brilio |
Penulis: Sunardian Wirodono
Munculnya istilah ‘masyarakat madani’, untuk menyebut masyarakat sipil (civic society) di Indonesia, diinisiasi Cak Nur (Nurcholish Madjid) pada dekade 80-an, mengacu pada Piagam Madinah.
Madinah (kota tempat hijrah Nabi Muhammad) berasal dari kata “madaniyah” yang berarti peradaban. Menurut Cak Nur, masyarakat madani berarti masyarakat yang beradab. Merujuk pada ciri antara lain: egaliteran (kesederajatan), menghargai prestasi, keterbukaan, toleransi, dan musyawarah.
Perwujudan masyarakat madani diantaranya berada dalam wilayah publik yang bebas, demokrasi, kemajemukan dan keadilan sosial. Menjunjung tinggi nilai, norma dan hukum, transparansi yang ditopang iman dan teknologi. Mempunyai peradaban yang tinggi.
Masyarakat madani (civil society) merupakan syarat mutlak tumbuhnya negara demokrasi. Namun konstruksi masyarakat kita, belum sangat kokoh. Tidak memiliki agenda bersama dan dalam karakter yang tak memiliki kedisiplinan. Tidak ada sebuah organisasi masyarakat yang kuat, karena relasi patron-client dominan (masih menonjolnya para persona, yang lebih mementingkan individualitasnya). Bukan hanya dalam rentang kaya-miskin, juga jarak antara yang ter-edukasi dan tidak.
Baca juga: Keras Boleh Asal Tetap Beradab
Kekuasaan Soeharto selama 32 tahun, dengan konsep ‘orde baru’ tidak dalam pengertian membangun masyarakat baru. Orba mematahkan konsepsi tumbuhnya masyarakat madani yang digagas Soekarno, yang ironinya justeru Orba merupakan pelaksana paling persisten konsepsi Demokrasi Terpimpin, ketika Soekarno tak sabar dengan proses politik masyarakat madani.
Indonesia menjadi negara modern, tetapi tidak tumbuh menjadi negara mandiri. Sampai pasca Reformasi 1998, proses transformasi negara demokrasi belum terjadi. Pada era pemerintahan Presiden Jokowi, revolusi mental atau perubahan sosial masyarakat, justeru mendapat tantangan serius dari dalam. Berhadapan dengan pihak-pihak yang selama pemerintahan sebelumnya berada dalam comfortable zone. Birokrasi masih berada dalam konstruksi dan moralitas lama; mentalitas korup, dan bukan sebagai public servant.
Prasyarat negara demokrasi sama sekali tidak tumbuh pada jaman Soeharto yang otoriter. Di sisi lain, dengan bendera ‘Piagam Jakarta’, muncul kelompok politik agama (sejak dalam perumusan negara), yang berangkat dari keyakinan berbeda dalam konsepsi demokrasi. Bahkan secara lebih kritis, berbeda konsep dengan Piagam Madani Nabi Muhammad. Disitu politik identitas menjadi persoalan.
Yang menarik, dua warna ini, dalam Pilpres 2019 tampak menguat, bahkan secara pragmatis bergabung ‘melawan’ kepemimpinan model Jokowi, yang merupakan anti-tesis keduanya dan lebih dekat ke Madaniah. Menjadi paradoks menarik, apakah Indonesia mau kembali ke masa Orde Baru Soeharto dengan otoritarianismenya? Atau ingin kembali ke jaman jahiliyah Mekkah, mengkhianati ajakan Nabi Muhammad hijrah ke Madinah? Mestinya kita tak ingin Indonesia mundur.