Atorcator.Com - Harus diakui tradisi demokrasi sesungguhnya terjadi pada
tahun 54 dan pasca reformasi. Kurun waktu rejim Orde Baru berkuasa, tidak bisa
dihitung, karena itu bagian dari rejim refresif yang memberangus kebebasan
berpendapat dan bersuara.
Pasca rejim Orde Baru, demokrasi yang kita bangun masih
teramat muda, 21 tahun. Upaya membangun tradisi berdemokrasi ini juga
terus-menerus dibangun dan dikuatkan. Di sini pemilu dan pilkada merupakan
ritual 5 tahunan untuk melatih cara berdemokrasi tersebut.
Yang menyebalkan di tengah upaya membangun demokrasi yang
sehat, atas nama demokrasi, justru diciderai oleh orang-orang picik dan tidak
mau menerima kekalahan. Dengan dalih kecurangan, orang-orang ini menggunakan
nama demokrasi untuk mengibirinnya sendiri.
Akibatnya, bukannya membuat masyarakat menjadi jauh lebih
pintar, kritis dan rasional, justru membawanya kepada titik keresahan akut yang
seolah-olah Indonesia tidak ada lagi jika tidak dipimpin oleh mereka.
Propaganda membangun tuduhan curang sejak awal sebenarnya sudah diterapkan.
Misalnya, "kalau kami kalah berarti kami
dicurangi". Saat ada hasil Quick Count yang bagian dari tradisi akademik,
lalu tidak mempercayainya, "Quick Count itu adalah ilmu sihir, kami
menunggu hasil real count". Ketika real count mulai keluar, malah
mengatakan, "kami tidak percaya KPU".
Ironisnya, bukti kecurangan yang diajukan yang selama ini
jadi doktrin ingatan bagi para pendukungnya ternyata hanya hasil print out dari
tautan media online, bukan riset investigatif yang mendalam. Ya terang saja
Bawaslu menolak. Meskipun demikian, mereka masih berpikir terjadi kecurangan di
pemilu dan tidak mau mengadukan ini ke Mahkamah Konstitusi.
Sebaliknya, mereka ingin melakukan people power dengan turun
ke jalan. Tentu saja harapannya dengan turun ke jalan ini dan adanya tekanan
massa berharap tiba-tiba KPU bisa memenangkan mereka. Tindakan ini justru
praktik iliberal demokrasi. Akibatnya, pihak aparat menjadi punya alasan untuk
menertibkan mereka, yang tidak lagi dianggap menyuarakan demokrasi tapi sudah
menjurus ke makar.
Dalam menghadapi ini, petahana justru bisa dianggap melakukan
tindakan illiberal demokrasi, baik orang pencinta demokrasi, aktivis, dan
Indonesianis, karena dianggap membungkam suara-suara mereka. Padahal itu
dilakukan karena bagian dari reaksi sebelumnya, di mana perangkat media sosial
sebagai bagian dari aktivisme publik tidak bisa selebihnya dalam pengawasan
kontrol negara.
Kemenangan Jokowi-Ma'ruf ini dan periode terakhir Jokowi
memimpin, membuat dirinya tidak ada beban apa-apa yang perlu dipertaruhkan
dalam memimpin, membuatnya leluasa untuk terus-menerus membangun infrastruktur
sekaligus kemungkinan untuk tidak kompromi. Sebaliknya, jika pihak oposisi dan
para pendukungnya terus melakukan tindakan illiberal, justru memungkinkan
Jokowi untuk melakukan tindakan illiberal sama dengan cara yang oposisi
mainkan.
Ya, demokrasi Indonesia tidak setua Amerika Serikat dan
Eropa, tapi kalau preseden ini terus-menerus terjadi, tindakan illiberal
melalui tangan besi justru sebagai sesuatu yang diidamkan oleh masyarakat yang
menginginkan stabilitas. Dalam konteks ini kita sudah memiliki contohnya selama
32 tahun sebelumnya. Selama itu juga, KKN berkecambah dan mengakar, yang
membuat kita justru jadi muak terhadap institusi di bawah negara.