Fbaminmudzakkir |
Penulis: Amin Mudzakkir
Atorcator.Com - Satu hal yang membedakan populisme di Amerika Serikat dan Indonesia adalah pendukungnya. Kalau merujuk buku Tom Nichols ini, para pemilih Trump yang membentuk basis populisme di sana adalah kalangan yang kurang terpelajar. Namun di sini para pemilih Prabowo justru banyak kaum terpelajar. Bagaimana ini bisa terjadi? Mengapa mereka gampang dikibulin Rocky Gerung?
Menurut saya, pokok permasalahannya adalah pada kuatnya ikatan kultural. Kaum terpelajar kita pada pada dasarnya adalah kepanjangan dari komunitas kultural tertentu--bisa agama, bisa etnis--yang menyediakan seperangkat kriteria dalam menilai realitas. Sedemikian kuatnya pengaruh kriteria yang disediakan oleh komunitas kultural itu membuat keterpelajaran mereka mati kutu.
Dalam kasus Prabowo, pendukung utama mereka adalah kaum modernis, terutama yang tinggal di lingkungan perkotaan. Disebut modernis karena mereka memiliki keahlian-keahlian teknis manajerial yang memang dibutuhkan oleh masyarakat modern. Meski demikian, nilai atau kultur yang berkembang di kalangan mereka sangat konservatif. Nilai atau kultur inilah yang paling mempengaruhi pilihan politik mereka dalam pemilu.
Nilai atau kultur itu dibangun dalam lintasan sejarah tertentu. Hoaks yang berhamburan hari ini hanya memperkuat nilai atau kultur yang telah diyakini tersebut. Harus diakui Rocky Gerung pandai memanfaatkan situasi ini. Dia paham ada komunitas kultural tertentu yang bisa dikibulin dengan mudah oleh retorika-retorikanya. Singkatnya, dalam konteks umat, Rocky Gerung hanya laku di kalangan Muslim modernis!
Sebaliknya, mengapa retorika Rocky Gerung tidak terlalu laku di kalangan warga NU? Mengapa kaum Nahdliyyin di pedesaan yang berpendidikan formal menengah ke bawah tidak terpukau oleh gaya panggung mantan dosen filsafat UI itu? Jawabannnya adalah karena nilai atau kultur yang berkembang di kalangan Muslim tradisionalis tidak cocok dengan materi yang disampaikan oleh Rocky Gerung. Tanpa harus mengerti apa maksudnya, mereka sudah paham itu cuma ngibul.
Kembali ke Tom Nichols, buku ini sangat bagus. Harus dibaca. Meski demikian, realitas sosial politik di Indonesia jauh lebih membingungkan daripada di Amerika Serikat. Di sana yang terjadi adalah "matinya kepakaran". Di sini yang terjadi adalah "kepakarannya mati".