Penulis: Moh Syahri
Dikenal dengan panggilan "sang clurit emas" segudang karya
puisinya mengitari perjalanan hidupnya hingga saat ini. Tokoh yang tidak pernah
lekang dengan peradaban keilmuan. Selalu terbuka bagi siapa saja yang ingin tau
kepribadiannya. Begitulah sosok beliau, kelahiran berdarah Madura memang
dikenal dengan keterbukaannya dalam menerima siapapun yang ingin bertamu.
Selain menjadi penyair, beliau kerap sekali berdakwah ke
penjuru Nusantara. Sebagai juru dakwah beliau sangat lihai dalam mengartikulasikan
agama sebagai solusi hidup. Lewat puisinya yang sarat dengan nilai-nilai
keislaman yang ramah, tidak kaku, toleran, dan penuh cinta dan kasih sangat
mudah diterima oleh masyarakat.
Kalau mendengar dakwah dan puisi beliau, seolah-olah saya
dibawa pada ruangan yang tak bertepi. Membuat sanubari tertekun dengan dosa.
Beliau selalu mendialogkan ilmu dengan kehidupan lewat puisinya yang ciamik dan
penuh keikhlasan. Mulai dari isu aktual sampai pada kegelisahan yang membuat
beliau tak berhenti berpikir dan sangat prihatin.
Adanya pergeseran otoritas keagamaan yang semula bertumpu
pada sosok kiyai konvensional berubah ke otoritas digital, membuat sosok D.
Zawawi Imron berkomentar bahwa inilah akibatnya jika agama hanya dijadikan
tesis tapi tidak dijadikan pengamalan" ujarnya saat jadi nara sumber mengaji Indonesia. Banyaknya ahli atau pakar
keagamaan di era digital ini seolah-olah memang tak lagi membutuhkan sosok
kiai, santri, dan ustadz-ustadz yang kompeten dalam keilmuan.
Pak D. Zawawi Imron menyadari bahwa adanya revolusi medsos,
membuat sanad keilmuan seseorang tak jelas siapa dosennya, tak jelas siapa
gurunya. Dekadensi moral terus terjadi dimana-mana akibat kurangnya kontrol
rohaniah yang seharusnya menjadi pijakan utama dalam segala tindakan.
Menurut pak D. Zawawi prakiraan ilmiah Alexis Carrel sudah
terjadi hari ini, bahwa nanti revolusi komunikasi setiap manusia akan diserbu
oleh ribuan informasi dan dia akan lupa pada ilmunya, dia sudah ada di stadium
lupa pada rohaninya, jati diri. Sehingga apapun yang mereka tangkap dari
informasi itu tak lagi sadar akan berdampak apa selanjutnya.
Sebagian kita banyak yang suka marah-marah, benci, dendam,
bahkan sangat lekat dengan permusuhan akibat sebuah perbedaan yang sudah
menjadi keniscayaan. Nampak sebuah kegagalan dalam mengimplementasikan
pengetahuan agama dan jauh dari menjadi orang muslim yang otentik dan mudah
dipolitisasi. Tak heran jika beliau selalu menyeru bahwa ilmu itu bukan hanya
pengetahuan kata di atas kertas, tapi pengetahuan hati dan perasaan.
Wallahu'alam
sumber foto: LiterasiPribumi-Wordpres.com