fbroymurtadho |
Penulis: Roy Murtadho
Menurut saya, ketimbang banyak orang
di kementerian agama terus-menerus melakukan penistaan agama. Apa nggak lebih
baik kementerian tersebut, sekalian dihapuskan saja? Pertimbangan sederhananya,
saya kok nggak tega lihat mereka terus menerus menistakan agama.
Saya bukan anti agama. Tapi dengan
berbagai alasan dan pertimbangan, saya pikir untuk memperkuat demokrasi di
Indonesia kementerian agama tidak lagi relevan untuk dipertahankan. Apalagi
dengan menghabiskan anggaran yang demikian besar dibanding dengan anggaran
belanja negara lainnya. Secara sosial gejala keberagamaan di
Indonesia membuat orang makin sibuk mengoreksi preferensi hidup orang lain
ketimbang turut menjaga komitmen seseorang pada kehidupan sosial yang lebih
baik.
Anda boleh mengatakan saya sekularis. Pada batas tertentu saya menganggap
sekularisme adalah berkah bagi kehidupan. Lagi-lagi ini tidak bisa dibaca
secara gegabah bahwa dengan menerima sekularisme otomatis anti agama dan
ekspresi beragama. Boleh, tapi tidak boleh menjadi hegemonik dan mengungkung
kehidupan sosial kemasyarakatan. Ia hadir sebagai semangat moral, bukan sebagai
putusan hukum yang diandaikan berlaku universal.
Baca juga: Adakah Toko Menjual Agama?
Saya setuju dengan Charles Taylor,
bahwa sekularisme tak ubahnya sebuah etalase tempat memajang semua ragam kultur
dan agama yang orang boleh memilih atau tidak memilihnya sama sekali. Lagi-lagi, dengan banyak alasan,
salah satu yang paling penting menurut saya mengapa kementerian ini tidak perlu
ada. Karena memang tidak kompatibel dengan kehidupan yang terbuka dan setara.
Kementerian agama terlalu banyak mengambil porsi mengurus persoalan yang
sebenarnya tidak perlu mereka urus dengan menghabiskan dana yang tidak sedikit
yang sebenarnya bisa dialokasikan untuk keperluan lainnya. Apalagi sejauh ini
sangat islamsentris dan menjadi sumber skisme dalam organisasi-organisasi Islam
di Indonesia. Ada persaingan antar ormas untuk memperebutkannya: menjadi ladang
bancaan.
Bagi mereka yang tak setuju,
biasanya akan berargumen. Lho yang salah kucingnya kok kandangnya dihancurin?
Argumen begini terlalu mengada-ada. Dikiranya sistem, perangkat aturan main itu
seperti kandang yang pejal dan barang mati. Sistem itu bekerja dengan logikanya
sendiri. Ia adalah seperangkat cara kerja dan aturan tertentu dengan watak
tertentu. Dan yang tidak bisa ditampik adalah telah mengintervensi kehidupan
sosial kemasyarakatan terlalu jauh.
Pertanyaan mendasarnya, seberapa
penting kementerian itu harus tetap ada bagi kelangsungan demokrasi dan
kehidupan yang lebih bermartabat bagi semuanya? Ini yang harus diperdebatkan.
Atau kalau boleh usul agak minimalis, bagi yang takut agamanya dan
keberagamaannya akan tergerus oleh kultur saling silang yang terbuka,
kementerian itu cukup diringkus dalam satu departemen di bawah kementerian
lainnya yang relevan. Selain nggak menghambur-hamburkan dana tidak perlu, juga
akan lebih mudah dikontrol.
Oh ya. Anda tak usah khawatir bahwa
kalau kementerian agama tidak ada kemudian Islam akan hancur atau kehidupan
sosial kemasyarakatan tak lagi relijius. Itu salah besar. Anda tahu, Islam
menjadi agama dengan pertumbuhan tercepat di belahan dunia Barat, karena di
sana sekular. Meski juga tendensi anti Islam mulai menguat melalui beberapa
politisi fasis-rasis, tapi sampai sejauh ini sebagai sebuah sistem nilai,
sekularisme memberi ruang bagi agama untuk tetap hidup dan dihidupi (secara
pribadi) dengan syarat agama anda tidak merampas ruang publik milik bersama.
Itu saja.