Fbsunardian |
Penulis: Sunardian Wirodono
Atorcator.Com - Mengapa Presiden sebaik Jokowi, yang nyapres di Pilpres 2019, ada yang tak menghendaki? Bahkan giat kampanye ‘2019 Ganti Presiden’?
Data berbagai survei, menunjukkan para pejabat pemerintah, ASN (Aparat Sipil Negara), majoritas tidak memilih Jokowi yang mempunyai track-record jelas. Malah lebih suka yang tak jelas. Siapa mereka dan mengapa?
Dalam relasi manusia, yang tak menguntungkan akan (cenderung) disingkiri, bahkan disingkirkan. Yang menginginkan bisa diduga yang diuntungkan, atau setidaknya lebih merasa hal itu menyenangkan atau disenanginya. Sementara yang tak menginginkan, bisa jadi karena tak diuntungkan. Tidak menjadi senang karena itu menimbulkan kekecewaannya.
Berbagai cara dipakai, dengan memainkan isu dan sentimen agama, ideologi negara dan nasionalisme. Dengan menyebut sorga dan neraka, PKI atau komunisme, antek asing-aseng. Sampai tak tinemu nalar ketika Jokowi dituding kapitalis sekaligus komunis.
Kelompok itu bisa satu kubu dengan pemikiran model RG, karena hanya yang literasinya rendah bisa dikibuli oleh literasi yang rendah pula. Ketika ada fenomena ulama atau ustadz dangkal, bukan karena penghinaan atau kriminalisasi, tapi karena mereka menghina-dina diri-sendiri dengan ketidakpantasannya.
Dalam soal ASN yang tak memilih Jokowi, kajian historisnya bisa dirunut sejak Sukarno hingga SBY. Dengan tingkat disiplin rendah, kapabelitas tak memadai, sikap pelayanan minus, tapi kecenderungan korupsi tinggi. Di situ mereka hidup nyaman. Bisa tak masuk kerja berbulan-bulan, atau dalam posisi tak lagi sebagai ASN, tapi menikmati gaji sampai belasan tahun.
Sekarang gaji ASN lebih memadai, meski tetap kalah tinggi dengan sep-asep atau hasil objekan mereka sebagai aparat pemerintah dan negara. Konon ada yang tiap hari dapat ‘jatah preman’ jutaan, padahal gajinya sudah belasan atau puluhan juta. Kini perlahan semuanya bisa hilang, setidaknya tak lagi mudah dilakukan. Aturan dan pengawasan diperketat. Digitalisasi masuk sistem dan mekanisme birokrasi serta anggaran.
Perlahan semua bisa berubah. Itu menyebalkan bagi yang dirugikan. Beda dengan janji-janji toko sebelah; “Untuk apa teknologi tinggi kalau merugikan rakyat’?” Yang dimaksud ialah rakyat yang terkena imbas perubahan. Bagi rakyat jelata, yang selama ini jadi sapi perah birokrasi, tentu lebih diuntungkan. Ngurus surat-surat berkait administrasi negara, bisa lebih murah dan cepat. Kalau ada kendala karena ulah ASN korup dan jahat, rakyat kini bisa main ancam unggah ke medsos.
Perbandingan antara ASN, para aparat negara seperti Polisi dan Tentara, atau aparat tinggi negara yang sewenang-wenang, yang tak suka dengan Jokowi, lebih kecil dibanding rakyat jelata yang inginkan Jokowi kembali. Karena memilih Jokowi, adalah membantu proses reformasi birokrasi lebih cepat. Birokrasi yang tidak korup, awal dari janji perubahan dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Rakyat kuat negara kuat. Sukur bage dengan parlemen tanpa duo fucks!