanya suka main dan membunyikan toa itu, tapi dia juga pintar memperbaiki kerusakan-kerusakan dari toa, termasuk menyetel suara toa, menyetel microfon, dan juga suka memperbaiki radio-radio tetangga yang rusak. Intinya kakak saya dulu itu juga tukang servis elektronik.
Kalau pagi sebelum berangkat sekolah, kakak saya biasanya selalu nyetel pengajian lewat toa itu. Biasanya pengajian yang diputar pengajiannya KH. Musyfik, karay Ganding Sumenep. Keras? Ya jelas, karena rata-rata toa yang dibunyikan di Madura itu semuanya keras-keras. Di Madura, membunyikan toa (sound system) dengan lagu-lagu, musik islami, dan ceramah adalah sesuatu yang wajar dan biasa, termasuk di daerah saya, desa Rajun, Kec. Pasong-songan Sumenep.
Ketika ada acara maulid nabi Muhammad di Madura disitulah toa-toa speaker alias corongan bersautan. Di Madura ketika acara maulid, hampir tiap hari tanpa jeda suara-suara toa bertarung di udara, dan hampir tiap rumah suara toa itu berbunyi karena perayaan maulid nabi.
Warga Madura sangat antusias sekali dalam merayakan maulid nabi, bayangkan, saya hampir tiap hari tiap malam menghadiri undangan maulid nabi. Bahkan dalam satu hari ada yang sampai tiga undangan yang saya datangi. Itu sudah cukup untuk sarapan pagi, makan siang, dan makan malam. Karena itu salah satu berkah yang nampak ketika perayaan Maulid Nabi di Madura.
Segenap para undangan dijamin tidak akan kelaparan. Makanan yang disuguhkan tidak jauh beda dengan restoran-restoran. Ditambah lagi, segenap para undangan itu masing-masing pulang dengan membawa makanan atau berkat sehabis acara maulid atau sehabis kenduri.
Salah satu tanda bermaulidnya warga Madura lebih khusus di daerah tempat saya lahir adalah bershalawat dengan memakai suara toa atau corongan, meskipun hanya sekadar sound system kecil-kecilan atau mengumpulkan sound-sound tetangga untuk disatukan dalam satu bunyi. Disamping memang menggunakan toa itu bagian dari kebiasaan warga Madura, satu sisi lain pemakaian toa pada saat perayaan Maulid Nabi adalah sesuatu yang bisa menarik kegembiraan dan kebahagiaan.
Biasanya warga Madura memang kurang begitu semangat untuk hadir jika dalam acara besar seperti maulid nabi itu tidak mengunakan toa alias corongan apalagi undangannya banyak. Bukan karena mereka rewel, tapi bagi mereka toa adalah sarana untuk mencapai tingkat kekhusuan, mencegah rasa ngantuk untuk tetap bershalawat kepada Kanjeng Nabi. Dan yang pasti mereka lebih senang, bahagia dan nikmat ketika sudah sesi makan bersama diiringi dengan musik-musik yang islami.
Dan ini saya rasakan sendiri, begitu juga ketika melihat warga-warga yang lain. Satu kejadian yang pernah saya alami ketika sebuah acara besar seperti maulid nabi dan tahlilan orang meninggal dunia tidak menggunakan pengeras suara, karena saking membludaknya jumlah undangan dan orang yang bertahlil maka pemimpin tahlil tersebut harus mengeraskan suaranya dengan sekeras mungkin.
Di awal-awal pembukaan tahlil pemimpin tahlil begitu semangat sekali dengan suara yang menggebu-gebu, akan tetapi ketika sudah di pertengahan acara suara pemimpin tahlil mulai lirih dan tidak bisa didengar oleh mereka yang di belakang. Akhirnya bacaan mereka yang dibelakang mulai tidak mengikuti pimpinannya yang di depan dan membuat mereka berpecah dari bacaan pimpinan itu. Maka hemat saya pengeras suara atau toa, corongan itu sangat penting, bahkan bisa dikatakan juga bagian dari alat atau sarana untuk bersatu.
Di acara hajatan seperti Maulid Nabi Muhammad pemakaian toa atau pengeras suara tidak pernah jadi masalah bagi warga Madura, apalagi sampai dibidahkan. Setahu saya belum pernah mendengar orang Madura sendiri yang berani membidahkan perayaan Maulid Nabi. Jangankan membidahkan Maulidnya yang membidahkan toa-nya saja tidak berani.
Masalah toa atau corongan yang sering disandingkan dengan Maulid Nabi Muhammad dan juga sering dibidahkan oleh sebagian orang tak pernah digubris (cuek saja) oleh warga Madura. Terbukti ketika para kiai Madura berceramah dalam perayaan Maulid Nabi yang menggunakan toa tak pernah berbicara soal bidahnya perayaan maulid nabi apalagi toa-nya, kiai Madura justru lebih fokus kepada penyampaian sikap keteladanan Rasulullah Saw sebagai manusia yang sedang dirayakan kelahirannya.
Dan ini menunjukkan bahwa menghayati sikap dan keteladanan Rasulullah jauh lebih penting bagi warga Madura daripada membahas kebidahan maulid yang sering diperdebatkan oleh mereka yang kurang kerjaan.
Sumber foto: Madura expose