Penulis: Robert Azmi
Atorcator.Com - Mungkin rata-rata teman santri Lirboyo, akan teringat dawuh
al-Mukarram Mbah Yai Anwar Lirboyo yang mengkritik banyaknya wali murid
memondokkan anaknya karena sudah angkat tangan. Ndugal, nggak ngatasi,
baru di pondokkan. Atau nilai sekolah super payah, baru melirik pondok. Yang
inti dawuhnya: “Jangan jadikan pondok pesantren seperti sampah; tempat
pembuangan terakhir! Anak yang seakan tak berguna dan tak sesuai kehendak orang
tua, baru di pondokkan”. Fix, saya nderek dawuh Beliau. Mbok yao,
yang cerdas dan sip juga ikut di pondokkan.
Tapi, apakah kesimpulannya: Anak
tidak bisa diatur dilarang dipondokkan? Dan banyak pondok yang menolak? Inilah
enaknya banyak guru dan kyai.
Dulu Mbah Yai desa kami, sowan ke
salah satu pamannya yang merupakan perintis pondok kecilnya. Beliau mengeluh,
santri yang mondok di pesantren mereka, kok banyak yang nakal. Dan pengganti
ayahandanya itu menjawab dengan sabar, "Lho, karena mereka belum
baik. Ini kan malah tugas mulia kita untuk menjadikannya baik, Yi? Jadi jangan
putus asa lah ...".
Selang beberapa waktu. Mbah Yai desa
kami ganti di "sambati" adiknya yang kebetulan bagian
keamanan. "Mas, anak yang nakal-nakal itu, dikeluarkan saja, kenapa? Ngruwet-ngruweti!"
"Kalau semua pondok menolak
dipondoki. Terus siapa yang akan menerima mereka untuk mendapat kebaikan?"
Jawab kakaknya kalem.
Trus, apakah Mbah Yai desa kami
tidak pernah marah pada santri-santrinya yang ndugal? Wah sering! Tapi
setelah marah langsung selesai.
"Dulu, ya kami pernah dimarahi
abah" Seniorku memulai kisahnya tadi malam. "Gimana tidak marah? Tau
kan dulu sebelum ada WC model zaman sekarang. Para santri putri BAB nya di
jamban yang dibawahnya ada kolam berisi ikan lele buwesar-buwesar. Fungsi dari
lele itu untuk memakan Eek mbak-mbak putri. Dasar kami yang ruwet. Ikan
pemangsa bolang-baling itu. Kami pancing! Dan kami masak bersama-sama!"
"Huweeekkkk" Sergahku.
Kemudian dia meneruskan, "Abah
marah besar!Beliau menyuruhku menulis siapa saja yang memancing, memasak dan
memakannya. Aku tulis semua. Kecuali namaku ngoahahaha. Setelah semuanya
berkumpul dan aku bergaya sebagai pihak yang mengantar para terdakwa. Beliau
marah besar! 'Karepmu kabeh iki opo?! Iwak lele dingge mangan tahine cah
wedok-wedok kok mbok masak?! (Ingin kalian apa?! Ikan lele yang di gunakan
untuk memakan kotoran anak-anak putri, kok kalian masak?!) Apa kalian mau
menggantikan tugas ikan lele itu?!'. Mendengar kata terakhir ini, ganti kami
yang menahan tawa".
"Ada lagi" Saut seniorku
lainnya, "Abah dulu kan memelihara menthok (Itik/bebek Manila), dan aku
curi xixixi... Setelah matang. Kami undang Beliau untuk makan bersama.
'Wah makan besar, Cah! Daging apa
ini?!'.
'Burung dara, Bah'.
Setelah beberapa pulukan Beliau
menemukan potongan kepala yang lebih besar dari burung dara,
'Lho, ini apa?! Burung dara kok
kepalanya menthok?"
Kami semua ngakak berjamaah. Lalu
menceritakan kisah-kisah lucu masa lalu. Diakhir kata. Ada seniorku yang
berkata:
"Tapi, yang penting bagi kami.
Kesalahan sebesar apapun. Tetep meminta maaf kepada Beliau. Sering mendekat dan
sering sowan. Bahkan sampai Beliau meninggal. Oiya, kami pamit dulu, mau ke
makam Abah".
"Oke," jawabku singkat.
Kupandang mereka yang menjauh dan membatin, "Ndugalnya seperti itu,
kok sekarang ada yang punya Madrasah dan Masjid?! Gustiii, rahasia-Mu memang
tak terkirakan".