Oleh: Mujib Romadlon
Atorcator.Com - Karena kita sama-sama diwarisi konten/matan hadis yang persis.
Maka tak urung penafsiran terhadap nash hadis tersebut akan menimbulkan
penafsiran yang berbeda antara akal per akal kepala yang menafsirkannya. Dahulu
untuk mengurangi polusi penafsiran hadis tersebut, ditetapkanlah keilmuan
dirayah. Sebuah pakem keilmuan yang menyeleksi secara ketat, siapakah pembawa
kabar tersebut? Bagaimanakah daya ingatnya? Seperti apakah integritas dirinya
sebagai pelaksana nilai-nilai Islam?
Setelah sekian abad jarak antara era sekarang dengan 1400 tahun
yang lalu, dengan hasil seleksi ribuan jalur, terpilihlah 2 kodifikasi yang
terkuat. Shahih Bukhari dicap lebih unggul, sekalipun sistematisasi
penulisannya lebih baik pada shahih muslim. Namun, ketika dari sisi pembawa kabarnya
sudah diklarifikasi dan sama-sama kuat? Terus bagaimana kita bisa berhasil
mengambil makna dari nash tersebut?
Apakah dengan cara saling mengadu argumentasi, saling
mengunggulkan kapasitas dalam bidang linguistikanya? Bukankah hal itu sama saja
saling mempertarungkan otoritas? antara saya yang lebih berhak karena saya
adalah alumni pesantren A dan anda kalah karena anda hanya anak kuliah s2
kemaren sore. Mungkin hanya itulah kemungkinan hasil yang diperoleh dari
perdebatan saling mempertunjukkan otoritas, yang diserang adalah ad hominem
masing-masing.
Namun, petunjuk dari nash tersebut tak didapatkan. Karena
pertandingan subjektifitas antara setiap mufassir tetep keukeuh dengan dalih
yang sama-sama berujung pada analisa kebahasaan saja. Atau dalam istilah
al-Jabiri adalah 'istitsmarul alfadz' saling menganak-biakkan lafal nash hadis
tersebut.
Perlu diketahui, pertandingan tafsiran seperti ini. Sama saja
telah mencerabut nass dari kondisi kesejarahannya. Ingat baik-baik sebuah nass
itu tak pernah muncul di ruang dan waktu yang hampa atau kosong. Ia wujud dalam
sebuah situasi dan kondisi kesejarahan yang dikelilingi dengan situasi sosial,
budaya dan konflik. Ada yang melatar-belakangi, barulah nass tersebut muncul.
Masalahnya data informasi yang melatar belakangi sebuah nash itu
terbatas, tidak semua nash hadis disebutkan situasi realnya. Validitas sababul
wurud hanya di beberapa kasus tertentu. Untuk tujuan kondisi macam apa hadis
tersebut muncul, dan bagaimana nass tersebut bisa ditarik dan dibawa ke dunia
kontemporer saat ini?
Nahs hadis itu mewaktu sesuai situasi apa yang dihadapi kala itu
(mu'asirah lahu). Kita tak bisa memperkosa teks dengan otoritas penilaian
manusia kontemporer saat ini.
Ia harus diperlakukan istimewa, dengan menghadirkan segi historisitasnya yang
pasti punya akarnya sendiri. Prediksi analisanya harus mengupayakan seperti
awal 1400 tahun lalu, memakai analisa makro, eskalasi waktu muncul (mawaqit),
tempat muncul (mawathin), baru signifikansinya (ahwal) dapat ditemukan.
Baca juga: Doa Neno Warisman Mencoba Mengancam Tuhan
Perlakuan nash hadis do'a badar dengan pisau bedah semacam itu,
setidaknya akan mengurangi polusi penafsiran. Dan petunjuk dari Nabi pun
menjadi spesifik khusus dapat diterapkan menjadi prinsip moral untuk menyikapi
kasus-kasus harian masa saat ini (mu'asirah lana).
Mengapa harus senjlimet itu?
Bukankah hadis asal kita amalkan bisa jadi pahala?
Oo.....tidak semudah itu Ferguso...
Itulah perlunya dirasah islamiyah kawan, ketika kita sudah
melewati fase keilmuan dari tradisi lisan ke tulisan, sekarang kita tengah
menuju pada tradisi digital. Dan salah satu variabel budaya digital adalah
'matinya otoritas kepakaran', yakni masa dimana setiap orang dapat mengeklaim
keawamannya dengan informasi yang tersebar di google. Debgan akun media sosial,
berjuta rakyat netizen merasa punya otonomi yang sama dengan para pakar.
Sekalipun pengetahuan mereka rapuh, namun hampir-hampir media sosial tak bisa membuat batas antara mana yang pakar dan mana yang awam. Semuanya sama. Yang awam merasa punya hak yang sama, berbicara tentang keilmuan tertentu cukup hanya sekedar mengetikkan pertanyaan ke google. Beres sudah.
Era keterbukaan informasi, sebuah kemudahan teknologi. Dimana
era terdahulu, seseorang untuk absah mendakwahkan agama harus melalui kemampuan
pengolahan nalar yang sistematis. Namun sekarang cukup satu keyword digoogle,
nama Sugi Nur dianggap salah satu agamawan kondang asal Indonesia.
Lahhh kalau begitu, buat apa saya capek-capek berpikir ilmiah
dan falsafah, habis pikiran uang dan tenaga. Kalau ujungnya bersekolah sampai
doktor, ehh kok gak jauh berbeda sama Cuk Nur atau si Neno Warisman?
Nah disitulah letak surga kawan, letak pengabdian pada keilmuan
itu berkontestasi pada kedunguan. Yang semenjak zaman jahiliyah sampai sekarang
itu akan selalu menjadi problematika para pengemban amal yang ilmiah, sekaligus
ilmu yang amaliyah.
Pantas saja dengan kenjlimetan seperti ini menjadikan harga
surga itu mahal...
Nek surgo ki murah, wes diobral nang bukalapak mas...