nu.online |
Penulis: Muhammad Al-Fayyadl
Atorcator.Com -
Politik elektoral kaum santri rata-rata adalah "politik
ndhérék", politik "ikut": ndhérék kiai, ndhérék gus.
Sikap ini memiliki beberapa corak.
Ada yang
coraknya "taklid": santri ikut pilihan politik kiai secara
lahiriah tanpa tahu alasan kiai atas pilihan politik itu, mirip dalam
fikih, orang mengikuti qaul mazhab tanpa mengetahui dalilnya. Ada yang coraknya
"ittiba' ": santri ikut pilihan politik kiai dengan
pengetahuan memadai kenapa kiainya menjatuhkan pilihan politik itu. Juga mirip
dengan kepengikutan fikih seseorang atas suatu pendapat mazhab, dengan
mengetahui metode pengambilan dalil mazhab itu. Ada yang motifnya murni etis:
menjaga sikap takzim kepada guru, takut menyakiti guru. Karena dia mengingat
ajaran Ta'limul Muta'allim:
فمن
تاذي منه استاذه يحرم برکة العلم
"Barangsiapa
melukai hati gurunya, berkah ilmu tertutup darinya".
Ada juga yang
motifnya merasa bodoh dan berniat "istifaadah" (mengambil
faidah ilmu) dari pilihan politik gurunya: niat ngaji politik dari gurunya,
belajar kenapa gurunya memilih ini dan bukan itu. Ini juga ajaran kitab Ta'lim.
Dari berbagai
varian sikap itu, lalu ada pertanyaan: apa boleh santri "mukhalafah"
dengan kiainya, beda pilihan politik? Jawabannya, boleh, selama dia mengetahui
rasionalitas pilihan politik kiainya -- alasan kenapa kiai memilih itu. Jika
dia mengetahui rasionalitas pilihan politik kiainya, dan dia tidak
menyetujuinya, maka hak dia untuk beda pilihan politik dari kiainya. Karena
politik adalah urusan "ijtihadi" dan "ikhtiyari",
artinya urusan ijtihad dan pilihan-pilihan, maka urusannya 'tepat' dan 'kurang
tepat' (ishobah wa 'adamil ishobah), bukan 'benar' atau 'salah',
lebih-lebih bukan 'haq' atau 'batil', 'sesat-kufur' atau 'beriman'. Politik
elektoral bukan soal akidah, tidak berurusan dengan akidah dan klaim kesesatan,
tapi soal fikih dan etika.
Lanjut...
Dia punya hak
untuk beda pilihan politik dengan kiainya. Tapi apa alasan dia membedainya? Di
sini persoalan etika masuk. Jika alasannya karena iming-iming uang, rasa
dengki, atau dendam pribadi, maka "mukhalafah" pilihan politik ini
secara etis bermasalah dan tidak bermutu. Ia memutus hubungan silaturahim
guru-murid. Ia juga menutup pintu barokah bagi si santri.
Namun, jika
beda pilihan politik ini didasari oleh pertimbangan kemaslahatan yang lebih
besar menurut pandangan si santri, namun kemaslahatan itu luput ditangkap oleh
sang kiai karena pertimbangan yang lain, maka "mukhalafah" ini
secara etis baik dan tidak bermasalah. Demikian juga ketika kiai luput melihat
persoalan pada pilihan politiknya, sementara si santri menemukan persoalan atau
cacat itu.
"Mukhalafah"
yang kedua ini bahkan merupakan tanda kedewasaan politik santri. Dia mulai
berani mengambil sikap sendiri. Tentu tanpa mengurangi takzimnya secara
personal kepada kiainya.
Ini termasuk
alasan mengapa santri bisa mengambil sikap golput, meski sebagian besar kiainya
akan memilih salah satu dari dua capres-cawapres. Alasannya, karena kiai
barangkali luput melihat cacat serius pada kedua calon: oligarki,
pro-kapitalisme, dan potensi militerisme.
Demi
pertimbangan kemaslahatan yang lebih besar, pilihan santri itu menjadi
beralasan. Lebih-lebih ketika kemaslahatan itu "dharuri" alias
darurat: menyangkut nasib lahan-lahan yang akan digusur atas nama pembangunan
dan infrastruktur, ditambang atas nama kemajuan ekonomi, atau nasib demokrasi
yang tersandera oleh musuh dalam selimut bernama "oligarki" yang
membuat mereka imun dari hukum, para investor besar yang menguasai 70% bumi
Indonesia dan ekonominya.