Oleh: Ach Dhofir Zuhry
(Penulis buku best seller PERADABAN SARUNG dan KONDOM GERGAJI)
(Penulis buku best seller PERADABAN SARUNG dan KONDOM GERGAJI)
Selain kambing hitam, masih ada sederet istilah bintang yang "dipinjam" dan lalu dimiliki secara permanen oleh bangsa manusia, misalnya: kumpul kebo, sapi perah, tikus kantor, kelinci percobaan, lintah darat, buaya darat, ayam kampus, kupu-kupu malam, ulat bulu, bajingan tengik, bajing loncat, gurita bisnis, gurita cikeas, kambing congek, singa betina, singa ompong, jago kandang, gajah bengkak, ular berbisa, srigala berbulu kambing, bandot tua, kampret, dan belakangan cebong, dll. Tak peduli apakah bangsa binatang protes perihal sinisme dan atau sarkasme (dalam konteks bahwa tak jarang bahwa binatang lebih baik dari manusia) tersebut. Namun demikian, pada kesempatan ini kita hanya akan membincang soal kambing hitam.
Beberapa dekade silam, dalam pembuangannya di Bandaneira, Sutan Sjahrir selalu merenungi peradaban kita di tengah Revolusi Kemerdekaan—ia menulis buku berjudul Renungan Indonesia. Karuan saja, ia sangat sedih dengan peradaban Timur yang bermental menyembah-nyembah, menunduk sambil pegang 'burung', bersikap budak dan memang sebagaimana dituduhkan Belanda, kita ini inlander yang inferior dalam segala hal.
Secara sederhana, Andapun lalu mengkambing-hitamkan penjajah, terutama saat ini penjajahan modern, penjajahan mental dan ideologi. Ini semua ulah dari sistem kultur serta manifestasi dari sikap rendah diri alias inferior tadi. Eksesnya, sulit merdeka, sulit beradab, sulit berkembang, dan tentu saja terus menikmati penjajahan dengan berharap surga kelak di akhirat. Inilah pandangan masokhistik kebanyakan kita.
Namun demikian, mengejutkan bahwa Sjahrir ternyata memproyeksi bahwa Barat dan Timur akan padam dan lalu kemudian tenggelam sementara peradaban baru akan muncul seiring dengan semakin dihargainya setiap manusia berdasarkan kemanusiaannya, oleh karena harkatnya setelah rentetan pengalaman negatif dengan sederet derita dan nestapa pasca perang kemerdekaan lalu diendapkan dalam laboratorium nilai.
Tetapi, mungkinkah ramalan humanis Sjahrir ini akan menjadi nyata tanpa kita membangun revolusi internal, kejernihan batin, keheningan rohani, kebeningan budi dan kearifan moral? Bukankah mengendapkan gejolak di luar diri dan gelegak di dalam diri sendiri dalam lanskap keindonesiaan dan frame kebinekaan tidak pernah selesai hanya dengan kurikulum di sekolah semata?
Ego primordial selalu meniscayakan kambing hitam, entah agama, suku, bahasa dan bahkan (ironisnya) tingkat pendidikan dan strata sosial. Faktanya, justru segala bentuk kesenjangan justru dimulai dan disulut para elit: agamawan, politisi, pebisnis, pesuruh partai, ilmuwan menara gading, mungkin juga sosialita, dan penentu kebijakan lainnya. Cara pandang teknokratis yang mengabaikan jagad nilai semacam ini adalah buah dari pendidikan yang salah, pembonsaian logika sajak di sekolah.
Pertanyaannya, mengapa para elit? Tatkala Romawi (contoh kasus) pada abad-abad awal Masehi sedang giat membangun, ongkosnya adalah darah, biayanya adalah tambal (ke)manusia(an) di mana 600 budak dibakar hidup-hidup oleh kaisar Nero untuk menerangi jalan; di Colosseum, diadakan pementasan raksasa berupa baca puisi dan pertunjukan pembunuhan melalui gladiator, budak dengan budak diadu dalam pertarungan sampai mati, lalu diadu lagi dengan binatang buas, sampai terbunuh dan terpelanting kepalanya menyusur tanah. Kemudian hadirin bersorak sembari tepuk tangan.
Anda tahu, kesenian macam ini hanya alibi demi menyampaikan pesan bahwa Nero tidak bersalah, kesenian adalah alat propaganda penguasa demi membungkus muslihat politisnya di satu sisi dan menarik simpati rakyat di sisi lain, ini terjadi selama Orde Lama dan Orde Baru. Perhatikan misalnya, di negeri kita, setiap menjelang pemilu dan pilkada, kemiskinan, pengangguran, keterbelakangan dan air mata sosial lainnya justru menjadi komoditas untuk "dijual" sebagai bahan kampanye para Caleg, juga Capres-cawapres, di samping isu SARA.
Skenario ini pula yang dulu digunakan sang Kaisar sebagai manipulasi dan gincu politik. Apa gerangan? Bagaimana grand design-nya? Keadaan tak stabil, krisis ekonomi dan kesenjangan sosial di Romawi kala itu dijadikan kambing hitam untuk mengalihkan perhatian dan kesibukan rakyat, lantaran itu pula dikambing-hitamkanlah umat Kristiani sebagai pembakar kota Roma yang harus dibantai dan dicincang sementara kaisar Nero dengan asyiknya justru baca puisi dan menyeringai dan terbahak menikmati pertunjukan gladiator di altar muslihat politisnya.
Apa dan siapakah sejatinya kambing hitam itu? Dalam perspektif politik, René Girard mencoba mengurai benang kusut untuk kemudian mencari benang merah pada upacara korban dan mekanisme pertikaian agama-agama asli dan agama besar serta apapun saja yang lalu dimonumenkan menjadi "agama", kemudian disembah dengan penuh gairah dan syahwat.
Baca juga: Mahasiswa Bahagia
Pendek kata, secara psikologis, manusia selalu butuh outlet pelampiasan kekecewaan terhadap hidup dan realitas sosial. Nah, kekesalan yang sesungguhnya berasal dari ketidakmampuan mengatasi persoalan internal lalu dicarikan pelampiasannya dengan membangun mekanisme korban eksternal, misal: jika jalanan macet total dan Anda sedang buru-buru, sementara orang berduit seenaknya menyewa patwal agar terhindar dari kemacetan, siapa yang Anda salahkan? Ketika gagal melamar seorang gadis pujaan, siapa yang Anda salahkan? Inilah frustasi agresi.
Manusia lebih senang dikagetkan, ia lebih memilih untuk dicemaskan, bukan semata demi membangun manajemen konflik, tetapi demi menemukan kambing hitam. Masih ingatkah Anda dengan jutaan tumbal genosida dan pengkambing-hitaman bangsa Yahudi di zaman Hitler? Bagaimana pula kaisar Titus II pada tahun 70 M membantai budak-budak Yahudi lalu terjadi diaspora? Pun juga khalifah-khalifah dari berbagai dinasti (Umayyah, Abbasiyah, Ayyubiyah dan Utsmaniyah) yang kerap menumpahkan darah dengan dalih tahkim atau arbitrase? Bagaimana pula syeikh Siti Jenar manjadi tumbal laiknya Al-Hallaj sang Martir? Pernahkah Anda memikirkan seandainya "akidah" penguasa waktu itu justru sama dengan Siti Jenar, maka sudah barang tentu Walisongo lah yang akan dieksekusi mati?
Namun demikian, sebagaimana Ibnu Khaldun, René Girard menyebutkan bahwa semakin kritis peradaban suatu bangsa semakin halus dan canggih pula hegemoni dan pengkambing-hitaman. Manakala rakyat kian berdaulat, manipulasi politis kian sulit dilakukan terang-terangan. Oleh karenanya, kecerdasan, kearifan dan sikap kritis harus menemukan oksigen dan udara bebas sebanyak mungkin, bukan lantas diberangus dan atau dibelenggu oleh otoritas negara dan agama. Dan, ini mutlak hanya dengan mempelajari, mendialogkan dan mengalami filsafat dalam arti yang sesungguhnya. Bukankah mencerdaskan kehidupan bangsa adalah amanat konstitusi, amanat UUD 1945?
Lantas, kecerdasan macam apakah yang dibutuhkan bangsa ini demi mengatasi krisis pengkambing-hitaman, Kisanak? Sikap kritis yang bagaimanakah yang harus dibangun dan lalu disebarluaskan? Perlukah narasi besar alternatif agar budaya kambing hitam setidaknya bisa direduksi dari cakrawala keindonesiaan kita?
Adalah Jurgen Habermas, filsuf generasi kedua Mazhab Frankfurt, penerus teori kritis Max Horkheimer, Theodor Adorno, dan Herbert Marcuse. Habermas amat prihatin dan mencemaskan teori kritis yang dipaparkan oleh para pendahulunya itu yang justru berakhir secara kontra produktif, pesimis dan mengalami banyak kebuntuan dan kerapuhan pada sekian aspek terapan. Habermas lantas membangkitkan kembali teori itu dengan paradigma baru. Ia mengajak umat manusia—di tengah pusaran arus kambing hitam tersebut—agar hijrah dari sekadar memiliki kecerdasan instrumental menuju kecerdasan emansipatoris. Apa sebab?
Kecerdasan instrumental—yang selama ini diajarkan kurikulum dari PAUD hingga Perguruan Tinggi—adalah rasionalitas kaku, kecerdasan ala tukang, dan sikap kritis yang hambar. Kecerdasan ala tukang ini, cuma mengkaji kehidupan secara banal, mekanistik, pragmatis, teknokratis, dan selalu potong kompas, lahirlah yang namanya generasi shortcut, terutama di era digital dan medsos ini. Kecerdasan instrumental menganggap segala sesuatu sebagai sarana mencapai tujuan, kadang, segala sesuatu adalah tujuan itu sendiri, praktis, tujuan selalu berubah-ubah. Dan, celakanya, oleh karena semuanya (termasuk manusia) adalah instrumen, maka tujuan apapun meniscayakan dan menghalalkan segala cara. Belakangan, Tuhan juga dijadikan alat kampanye.
Secara gampang begini, seorang insinyur atau teknokrat yang berkecerdasan instrumental dan berkepribadian tukang hanya akan berpikir sempit, dangkal dan linear mengenai teknokrasinya. Konsekuensinya, ia tak mau ambil pusing dan menyiksa otaknya untuk mendialogkan teknologi dengan kehidupan, dengan jagad nilai, dengan kemanusiaan, dengan kalkulasi tumbal dan korban manusia, korban ekologis serta kerusakan ekosistem. Yang penting, asal tujuan teknologi dikalkulasi secara teknis, langsung eksekusi. Soal teknologi dan modernisasi menuntut adanya tumbal, ya itulah ongkos sejarah, itulah resiko yang nanti bisa "dicari" sama-sama dalam ruang seminar dan sidang-sidang anggota dewan sembari liburan ke luar negari mengenai apa dan "siapa kambing hitamnya". Yang terpenting, teknologi tercapai sesuai pesanan dan anggaran, tentu saja setelah di-mark up dan lalu disunat.
Sedangkan kecerdasan emansipatoris lebih merupakan ramuan dari kecerdasan akal budi, kejernihan nurani, keheningan rohani dan kebeningan sikap kritis yang kemudian dikonfrontir dengan realitas sosial, kesenjangan moral sebagai dampak dari kemajuan semu dan teknologi palsu. Pergulatan ini lalu diekstraksi menjadi sebuah "gugatan" untuk terus setia bertanya mengenai apa sumbangan kecerdasan bagi kemanusiaan? Apa sumbangsih dialog-dialog lintas nilai dengan penyejahteraan sesama, peningkatan kualitas dan taraf hidup orang banyak? Bukankah selama ini kemajuan hanyalah mitos yang terus meninabobokan rakyat miskin? Siapa yang labih diuntungkan oleh infrastuktur perkotaan, mall, pabrik-pabrik, industri? Bahkan jalan raya, tempat hiburan, sekolah dan rumah sakitpun hanya milik sebagian kalangan, yang pasti bukan kaum miskin. Cukuplah si miskin yang tersebar di 27.000 desa lagi terbelakang itu ditakut-takuti dengan neraka, sembari sesekali dihibur hatinya dengan iming-iming surga. Inilah yang terus digugat oleh kecerdasan emansipatoris ala Habermas.
Jika demikian, membangun manusia adalah membangun harkat martabatnya serta memuliakan kedudukannya, sementara itu pembangunan dan industri yang tidak manusiawi, menindas dan dehumanistik harus segera disudahi. Jika tugas-tugas manusia sudah bisa digantikan oleh mesin-mesin, terutama setelah dicanangkan kecerdasan artifisial, maka tantangan manusia modern adalah bisakah ia tetap menjadi manusia? Bisakah ia mempertahankan kemanusiaannya di tengah ancaman zaman digital ini, di tengah gelegak gila politik dan politik gila ini, di tengah politisasi agama dan Kitab Suci, di tengah kepungan intoleransi dan cyber crime yang merajalela?
Pada episentrum inilah kecerdasan emansipatoris terus berproses menjadi kecendikiawanan yang menggugat rasionalitas dalam sumbangsihnya bagi kemanusiaan, bukan kecendikiawanan menara gading yang hanya omong soal kemiskinan di ballroom hotel bintang lima. Hal ini tentu saja agar manusia lebih manusiawi, lebih emansipatif dan emansipatoris.
Habermas lalu menggagas dan melokomotifi pentingnya dialektika pemikiran emansipatoris melalui dialog lintas disiplin, lintas genre, lintas khazanah dan perbedaan. Dialog interaktif, diskusi bebas, debat rasional sebagai tradisi, sebagai aksi komunikasi agar setiap orang tercerahkan akal budinya, dibangkitkan kesadaran kritisnya, digoyang-dibongkar sekat mitos-mitosnya yang selama ini mengekang, dijungkirbalikkan logika sumbu pendek dan cuti nalarnya yang selama ini membakar diri dan kehidupan sekitar.
Sumber Foto: NU kita