Ilustrasi foto (Aktual.com) |
Penulis: Nurbani Yusuf
Atorcator.Com - Jangan
ber-eksperimen. 109 tahun bukan waktu yang pendek untuk membuktikan, bahwa
tidak berpolitik adalah pilihan paling tepat--NU telah merasakan getirnya
berpolitik praktis--kembali ke Khittah itu jawabnya.
Politik
adalah cara mudah memecah konsentrasi aktifis Persyarikatan, seperti
peribahasa: sambil menyelam minum air--sekali dayung dua tiga pulau terlampaui.
Apapun telah dicoba untuk memecah tapi tak bisa--kecuali politik. Politik bisa
memecah belah dan memecah konsentrasi sekaligus.
Sudahlah
lazim--bahwa Muhammadiyah sangatlah solid--berbagai upaya untuk membelah tak
pernah berhasil. Sejak jaman kompeni--orla--orba --dan reformasi--Muhammadiyah
telah teruji. Bahkan Muhammadiyah satu -satunya yang tetap komit dan konsisten
dengan garis Khittah, ketika ormas yang lain tergoda bermain politik praktis.
Amr-Ma'ruf
dan Nahy-Munkar terhadap situasi politik bukan diletakkan dalam koridor politik
partisan--tapi tetap dalam konteks dan sandaran moral dan etik.
Artinya--kepolitikan Muhammadiyah adalah niscaya--netral bukan berarti tidak
berpihak. Keberpihakan Muhammadiyah bukan kepada kepentingan politik
kelompok--high politik Muhammadiyah berpihak pada keadilan untuk maslahat
ke-umatan dan kebangsaan secara holistik.
Kita
ambil komparasi sepadan: NU. Kenapa ormas semacam NU, rentan konflik--karena
banyak aktifis nya bermain politik praktis. Imbas konflik di dunia politik
kerap dibawa masuk di rumah NU. Akibatnya jelas: NU kerap harus sibuk jibaku
dengan konflik kepentingan di tingkat elitenya. Meski besar--NU sering gagal
mengakomodasi aspirasi jam'iyah-nya. Elite NU sering terlihat taat pada
kyai-nya dan tidak taat pada komando organisasi--karena interest politik
berbeda antara pengurus jam'iyah dan elite kyai pesantren.
Beberapa
aktifis NU terpental karena kalah bersaing--lantas membangun rumah sendiri.
Banyak pesantren dibangun sebagai akibat tak kebagian tempat di rumah besar NU.
Meski kemudian berubah menjadi katub pengaman--semacam 'sudhetan' karena
aspirasi yang dibendung.
Beruntung
NU punya banyak para kyai yang berperan menetralisir konflik. Disamping tradisi
taat--kalau tidak boleh dibilang taqlid. Dengan begitu para kyai dan tradisi
pesantren berperan menjadi penyeimbang menjaga stabilitas kultural. NU bisa
merubah konflik interest menjadi sebuah kekuatan--karena faktor kyai dan
tradisi pesantren yang kokoh. NU adalah model organisasi yang menggunakan
sistem jam'iyah dengan sempurna.
Lantas
bagaimana dengan Muhammadiyah?
Muhammadiyah
adalah gerakan tajdid--Ke Islam an--Kemodernan dan ke Indonesia an dalam satu
bingkai. Sempurna tanpa cela. Tradisi Muhammadiyah adalah: egaliter--tidak ada
kelas ulama dan umat--dengan model kepemimpinan kolektif-kolegial. Model ini
hanya aman untuk menjaga stabilitas kultural organisasi--tapi tidak cocok untuk
mengambil peran-peran politik siginifikan. Sebab para elite Muhammadiyah tidak
mengambil semua peran dan kekuasaan--tapi berbagi--sebagai manifestasi model
kolegial.
Kenapa
model ini diambil oleh para founding father Muhammadiyah? Jawabnya jelas: sebab
kebanyakan anggota Persyarikatan adalah orang terdidik--orang orang
terpelajar--para priyayi dan saudagar dengan status sosial menengah atas. Jadi
dibutuhkan modeil kepemimpinan yang tidak sentralistik kharismatik. Tidak
memusat pada satu orang yang kuat dan ditaati--tapi berbagi.
Bahkan
keputusan-keputusan agama yang berupa fatwa sekalipun harus di musyawarahkan
kemudian dilembagakan untuk meminimalisir konflik yang kemudian disebut Majiis
Tarjih. Inipun juga membuktikan bahwa tradisi egaliter di Muhammadiyah begitu
kuat. Artinya sejak awal didirikan--Persyarikatan memang tidak di-disain
menjadi organisasi politik dan sembari menafikkan kebijakan-kebijakan personal
yang berlandaskan kekuatan kharismatik.
Di
Muhammadiyah--keputusan-keputusan yang diambil personal dan kasuistik tidak
akan pernah efektif. Kerap diabaikan. Dan tidak bisa dilembagakan, sebut Prof
Nakamura. Ijtihad politik hanya menambah beban pikir bukan beban amal. Orang
terpelajar dan terdidik di Persyarikatan tidak serta merta taat dan
mengikuti--sebab itu berlawanan dengan tradisi pelajar dan keilmuan yang
disandang. Disinilah rumitnya. Jika sampai terjadi konflik--maka susah sekali
dicari solusinya--sebab semua berkedudukan sama--konflik sering berlalu tanpa
solusi--beda dengan NU yang menyandarkan kharisma pada kyai.
Pernyataan
Kyai Haji Saad Ibrahim Ketua PWM Jatim bahwa: Memimpin Muhammadiyah lebih berat
dibanding memimpin lembaga atau birokrasi pemerintahan-- lebih karena sebab
tradisi kolektif-kolegial dan budaya egaliter yang kokoh ..
Muhammadiyah
tidak menghalang kadernya berpolitik praktis--kader yang ingin berpolitik
hendaknya masuk di parpol--tidak membawa gerbong Persyarikatan--maka bermain-main
politik di Muhammadiyah hanya akan melelahkan, tidak produktif dan mengundang
konflik internal ... sebab berpolitik praktis melawan tradisi tajdid--sebagai
organisasi dakwah amr ma'ruf-nahy munkar ... 🙏🙏
Wallahu
taala a'lam
- @nurbaniyusuf
- Pecinta MUHAMMADIYAH