Penulis: Achmad Munjid
(Menyelesaikan pendidikan Doktoral
di Temple University, Amerika Serikat. Sekarang mengajar di UGM. Selain
menekuni bidang Antropologi, juga menulis cerita pendek)
Atorcator.Com - Dunia moderen adalah dunia sekuler.
Para penganut konservatif teori sekulerisasi yakin bahwa semakin moderen suatu
masyarakat, semakin rasional-lah dia dan semakin tersingkir pula peran agama.
Apakah ini juga berlaku di Indonesia?
Karena tahun politik 2019 sudah
semakin dekat, dan kampanye Pilpres sudah dimulai, seorang wartawan senior asal
Amerika datang ke sini. Ia ingin melihat bagaimana relasi antara agama dan
politik setelah bangsa yang dikenal religius ini merdeka 73 tahun.
“Saya ingin ketemu politisi,”
katanya begitu ia tiba di Jogja.
“Kalau begitu, silakan datang ke
masjid,” kata seorang warga yang ditemuinya.
“Ke masjid?” si wartawan kaget dan
bingung. “Bukannya masjid itu tempatnya ustadz?”
Jika ini benar, teori sekularisasi
benar-benar dijungkirbalikkan.
“Sampean keliru. Kalau mau ketemu
ustadz, pergilah ke universitas.”
“Ada-ada saja Anda ini,” ia tambah
bingung. Ini lebih kacau lagi. “Universitas kan tempatnya intelektual?”
“Ah, sampean keliru lagi. Kalau mau
ketemu intelektual, pergilah ke warung angkringan.”
“Waduh,” kepala si wartawan mulai
pening. “Warung angkringan kan tempat para broker dan orang-orang kurang
kerjaan?”
“Sampean perlu lebih banyak bergaul
di sini,” kata warga itu dengan senyum bijaksana. “Kalau mau ketemu broker dan
orang-orang yang kurang kerjaan, silakan pergi ke gedung Parlemen.”
Baca juga: Mengapa Islam Tidak Langsung Mencetak Al-Qur'an?
Baca juga: Mengapa Islam Tidak Langsung Mencetak Al-Qur'an?
Kepala si wartawan benar-benar makin
seperti dipilin-pilin. Tapi ia ingin terus mengejar lawan bicaranya. “Parlemen
kan tempat wakil rakyat?”
“Sampean wartawan tapi mungkin
kurang baca berita ya? Kalau mau ketemu wakil rakyat, silakan pergi ke tahanan
KPK,” jawab si warga tadi sambil setengah terkekeh,
“Waduh, tobat saya. Di sana kan
tempatnya para koruptor?”
“Nah ini. Kalau mau ketemu koruptor
silakan datang ke partai-partai politik.”
“Bagaimana ini?” si wartawan sudah
merasa nyaris tidak sanggup lagi mengikuti nalar lawan bicaranya. Tapi ia ingin
mencoba untuk terakhir kali. “Partai politik kan tempatnya para politisi?”
“Lah, sampean masih belum paham
juga. Kalau mau ketemu politisi, datanglah ke masjid. Kan sudah saya kasih tahu
dari awal?”
Si wartawan Amerika itu pun hanya
bisa melongo.
“Ini Indonesia, Bung. Jangan gampang
terjebak kategori. Mungkin bagi Anda ini semua tampak membingungkan. Tapi asal
tahu saja, kami rakyat punya rumus yang jitu untuk mengatasi kebingungan
seperti itu.”
“Apa itu?”
“Jangan percaya agamawan yang selalu
berbusa-busa bicara politik dan jangan pernah percaya politisi yang sibuk
bicara agama.”
Itu!