Penulis: Moh. Syahri
Atorcator.Com - Tahlil itu bagian dari tradisi orang NU. Tiap malem jumat dan malem selasa pembacaan tahlil selalu menggema di sudut-sudut pesantren berbasis NU.
Masyarakat desa paling demen dengan tahlilan. Di desa, kalau ada orang meninggal gak ditahlilin itu jadi aib berroo, bahkan boleh jadi akan menjadi cibiran masyarakat. Lah iya ta mas? Jangankan hanya soal tahlilan hal-hal yang tidak bersifat prinsip saja jika tidak dilakukan akan menjadi pembicaraan orang sekampung lho.
Misalkan kamu mengadakan tahlilan mengundang orang tapi tidak dikasih makan atau berkat. Harap-harap cemas kamu akan menjadi seleb mendadak di kampung, hot issue untuk diperbincangkan dalam satu pekan.
Di kampung saya, termasuk masyarakat yang paling dan sangat percaya dengan tahlilan. Kepercayaannya sudah tidak bisa ditawar. Perdebatan bid'ah soal tahlil jangan dibawa ke kampung saya, tidak berpengaruh apa-apa. Percuma.
Semua yakin bahwa doa yang dikemas dalam bentuk tahlilan akan sampai pada si mayat. Tahlil digelar tidak hanya ketika ada orang yang meninggal saja, tapi hampir tiap malam ada semacam perkumpulan yang didalamnya diisi dengan yasinan dan tahlilan.
Saya bertahun-tahun hidup di kampung halaman menikmati indahnya rangkaian acara yang dilakukan masyarakat desa. Tahlilan karena ada orang yang meninggal adalah ritual keagamaan yang paling banyak didatangi masyarakat selain pengajian umum yang biasa dilakukan tiap hari besar Islam. Ini menunjukkan rasa solidaritas yang tinggi yang dilakukan masyarakat desa.
Di desa, model pembacaan tahlil itu memang bervariasi, mulai dari yang suka pendek-pendek dan simpel sampai yang suka panjang-panjang. Kenapa bisa terjadi demikian? Karena latar belakang keilmuan yang dimiliki pemimpin tahlil baik kiai, ustadz, dan keaji (red: Madura) itu beda-beda. Panduan tahlilnya pun jelas berbeda.
Bacaan tahlil di desa tidak memiliki ukuran atau standar khusus yang dikeluarkan oleh lurah/kepala desa kepada masyarakat. Jadi maklum saja. Bagaimana mungkin, lurahnya saja kadang masih tunduk kiainya dalam memutuskan kebijakan apalagi masih soal agama.
Iya betul, bervariasi. Yang suka panjang-panjang dalam membaca tahlil biasanya sedikit mengumpulkan masa, bahkan peminatnya tidak banyak. Jujur saja. Tetapi yang suka-suka pendek-pendek dalam membaca tahlil biasanya banyak fansnya, banyak pengikutnya bahkan tak jarang mendapatkan apresiasi dari masyarakat. Walaupun tidak semuanya.
Baca Disaat kehabisan Ide Dalam Menulis atau Writers block
Bagi saya, esensi tahlil itu selain di dalamnya mendoakan orang yang mati juga sarana supaya ingat selalu bahwa kita ini juga bakal mati dan menghadap Allah. Lantas apakah pembacaan tahlil yang panjang-panjang menjamin kekhusyukan dan kekonsistenan mengingat Allah? Jawabannya ada di diri kalian masing-masing.
Saya tidak heran, dalam pembacaan tahlil yang panjang masyarakat justru semakin nampak arogan dalam membaca tahlil. Contoh, misalkan dalam pembacaan doa tahlil saja jika terlalu panjang maka tunggulah ucapan "Amien" keras yang akan menggetarkan dunia dan seolah-olah ngeledek pembaca doa itu sendiri. Ini bahaya.
Apakah juga ada pengaruhnya bagi mayat akan panjang pendeknya bacaan tahlil? Wallahu 'alam. Yang jelas, hal-hal yang baik dalam Islam tidak hanya ditinjau dari sisi penghambaan kita kepada Tuhan tapi juga mempertimbangkan sisi persoalan sosialnya.
Pernah pada suatu hari, ketika saya di pondok diundang oleh seorang pejabat. Diundangannya tersebut jelas tertera dalam rangka memperingati haul ibunya. Namanya haul pasti ada pembacaan yasin dan tahlilnya.
Bagi saya sebagai santri arus bertahlil jika itu memperingati haul. Yang diundang hanya santri saja. Setelah semuanya berkumpul, sudah biasa pemimpin tahlil terlebih dahulu bertanya tentang maksud dan tujuannya dan siapa saja (arwah) yang akan dikirimi fatihah.
Jawaban tuan rumah membuat kaget dan geger para santri yang hadir. "Mas, tidak usah tahlilan ya, langsung dimakan saja tumpengnya". Kami sempat berdebat dengan bapak itu, "Lho pak, ini kan haul masak mau makan tanpa tahlilan dulu pak, gak enak lah pak! Saya tidak tahu pejabat ini orang NU apa orang Muhammadiyah. Tapi tiap malam sabtu dia selalu ikut pengajian kiai saya di masjid bahkan juga sering bertahlil ke tetangga-tetangga.
"Fatihah saja ya pak" kata teman saya yang kebetulan jadi pemimpin tahlil waktu itu. "Oke gak papa mas yang penting jangan panjang-panjang" kata bapak itu. Saya yang pada waktu itu juga hadir di tengah-tengah mereka juga sempat berpikir "maksud bapak ini apa?".
Bagi saya, rasanya memang kurang enak jika diundang orang yang jelas-jelas acara haul tiba-tiba nyampe di kediamannya hanya disuruh makan saja tanpa ada bacaan suatu apapun. Berasa punya hutang budi, karena biasanya andalan santri untuk bisa makan enak ya harus berdoa dan mendoakan orang dulu. Makanya teman saya itu ngotot untuk membaca Fatihah saja.
Sebenarnya kita ini senang dengan hal-hal yang sederhana dalam hal apapun. Tidak berlebihan dalam hal apapun. Kadang semangat bersyariat itu membuat sebagian orang lupa akan semangat kemanusiaan.
Cerita di atas, menunjukkan keseimbangan antara semangat bersyariat dan semangat kemanusiaan, boleh jadi ia lebih percaya dengan sedekahnya daripada prosesi pembacaan tahlilnya, boleh jadi ia lebih percaya kepada sedekahnya lebih nyampe ke pangkuan mayat daripada Fatihahnya. No problem its oke, karena sedekah dan tahlil sama-sama ibadah muamalah yang sebenarnya tidak penting kita perdebatkan.
Dengan demikian, hemat saya tahlil itu bukan soal panjang pendeknya bacaan tapi soal khusuk dan tidaknya pembaca. Tapi yang jelas bacaan tahlil panjang dan pendek memiliki efek yang berbeda.
Wallahu'alam
- Moh. Syahri Founder Atorcator dan Pimpinan Redaksi Atorcator