Penulis: Muhammad Rodlin Billah (PCI
NU Jerman)
Atorcator.Com - Kisah-kisah berikut ini nyata adanya
serta berdasarkan apa yang saya alami sendiri, khususnya sebagai seorang
nahdliyin yang tinggal di Jerman, yang tak jarang mendapatkan kesalahpahaman
yang seringkali tak berdasar. Yang datangnya bukan dari orang lain, namun
sesama anak bangsa yang juga muslim.
Rasanya ingin marah saja bila hal
itu terjadi, bahkan mungkin saja saya kelepasan dalam beberapa kali interaksi.
Bila ada dari saya yang demikian, saya mohon kerelaan untuk dimaafkan.
Tak ada maksud lain sesederhana
keinginan saya untuk senantiasa nggandholi sarunge kyai, meskipun itu hanya
melalui tulisan berikut ini.
Kisah #1: Yang Mereka Anggap Liberal
itu Ahli Dzikir
Pertengahan 2017 lalu saya mendapat
sebuah kesempatan mulia menyambut seorang profesor yang juga rektor sebuah
universitas islam negeri sekaligus seorang pengasuh pondok pesantren. Sehari
sebelum menyambut kedatangan beliau di Berlin, saya mendapatkan telfon dari
seorang yang saat itu juga mengenalkan dirinya sebagai seorang yang besar dari
keluarga yang beramaliyah NU. Pada prinsipnya ia ingin menghadiri acara besok
yang mauidhoh hasanah-nya akan diisi oleh profesor tersebut. Tetapi ia bimbang.
Sebabnya, santer kabar di lingkaran perkawanannya bahwa profesor tersebut
adalah seorang yang liberal. Ia lantas menanyakan pendapat saya. Jawab saya
diplomatis, „Datang dan dengarkan saja dulu, bila sesuai ambil, bila tak sesuai
tinggalkan.“
Esoknya saya bersama beberapa
pengurus PCINU Jerman menjumpai profesor tersebut beberapa jam sebelum acara
dimulai. Secara fisik dan penampilan, beliau tampak sebagaimana orang Indonesia
pada umumnya, tak terlihat sesuatu yang khusus. Sampai kemudian saya tak
sengaja melihat sebuah counter digital berwarna hitam yang beliau tautkan pada
salah satu jarinya. Sepertinya beliau sengaja memutar tombol dan layer counter
tersebut agar menghadap kedalam telapak tangannya. Entah agar beliau lebih
mudah menekannya, atau agar tak tampak orang. Saya perhatikan, sambil mengobrol
bersama, dengan frekuensi yang ajeg beliau terus menekan tombol counter digital
tersebut. Hal ini terus berlangsung dari hotel lokasi beliau menginap pagi
harinya hingga kami berpamitan pulang pasca mengantar beliau kembali ke hotel
malam harinya.
Sejauh pengamatan saya, hanya ada
satu saat dimana counter itu meninggalkan jari beliau, yaitu saat beliau
memberikan mauidhoh hasanah yang disampaikan secara menarik, obyektif, dan tak
menggurui meskipun beliau sangat berhak untuk itu. Saya tafsirkan, selama
counter itu melekat di jari beliau, selama itu pula beliau mendawamkan suatu
dzikir/bacaan. Di akhir hari tersebut, saya merasa telah memperlakukan beliau
dengan tak adil sebab jawaban saya ternyata terlalu diplomatis. Semestinya saya
tegaskan, „Mestinya sampeyan labeli saya liberal terlebih dahulu mengingat saya
tak lebih ajeg berdzikir dibanding beliau“.
Kisah #2: Yang Mereka Anggap Liberal
itu Bisa Baca Kitab Kuning
Akhir tahun 2017 lalu saya mendapat
kesempatan luar biasa untuk napak tilas proses pendirian PCINU Jerman langsung
dari salah satu pendirinya. Sebelum esok harinya sowan ke PBNU dalam rangka
memohon restu dan SK PCINU Jerman, saya menginap di rumah beliau yang juga
seorang dosen di (lagi-lagi) sebuah universitas islam negeri di Jakarta. Beliau
bercerita mengenai label liberal yang disematkan kepadanya sebab menerima tamu
kawan baiknya, seorang gus yang beberapa tahun lalu aktif di JIL, yang sekadar
bersilaturrahmi dan menginap di apartemen beliau di Berlin beberapa tahun lalu.
Sejak saat itu beliau mendapat label
liberal. Bahkan sempat beberapa pemuda Indonesia yang tinggal di Berlin
terlihat oleh beliau menggunakan kaos “Indonesia tanpa JIL”. Otoritas keilmuan
dan kapasitas beliau yang mumpuni, khususnya bahasa arab serta akses ke
teks-teks agama dari berbagai kitab besar maupun kecil yang tak dimiliki
kebanyakan muslimin Indonesia di Jerman, untuk kemudian menjadikannya sebagai
bahan khutbah Jum’at, ceramah, atau sekedar mengisi pengajian praktis
termarjinalkan. Meskipun demikian, beliau tak pernah protes. Kecuali dalam
bentuk mengikuti sholat Jum’at di masjid lain yang bacaan surat fatihahnya
menurut beliau lebih kredibel.
Baru saat ditanya oleh salah seorang
sesepuh di Berlin beberapa saat kemudian, tentang apakah benar tuduhan liberal
itu, beliau menjelaskan bahwa sejatinya beliau hanyalah seorang santri. Sesepuh
inipun melayangkan nota protes ke pihak yang ditengarai melontarkan tuduhan
tersebut. Ia menuntut kedua pihak ditemukan untuk meluruskan tuduhan tersebut.
Beliau yang dituduh liberal tak berkeberatan sama sekali bila harus datang
mengklarifikasi. Sayangnya pihak yang menuduh tak menampakkan batang hidungnya,
tak ada juga permohonan maaf.
Kisah #3: Yang Mereka Anggap
Melenceng itu Selalu dari NU
Pertengahan 2018 lalu kami
mendapatkan kesempatan besar untuk belajar langsung dari seorang kyai. Sanad
keilmuan beliau bersambung hingga Rasulullah SAW. Oleh kawan-kawan PCINU Jerman
beliau dijadwalkan mengisi di delapan kota di Jerman dan satu kota di Belgia.
Metode yang digunakan oleh beliau diusahakan agar sedekat mungkin dengan
bandongan sebagaimana layaknya santri-santri pesantren. Kecuali saat beliau
memberikan mauidhoh hasanah, yang akhirnya beliau bentukkan sebagai ceramah.
Dalam sebuah kesempatan berceramah
di sebuah kota besar di Jerman, saat itu berdekatan dengan hari raya Idul Adha,
beliau menyampaikan kisah-kisah Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS yang dapat
kita jadikan teladan. Selama ceramah beliau berlangsung, tak ada sama sekali
penyebutan istilah Islam Nusantara karena memang bukan termasuk topik
pembahasan. Ndilalah, pertanyaan pertama ialah mengapa muncul istilah Islam
Nusantara dibarengi dengan pernyataan “tak usahlah berbuat yang aneh-aneh”.
Beliau jawab, “Mau anda ikut Islam Nusantara, Islam Berkemajuan, atau Islam
Terpadu, atau yang nggak pakai istilah tambahan, yang penting tetap saling jaga
ukhuwah”.
Pertanyaan bertubi-tubi yang
mengikuti setelahnya a.l. tentang mengapa nabi-nabi palsu munculnya hanya di
Jawa yang kebetulan jamaah NU banyak di Jawa, tentang kebolehan membaca
Al-Qur’an dengan langgam jawa, tentang sholat berbahasa Indonesia. Seakan-akan
semuanya akibat dari istilah Islam Nusantara yang asalnya dari NU. Padahal saya
belum pernah mendengar ada dari para masyayikh mendukung dakwah nabi-nabi palsu
itu, atau juga membenarkan sholat dalam bahasa Indonesia. Seakan-akan juga
semua langgam ngaji Al-Qur’an yang tak awam menjadi salah, meskipun kyai telah
menjelaskan, bahwa langgam itu tak lebih penting dari makhorijul huruf dan
tajwid.
Seingat saya hanya satu pertanyaan
yang relevan dengan topik ceramah beliau, yaitu tentang kebolehan berkurban
satu kambing untuk satu keluarga. Oleh kyai dijawab panjang lebar berdasarkan
dalil-dalil dari kitab-kitab masyhur para ulama sekaliber Ibnu Hajar
Al-Asqalani hingga ke Imam Syafi’i, oleh kyai bahkan disebutkan judul kitabnya,
cetakannya, serta halamannya: pada intinya mayoritas ulama Syafi’iyah memilih
pendapat satu kambing untuk satu orang atau satu sapi untuk tujuh orang.
Beliaupun menegaskan, bahwa silahkan saja bila ingin mengikuti pendapat yang
lain tetapi tetap kedepankan ukhuwah.
Yang demikian ini ternyata masih
menghadapi pertanyaan lanjutan, “Mohon pak ustadz tunjukkan sumber Al-Qur’an
atau haditsnya”. Padahal beliau telah jelaskan saat menjawab pertanyaan lain,
bahwa Al-Qur’an dan hadits ibaratnya beras (beliau menggunakan istilah pure
science, mengibaratkan beras sebagai persamaan matematika yang masih perlu
diderivasikan), tak semua orang mampu mengolahnya dengan benar dan baik.
Sedangkan para penulis kitab-kitab itu telah mengolah beras menjadi nasi yang
siap dimakan dan tak jarang telah disesuaikan dosisnya terhadap konsumennya.
Dalam konteks seringnya
kesalahpahaman atas NU inilah sebuah guyonan/meme yang sempat beredar beberapa
waktu lalu menemukan relevansinya: „Dilan, jadi nahdliyin itu berat, kamu gak
akan kuat, biar kami saja”.
Pintu diskusi senantiasa terbuka.
Ngapunten ingkang kathah.