Penulis: M
Kholid Syeirazi
Atorcator.Com -
Saya pikir—dan banyak orang berharap—17 April adalah puncak
kelelahan batin dan jiwa bangsa Indonesia. Setelah itu plong, lega. Ini kali
pertama bangsa Indonesia mengalami pemilu serentak. Jangan dikira gampang. Ada
empat- lima lembar, kertasnya lebar-lebar. Hanya kertas Capres/Cawapres yang paling
kecil. Sisanya besar-besar, gambarnya banyak. Bayangkan bapak/ibu, kakek /nenek
kita yang sudah lamur matanya. Harus buka dan mengamati banyak gambar yang
membingungkan. Artinya, kalau ini bisa dilewati dengan baik, kita sebagai
bangsa berhak menepuk dada. Demokrasi kita tidak main-main.
Setelah itu,
ada metode ilmiah, berdasarkan teknik pencuplikan data acak, yang dapat secara
kasar menerka siapa pemenang baik Pilpres maupun Pileg. Setelah itu, semua
orang legowo. Inilah hasil referendum rakyat, kalau mau pakai istilah itu.
Kalah-menang biasa. Hasil akhir tunggu real count KPU. Itu aturannya. Meski
akurasinya tinggi, QC tidak bisa jadi pegangan untuk deklarasi kemenangan. Saya
kira Jokowi, yang sementara menang versi QC, sudah benar. Pidatonya minta pendukungnya
sabar menunggu hasil akhir KPU. Seandainya isi pidato Prabowo sama, pasca 17
April kita bisa kembali bekerja tenang. Linimasa medsos cooling down. Semua
orang plong setelah kenduren akbar.
Yang bikin
ruwet adalah pidato Prabowo dan statemen orang-orang dekatnya. Pertama-tama
menyoal QC dan meragukan kredibilitas surveyor. Secara tidak langsung
menyangkal metodologi ilmiah. Seluruh lembaga survei kredibel yang terdaftar di
Persepi ijma’ (muttafaqun ‘alaih) memenangkan Paslon 01. Orang Prabowo mentahkan
kredibilitas mereka semua. Yang kedua, dan ini paling parah, deklarasi
kemenangan berdasarkan—katanya—real count internal, dibumbui drama sujud
syukur. Yang ketiga, ini yang buat orang ngeri-ngeri sedap, ancaman people
power. Hanya orang GEMBLUNG yang menyangkal prinsip kerja ilmiah dan kemudian
percaya bahwa di era IT yang sudah kayak rumah kaca orang bisa laku curang
diam-diam. Kita masuk di era di mana rumput-rumput bisa bicara, dinding-dinding
menyadap pembicaraan, genteng-genteng jadi saksi atas apa pun yang kita
lakukan. Hanya orang SEMPRUL yang percaya bahwa penyelenggara pemilu bisa
merancang kecurangan terstruktur, sistematis, dan massif tanpa ketahuan orang.
Karena itu, tuduhan kontan bahwa KPU curang dan mengancam people power tidak
lebih ekspresi dungu anak-anak kecil yang tidak siap berdemokrasi. Ini yang
membuat pasca 17 April belum selesai.
Seandainya kita
semua menahan diri, percaya pada KPU tanpa meruntuhkan kesahihan metodologi
ilmiah, kita bisa menyongsong bulan suci Ramadan dengan tenang. Sebulan
kemudian, kita lakukan halalbihalal nasional. Pak Jokowi dan Prabowo
cipika-cipiki, para pendukungnya salam-salaman. Saya berharap momen itu
betul-betul akan terjadi. Drama kemarin sekadar ekspresi defensif yang wajar
dari sebuah kondisi kejiwaan orang yang berjuang untuk mulai berdamai menerima
kenyataan.
Pak Jokowi dan
Pak Prabowo, tunjukkanlah kepada dunia bahwa Indonesia bangsa besar dan
beradab. Hentikan drama kanak-kanak yang mencerminkan mentalitas kerdil dari
jiwa yang tidak matang. Kita semua berharap, pesta demokrasi kali ini adalah
pergelaran kebesaran jiwa dan kelapangan dada dari semua aspiran kekuasaan yang
percaya kedaulatan berada di genggaman rakyat.