Seorang santri Tebu Ireng sedang membaca buku terlihat khusyuk |
Oase, ketika merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia versi androrid, kata ini berasal dari kata Oasis. Artinya, daerah padang pasir yang mencukupi kebutuhan airnya untuk sekadar beternak dan bertani juga bertahan hidup. Atau daerah padang pasir yang hijau dan memiliki sumber air.
Oase memang luar biasa. Dahulu kala, Oase adalah daerah yang paling dicari oleh para kabilah dalam perjalanannya menembus tandusnya ribuan hektar padang pasir. Konon, Kota Mekah bisa menjadi begitu cepat berkembang yang awalnya hanya lembah tandus menjadi sebuah kota yang merubah peradaban, selain tempat yang strategis juga sebab ada sumur Zam-Zam.
Pemandangan yang saya saksikan saat menziarahi makam Gusdur di Tebu Ireng, Jombang. Sungguh seperti halnya para kabilah itu mencari dan begitu mengharap Oase. Tentu bukan dalam padang pasir yang gersang nan tandus itu. Namun dengan tandus serta gersangnya literasi masyarakat zaman milenial ini.
Dimana masyarakat zaman millenial ini lebih suka dan memang disodorkan oleh informasi-informasi sampah yang mengadu domba. Belum lagi informasi yang diterbitkan secara kolektif antara pemilik media dengan perusahaan, dengan lembaga partai, atau media yang dikendalikan oleh seorang pemimpin partai sekaligus. Semakin gersang juga mencemarkan dunia bukan? Media independen, hampir punah!
Baca juga: Pahala Hoax
Kita rasakan saja betapa silang sengkarutnya media penyedia informasi ini. Media yang satu mengatakan A yang satu mengatakan B. Betul dalam pengambilan informasi itu pasti memiliki sudut pandang yang berbeda-beda, tapi, seberapa objektifkah apa yang mereka sampaikan, ini yang harus di pertimbangkan.
Lanjut ke pembahasan Oase.
Di sebuah perpustakaan penulis takjub dengan anak ini. Dia asyik membaca buku setebal 500 halaman. Setebal itu! Uniknya, di perpustakaan itu juga ada sebagian anak kecil seumuran dia tapi bukan dengan kesibukan yang sama. Mereka, selain anak ini, asyik bermain game online dan sebagian yang lain asyik mengantri giliran sambil menonton.
Bayangan pun terbang ke teman² sekelas di bangku kuliah. Mungkinkah teman² saya harus menerima kekalahan sebagai mahasiswa penggemar game online dan menjadikan dunia ini semakin gersang akan literasi? Semoga insyaf.
Setelah menyakasikan pemandangan anak kecil membaca di saat teman-temannya yang lain asyik dengan game online, sayapun berpikir kembali bahwa sesungguhnya dia adalah oase yang sedang berjalan dan tentu saja hanya kabilah yang peka dan haus akan ilmu yang mampu memahami ini.
Semoga kedepan akan timbul lebih banyak oase-oase yang bermunculan dan menyumberkan ilmu-ilmu yang benar-benar mampu mencerahkan. Bukan menyusahkan apalagi mengadu domba.
Wallahu a'lam
Sumber Foto : Dokumen pribadi saat penulis ziarah ke makam Gus Dur
Baca juga: Revolusi Medsos Menurut D. Zawawi Imron