Penulis: Ahmad Ishomuddin
Atorcator.Com - Dalam segala urusan, baik persoalan
dunia maupun akhirat, pada prinsipnya harus diserahkan kepada ahlinya.
"Apabila suatu urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggu saja
saat kehancurannya." Demikian wasiat Nabi Muhammad shalla Allahu 'alaihi
wa sallama yang semestinya dipedomani oleh semua umat manusia, apa pun
agamanya.
Namun kenyataannya, banyak
kerusakan dalam segala bidang karena diserahkan dan diurus oleh orang yang
bukan ahlinya. Di antara penyebabnya adalah karena faktor kecerobohan, tertipu
oleh penampilan, ketidaktahuan, dan terburu-buru percaya kepada orang lain.
Padahal setiap pernyataan sangat perlu untuk diuji kebenarannya, dan setiap
pengakuan harus bisa dibuktikan kenyataannya. Jika tidak, maka itu adalah
pernyataan dan pengakuan yang tidak benar karena mengandung unsur dusta.
Kerusakan yang diakibatkan oleh
bertaburnya para pendusta di berbagai bidang ilmu terkait kehidupan manusia
amat kasat mata, dapat dijumpai dengan mudah dalam kehidupan nyata.
Banyak urusan apa saja menjadi terbengkalai sia-sia, hancur binasa,
karena diserahkan dan kemudian dikerjakan oleh orang atau pihak lain yang
benar-benar bukan ahlinya. Mereka yang sebenarnya tidak memiliki otoritas dan
spesialisasi di bidangnya pun aktif berebut untuk terlibat mengurusnya,
tiada lain demi mendapatkan keuntungan materi semata.
Tak terkecuali dalam urusan
agama, saat ini banyak orang beragama tiba-tiba saja merasa ahli di bidang
agama. Padahal tidak diketahui belajar agama di mana, kepada siapa,
berapa lama, apa saja referensinya yang mu'tabarah (otoritatif), dan
entah sudah mengamalkan ilmunya atau tidak. Bahkan butuh syarat-syarat
keilmuan dan kepribadian untuk tampil menyampaikan ajaran agama di hadapan
orang banyak. Sedangkan ilmu-ilmu sebagai syarat dan sarana untuk memahami
agama sangatlah banyak dan tidak gampang untuk menguasai sebagiannya, apalagi
keseluruhannya.
Namun, dengan modal pintar
ceramah agama saja seseorang merasa sudah menguasai keseluruhan ilmu agama, dan
yang mengherankan sebagian masyarakat juga dengan mudah mengidolakannya.
Lebih-lebih jika sang penceramah berpenampilan meyakinkan dengan berpakaian
bagai ulama besar.
Apabila diajukan beberapa
pertanyaan tentang agama yang mudah saja kepadanya, mereka tidak akan mampu
menjawab dengan benar, atau segera dengan tergesa-gesa diluncurkan fatwa
(jawaban)nya karena takut dianggap tidak tahu. Merekalah sesungguhnya yang
berperan besar dalam merusak citra agama dan mereka pula yang menjadikan agama
sebagai komoditas untuk mencari keuntungan duniawi semata.
Menghadapi maraknya fenomena
tersebut, maka ahli agama (ulama)--dalam arti yang sesungguhnya,
yakni mereka yang dalam jangka waktu yang lama telah menghabiskan usianya untuk
ber-tafaqquh fi al-din (mendalami ilmu-ilmu untuk memahami agama) dengan
mengambil spesialisasi ilmu tertentu kepada para ulama sebelumnya dengan sanad
(mata rantai) keilmuan yang bersambung, dan telah diakui oleh para ahli
agama lainnya sebagai ahli dibidangnya, jika ada kesempatan yang
tepat diperkenankan untuk mengujinya, agar orang tersebut tidak
terjerumus dalam kerusakan (tidak tersesat jalan) dan tidak menjerumuskan
orang lain dalam kesesatan dan kerusakan..
Menurut al-Sayyid Abdullah 'Alwi
al-Haddad dalam karyanya yang berjudul Kitab Ithaf al-Sail bi Jawabi al-Masail
halaman 9 dan 10, orang yang boleh diuji ilmu agamanya ada dua macam:
Pertama, bila seorang 'alim
yang mampu memberi nasehat dan penyayang melihat ada seseorang yang dinilainya
merasa kagum kepada pendapatnya sendiri, sehingga ia tidak mau lagi menuntut
ilmu dan menambah (tidak meng-up date) lagi ilmunya. Manusia semacam ini perlu
diperkenalkan kepada orang yang keutamaan ilmunya lebih dari yang
dikuasainya, boleh diuji dan dijajagi "ketinggian" ilmunya
untuk tujuan menasehatinya. Menguji dan menasehatinya lebih utama empat mata di
tempat yang sunyi dari dilihat orang lain agar kehormatannya tetap terjaga.
Kedua, yang boleh diuji adalah bila
ia melihat seorang munafik yang pandai ceramah ('alim al-lisan) yang
dikuatirkan pengaruh buruknya merusak agama kaum lemah dari orang-orang yang
beriman. Orang seperti itu harus diuji untuk menunjukkan kesalahan-kesalahan
dan kebodohannya di bidang agama. Selain untuk tujuan menasehati, mengingatkan
kekeliruan-kekeliruannya, juga untuk menyadarkannya agar kembali ke jalan ilmu
serta berpegang teguh kepada ajaran agama yang valid sebenar benarnya.
Semoga kita tetap menjadi manusia
yang rendah hati, yakni mau menerima kebenaran, tidak menganggap remeh
siapa pun, tidak merasa lebih hebat dari orang lain, tidak merasa mengerti dan
merasa paling ahli dalam sedikit hal, lebih-lebih dalam banyak hal, agar
tidak memperparah kerusakan di tengah-tengah kehidupan. Sudah saatnya yang
cerdas dan waras jangan mengalah, wajib "turun gunung" memperbaiki
keadaan agar agama kita terjaga dan urusan bangsa kita tidak dikuasai oleh
siapa saja yang bukan ahlinya.
Baca juga