Oleh: Santri Kiri
Atorcator.Com - Hati dalam diskursus ilmu tasawuf dianalogikan sebagai raja. Jika hati
sebagai raja ini dalam kondisi yang baik, maka tubuh yang dipimpin oleh hati
sebagai raja akan ada dalam kondisi baik pula. Namun sebaliknya jika hati ini
dalam kondisi tidak baik, maka tubuh akan menerima konsekuensi yang sama
seperti hati.
Hati, sebagaimana raja pada umumnya, dia dapat juga mati. Artinya tubuh
akan mengalami kekacuan sebab hati sebagai raja telah meninggal. Imam Ahmad bin
Muhammad bin Abdul Karim Bin Athoillah As-Sakandari atau lebih familiar dengan laqob
(sebutan) Ibnu Athoillah As-Sakandari dalam magnum opusnya kitab al-Hikam
telah memberikan ciri-ciri akan kematian hati bagi tubuh ini. Beliau berkata:
مِنْ علاَماَتِ مَوْتِ القلبِ عَدَمُ الحُزنِ على ماَ فاَتكَ
منَ المُواَفَقاَتِ وَتركُ النَّدَمِ علىَ ما فَعلتهُ من الزَّلاَّتِ
“Sebagian tanda
dari matinya hati adalah tidak adanya rasa sedih ketika suatu kewajiban
ditinggal, serta tidak merasa kecewa ketika melakukan suatu perbuatan melanggar
dosa”.
KH. Muhammad
Nafi’ dalam pengajian rutin, ahad pagi menyampaikan bahwa “kematian hati ini
dapat diidentifikasi tatkala seseorang yang memiliki kesempatan untuk berbuat
baik namun tidak digunakan dengan sebaik mungkin, sungguh disayangkan tatkala
seseorang tersebut tidak merasa sedih atas tindakan itu kesempatan itu berlalu
begitu saja”.
Baca juga: Benarkah Bacaan Shalat ada Korelasinya dengan Keutuhan NKRI?
Imam Muhammad
bin Ibrahim mengomentari maqolah Imam Ibnu Athoillah as-Sakandari dia atas bahwa hati tidak mampu bersedih atau menyesal atas kelalaian itu adalah:
Perbuatan
seorang hamba dibagi menjadi dua, perbuatan baik dan perbuatan buruk. Keduanya,
merupakan tanda adanya ridlo dari Allah SWT terhadap hamba dan juga sebagai
tanda adanya murka Allah SWT kepadanya. Sehingga tatkala Allah menetapkan pada
hambanya untuk beramal baik, maka hal ini adalah tanda bahwa dirinya sedang dalam
ridlonya. Dalam kondisi seperti itu, akan bertambah harapan kepada Allah. Namun
tatkala Allah menarik ridlonya dan tidak menjaganya, maka hamba ini akan
melakukan kemaksiatan dan akan membuat hamba ini menyadari bahwa dirinya sedang
dalam murka Allah SWT.”
Dari pandangan ini, dapat disimpulkan bahwa kesadaran hati seorang hamba untuk tidak
menyesal atas kesempatan yang terbuang sia-sia dan merasa kecewa atas perbuatan
dosa yang dilakukannya merupakan tanda bahwa hati sebagai raja dari sebuah
kerajaan bernama tubuh telah mati dari
jiwa seorang hamba.
Penulis
berpendapat bahwa kesadaran hati ini, bisa dan akan timbul dari seorang yang
benar-benar istiqomah dalam melakukan ibadah kepada Allah. Apakah orang yang
tidak istiqomah dalam beribadah tidak dapat merasakan kesadaran ini? Bisa saja.
Namun penting diketahui, bahwa hati yang mudah bergejolak ini sangat sulit
ditebak. Kesadaran yang timbul dari hati pasti akan memberikan perubahan dalam
hidup, dan ini tidak mudah karena hasil dari keistiqomahan itu sangat besar dan
tidak bisa didapat oleh orang yang hanya berpangku tangan dan suka
berangan-angan. Sebagaimana sebuah maqolah “istiqomah (konsistensi)
lebih baik dari seribu kemulian”.
Sumber Foto: Republika