Penulis: Fadly Abu Zayyan
Atorcator.Com - Ketika saya bertanya kepada seorang
teman mengapa memilih Golput, ia mengatakan alasan kekecewaannya dengan cara
pemenangan Jokowi yang menggunakan "Politik Identitas". Dan katanya,
lantas apa bedanya dengan cara kemenangan Anies Baswedan di Pilkada DKI. Apakah
negeri ini harus mundur sekian puluh tahun peradaban bernegaranya hanya untuk
meraih sebuah kekuasaan? Ujarnya sambil berusaha meyakinkan saya.
Saya mencoba menyelami suasana batinnya.
Sebagai bagian dari kelompok minoritas, saya rasa wajar ketika ia berpendapat
seperti itu. Kengerian Politik Identitas yang pernah menghujam Pilkada DKI 2017
cukup menyisakan sebuah trauma. Kini, kedekatan Jokowi dengan Ulama dan
intensnya kegiatan bernuansa keagamaan (Islam) cukup menggugah trauma itu. Di
sisi lain, ia lupa bahwa golongan yang bersinergi dengan Jokowi adalah berbeda
dengan kelompok pengeksploitasi ayat dan mayat di Pilkada DKI 2017.
Jokowi bergandengan dengan golongan
Islam inklusif khususnya NU. Dimana dalam perjalanan sejarahnya, NU selalu
berperan aktif dalam menjaga Pancasila, keutuhan NKRI dan menghargai
Kebhinekaan. Sebaliknya pada Pilkada 2017, kemenangan kubu Anies Baswedan (AB)
ditunggangi dan disusupi oleh kelompok yang ingin merubah Pancasila dan NKRI
dengan Khilafah. Padahal AB berusaha "mereduksi" dirinya sendiri
dengan isu-isu maupun pencitraan yang tidak populer. Disisi lain, Ahok sebagai
pertahana justru menunjukkan prestasi yang gemilang. Tapi apa lacur, Politik Identitas
kadung menguat dan mampu mengalahkan nalar dan akal sehat. Ditambah Isu
Penistaan Agama yang digoreng sedemikian rupa. Hingga pada akhirnya, Politik
Identitas memenangkan kontestasi di Jakarta. Padahal ibukota adalah etalase
sebuah negara.
Tidaklah salah jika selang tak
berapa lama pasca perhelatan Pilkada DKI 2017, pemerintah memutuskan untuk
membubarkan HTI. Kerusakan yang nyata atas pembusukan terhadap negara yang
telah dilakukan organisasi ini cukup menjadi alasan untuk membubarkannya. Disisi
lain, mereka mencoba menjebak dan membenturkan Negara dengan Agama. Dimana
seolah-olah Negara alergi terhadap simbol-simbol Agama. Misalnya Kalimat Suci
yang di eksploitasi dan dijadikan simbol oleh HTI. Disinilah peran NU kembali
hadir dan menegaskan Negara tidak pernah memusuhi apalagi sampai
"membunuh" Agama.
Kini mereka kembali akan melakukan
modus yang sama. Yaitu mencoba menyusup pada salah satu kandidat Pilpres 2019.
Dan tetap akan melakukan cara-cara yang sama, yaitu dengan Politik Identitas.
Disisi lain, belajar dari Pilkada DKI 2017, fakta bahwa sebagian perilaku
pemilih yang mengacu pada Politik Identitas tak bisa dinafikkan. Oleh karena
itu, Jokowi merangkul kelompok pemilih ini dengan cara yang benar dan difilter
dengan benar salah satunya melalui peran NU. Disisi lain, Prabowo berperan
mereduksi dirinya melalui pencitraan yang sangat tidak populer dalam perspektif
identitas. Isu tak bisa jadi Imam Sholat, Bacaan Sholawat bahkan sampai
Perayaan Natal bersama keluarga.
Strategi kontra yang dilakukan oleh
sinergi Jokowi dan Prabowo pada akhirnya merubah strategi kelompok penyusup dan
perongrong negeri ini. Merasa kalah sebelum kontestasi, mereka mencoba
mendeligitimasi KPU sampai berencana membuat kacau melalui cara-cara licik.
Termasuk membuat seruan seolah-olah negara dalam keadaan darurat demokrasi. Padahal
mereka juga yang mengharamkan Demokrasi dan wajib diganti dengan Sistem
Khilafah. Bahkan setelah mencoba "membunuh" Agama melalui Negara,
rencana selanjutnya mereka akan "membunuh" Negara melalui Agama.
Yaitu mengubah semangat NKRI Harga Mati menjadi NKRI (Negara Khilafah Rasyidah
Islamiyah) Harga Mati! Inilah nantinya yang akan dirancang untuk membuat
masyarakat "paranoid" terhadap "NKRI" sebagaimana ketakutan
terhadap simbol Kalimat Suci.
Jadi, buat kawan-kawanku yang
memutuskan untuk Golput, alangkah baiknya untuk dipikirkan kembali. Belajarlah
atas apa yang terjadi pada "pengorbanan" Anies Baswedan. Semua seakan
sia-sia karena kini ia dikelilingi oleh para perongrong yang membuatnya tak
mampu berbuat banyak. Selanjutnya, jangan pula "pengorbanan" Prabowo
sia-sia. Karena jika para perongrong itu berada di lingkaran kekuasaan, bukan
tak mungkin mereka akan menjelma menjadi monster yang mengerikan. Bukan hanya
mengancam eksistensi minoritas, tapi juga bisa mengancam eksistensi negara.
Jadi, pikirkanlah kembali jika mau
menjadi Golput saudara..
Baca juga