TJP |
Penulis: Andi Setiono
Mangoenprasodjo
Atorcator.Com - Debat semalam, sebenarnya menunjukkan "kesiapan dan
kepantasan" Jokowi untuk mempertahankan kekuasaannya. Ia siap berkelahi,
tapi mengajak lawannya dengan menggunakan caranya. Cara yang sebenarnya justru
kuno sekali. Bila tidak bisa dianggap tradisional bin ndesit. Dan Prabowo suka
tidak suka terjebak. Ia memainkan strategi yang disebut "tangkap
ikannya, jangan bikin keruh kolamnya". Ia memperlakukan sedemikian rupa
Prabowo sebagai kawannya, bahkan tampak ia memiliki kecenderungan
melindunginya. Ia berkali-kali dengan santai berkata: Pak Prabowo adalah teman
saya. Bahkan tak sungkan mengatakan "kami berdua sama2 berjuang untuk
kepentingan bangsa". Akibatnya fatal! Prabowo justru nyaris out of
control, yang saya yakin ia keluar dari skenario yang telah dipersiapkan oleh
think-tank, minimal tim debatnya.
Ia untuk ke sekian kali menunjukkan bahwa
dirinya "jendral ugal2an, penuh improvisasi, dan tidak taat garis
komando". Hal ini bisa dilihat secara mencolok dan ceroboh, ketika ia
justru memarahi penonton dan melarangnya tertawa. Ketika ia menyatakan bahwa
pertahanan negara dalam keadaan rapuh, karena TNI lemah. Fatal! Opo tumon?
Barangkali, Tim Debat Prabowo
kecele, karena seminggu sebelumnya Jokowi menyatakan akan melawan. Seolah2 siap
tempur da beradu keras dalam Masa Kampanye Terbuka. Disinilah persoalannya,
Jokowi tetaplah Jokowi yang penuh kejutan. Ia tetaplah orang Jawa yang suka
ngglembuk. Ngglembuk disini bisa sulit diterjemahkan dalam bahasa Indonesia
baku. Ia perpaduan antara menggoda, merayu, menipu, sekaligus mempermainkan.
Intinya ada unsur "kenakalan" dalam diri Jokowi yang digunakan untuk
menaklukkan rivalnya secara sangat halus dan mulus. Akibatnya apa? Prabowo
tampak sedang monolog di panggung, typical jendral militer tinggalan era Orde
Baru. Ia gagap da gugup dalam berdialog. Dan bagian terburuknya, setiap kali ia
melakukan statement ofensif selalu mentah, karena Jokowi justru tidak melakukan
serangan balik. Inilah perubahan strategi terpenting dibanding dengan debat
ronde sebelumnya. Rangkulan Jokowi ini, merusak psikologis Prabowo yang semula
dipersiapkan Tim Debat-nya bersikap gahar seperti rocker, malah jatuh jadi
penyanyi mellow berhati Pance.
Dan bagian paling dramatik yang
terjadi adalah Jokowi seolah melindungi Prabowo dari "kemungkinan"
serangan keluarga besar TNI aktif maupun purnawirawan. Yang suka tidak suka
telah dilecehkannya dengan mengatakan "saya TNI yang lebih dari TNI".
Ia mungkin salah comot iklan, meniru dan mengaplikasi jargon yang selalu bilang
"mobil yang lebih dari sekedar mobil". Padahal setiap mobil juga
selalu mengiklankan dirinya begitu. Nyaris sama dengan Kecap No, 1, tak ada
satu pun yang nomer 2. Apa Lacur! Bagi saya pribadi, inilah perbedaan
capres dari kalangan sipil dan militer. Orang militer itu "terlalu
mempersiapkan diri", mereka terlalu serius, sehingga kadang kehilangan
sisi alamiahnya.
Mereka kurang rileks, sehingga sisi humanisnya hilang. Berbeda
dengan orang sipil, yang cenderung "nothing to loose". Coba
lihat Soekarno, Gus Dur, dan juga Megawati. Bandingkan dengan Suharto dan
SBY. Orang militer terlalu banyak tik-tak, plan-skenario-nya terlalu
rumit. Bahkan dalam sebuah acara seperti debat capres ini yang mustinya tak
lebih sebuah "idol challenge". Artinya apa? Kita mustinya
paham bahwa jogetan2 yang beberapa kali yang dilakukan Prabowo itu bukan tanpa
rencana. Itu dibuat untuk sekedar membuat dirinya sendiri tampak rileks. Karena
sesungguhnya ia sangat tegang!
Akhirul kata: Jokowi malam ini untuk
ke sekian kalinya menggunakan falsafah Jawa yang sebenarnya sudah terlalu
biasa. Sudah seperti kacang goreng, saking pasarannya. Ia melawan dengan cara
memangku. Yen dipangku meneng, yen dipepet ngampret. Haiyah! Ketika
lawan menyerangnya, ia justru balik memujinya. Ketika lawannya merasa diserang,
ia justru membelanya. Ia menggunakan falsafah Sosrokartono: "menang tanpa ngasorake,
menang tanpa harus merendahkan".
Toh seperti kata Jokowi: Prabowo
adalah sahabat saya. Mangkanye dilanjutkan persahabatannya....