Oleh: Sunardian Wirodono
Atorcator.Com - Ketika saya membaca biografi tulisan Alberthiene Endah, “Jokowi Menuju Cahaya” (2018), saya tidak merasakan roh atau spirit Jokowi. Dengan segala maaf, tulisan dalam buku itu tidak berdarah. Tidak Jokowi banget.
Bukannya buruk. Buku karya Endah
itu indah, tapi tidak berdarah. Memang tulisan itu sangat murni bukan hanya
ditulis oleh tangan Alberthiene Endah, melainkan juga dari sudut pandang atau
frame penulisnya. Bukan dari objek yang ditulis. Ini soal observasi dan style
penulisan.
Untuk biografi dengan tokoh
semacam Krisdayanti, Chrisye, Raam Pundjabi, Ani Yudhoyono, Probosutedjo
(karya-karya biografi Alberthiene Endah), mungkin keindahan itu diperlukan.
Tapi jika buku Jokowi itu diibaratkan lukisan, saya melihat Basuki Abdullah,
dan bukannya Sudjojono, sehingga impresi karakter Jokowi tidak mencuat. Kata
Kaka Slank, terlalu manis!
Meski pun dengan segala hormat,
saya tidak ingin membandingkan dengan “Boeng Karno Penjambung Lidah Rakjat”
tulisan Cindy Adams (1971), yang sangat terasa otobiografis dan Sukarno banget.
Sebenarnya, bukan hanya tak adil membandingkan sebuah karya, tapi karena memang
tak sebanding, disamping sebagai orang yang juga berprofesi penulis, tak etis
melakukannya (bisa dikira cem-macem).
Dan kritik adalah sesuatu yang
sensitif. Apalagi mengritik Jokowi per-person. Pendukungnya bisa ngamuk.
Makanya saya lebih memilih mengritik cara kerja Erick Thohir saja. Dengan
pura-pura tidak tahu, bahwa Jokowilah yang menunjuk langsung, sebagai ketua tim
pemenangan pasangan Capres-Cawapres Jokowi-Ma’ruf Amin.
Baca juga: Pilpres dan Pileg Memang Tidak Seagresif Pilkades
Di lapis tengah ke atas, di media
massa, apalagi di medsos, dalam hal pencitraan, Capres Jokowi tampaknya lebih
unggul. Apalagi setelah pendeklarasian para Alumni UI di Senayan (Januari
2019), yang terus bergelombang dengan berbagai deklarasi di berbagai kota dan
berbagai lapisan kelompok masyarakat.
Tapi jangan lupa, bahwa itu
diinisiasi oleh Jay Subiakto, orang di belakang layar yang bisa mengkotakkan
Jakarta ketika Jokowi maju sebagai Gubernur DKI Jakarta (2012), dan memerahkan
Ibukota Negara ketika Jokowi maju dalam Pilpres (2014). Meskipun kadang saya
menduga, jangan-jangan ini metamorfosa Jokowi, dari ulat menjadi kupu-kupu?
Dalam debat kedua kemarin, Jokowi
lebih artikulatif, bahkan menskakster sang kolektor kuda dengan unicorn.
Meskipun tentu bisa dipastikan, Mien Uno tak menjadi mentor Jokowi. Karena dari
sisi karakter Sandiaga, pun kayaknya juga tak dipoles oleh ibunya.
Tapi, sentuhan kerakyatan,
grassroots, pada kubu Jokowi tidak terasa mantul. Gerakan yang masif dan
sistematis, muncul dari PKS, oknum-oknum HTI dan partisannya. Tak sedikit
ibu-ibu percaya, bahwa pembangunan infrastruktur dibiayai dari Dana Haji dan
BPJS.
Di desa-desa juga, banyak anggota
masyarakat percaya Jokowi adalah pribadi yang tak layak presiden. Tidak gagah
dibanding lawannya. Bagaimana kalau Indonesia diserang negara luar? Lagi pula,
siapa Jokowi ini sebenarnya?
Ada saja yang meragukan agamanya,
sukunya, disamping kemampuannya. Belum lagi Jokowi dicap pembohong, tidak
menepati janji, dan akan membebani rakyat kecil dengan utang luar negeri.
Disamping tentu, dituding demen melakukan kriminalisasi pada agama dan ulama.
Seorang teman, demonstran yang
sukses jadi pengusaha, suka menghina-hina mereka yang hanya berani main-main di
medsos, tanpa turun ke lapangan. Dan kubu Jokowi, tampaknya datang dari sisi
ini. Para elite medsos yang bisa jumawa dengan kemenangannya di dunia maya.
Jokowi Hits. Tetapi tidak tahu sama sekali, bagaimana di masjid-masjid,
majelis-majelis taklim.
Rakyat bawah, sebagaimana ujar
Gus Dur, tak butuh fakta dan data. Mereka bisa bahagia didengarkan apa yang
mereka butuhkan, dan dia ingin mendengar janji akan mendapatkannya. Sementara
spirit perubahan, menjadi sesosok monster yang mengancam kenyamanan banyak pihak.
Revolusi mental sesuatu yang belum genuine, masih butuh waktu lama. Karena
setidaknya telah setengah abad kita berada dalam frozen Orba plus Oref.
Kini faktornya bukan hanya soal
orba atau soehartoisme, dengan model money-politic. Melainkan juga khilafah dan
agamaisme, dengan model heaven-politic. Tidak mudah mengajak semua orang untuk
belajar dan berubah. Sebagaimana rakyat Sumatera Utara memenangkan Edy
Rahmayadi, tak peduli ia tak tahu istilah 'stunting' seperti yang dijelaskan
oleh Djarot Saiful Hidayat.
Miscasting, mis-recruiting? Atau
Mr. Jokowi sudah berubah, dan perlu diingatkan? Dengan segala hormat, atas
kekhawatiran bahwa si dia yang akan jadi presiden. Sementara kita tahu,
bagaimana skenario besar di belakangnya. Apakah itu berkaitan dengan proxy
asing, kembalinya orde baru dengan soehartoismenya, atau bakal dilindasnya si
kuda troya oleh mereka yang terus bermimpi mendirikan negara khilafah.
Kita sudah selangkah menuju
benar, setelah 50 tahun stagnan dan berada dalam involusi keadaban. Negeri ini
menjadi negara tertinggal. Bahkan oleh negara-negara yang dulu berguru ketika
Bung Karno memimpin.
Erick Thohir sukses di sisi
bisnis. Karir di liga sepakbola internasional, juga di Asian Games kemarin.
Tapi sejak ia sering-sering muncul di media, dalam kaitan kampanye pilpres,
sepertinya bukan hasil kerjanya yang terlihat. Melainkan hanya sosoknya,
menjadi bagian dari ‘all the president’s men”.
Dengan segala hormat, sebagai
bagian dari rakyat yang menginginkan perubahan.
Sumber Foto: Twitter Erick Thohir