Ilustrasi Foto (Suara Islam) |
Penulis: Saifir Rohman
Atorcator.Com - Suatu hari saat sedang melintasi sebuah gang di kota
Madinah, Sahabat Umar Bin Khattab Ra. berjumpa dengan seorang bocah yang sedang
asyik bermain-main dengan seekor burung usfur (sejenis emprit) di tangannya.
Karena merasa kasihan, beliau pun
membelinya dari tangan si bocah, kemudian melepaskannya terbang ke habitatnya.
Syahdan, pasca beliau wafat, beberapa ulama diberi
keistimewaan berjumpa beliau dalam mimpi. Dalam pertemuan yang tak terekam
kamera itu, mereka (jumhur) bertanya kabar Umar di alam baka: “Apa yang
Allah perbuat terhadap jenengan, wahai Sahabat Umar?” “Allah
telah memengampuniku,” jawab beliau. Mereka bertanya lagi, “Amal apa
yang membuatmu diampuni? Apakah karena kedermawananmu, atau karena keadilanmu,
ataukah karena zuhudmu?”
Di luar dugaan, beliau bercerita, “Saat kalian
meletakkanku di liang lahat dan menimbunku dengan tanah, lalu kalian pergi
meninggalkanku seorang diri, datanglah dua malaikat yang sangat mengerikan.
Saat itulah, akalku membubung, sendi-sendiku gemetar karena ketakukan. Mereka
berdua menghampiri dan mendudukkanku, hendak mengintrogasi. Kemudian, aku
mendengar seruan tanpa sosok: “Tinggalkan hamba-Ku ini wahai dua malaikat dan
janganlah kalian menakut-nakutinya. Sungguh Aku mengasihi dan telah
mengampuninya. Sebab semasa di dunia dia pernah mengasihani seekor emprit, maka
Aku pun mengasihaninya di akhirat.”
Hikayat ini disampaikan oleh Syekh Muhammad bin Abu Bakar,
atau yang populer dengan al-‘Ushfuri dalam kitab berjudul al-Mawa’idh
al-‘Ushfuriyah.
Seorang muslim,
selain dibebani kewajiban melakukan ibadah mahdhah (ritual-vertikal), sesuai
dengan tugasnya sebagai khalifah ia pun dituntut untuk melakukan ihsan
(kebaikan) dan ishlah (perbaikan) di muka bumi. Hal ini juga merupakan
konsekuensi logis dari visi Islam sebagai rahmat bagi jagad raya.
Sementara itu, Hasan Amali dalam Mafhum al-Islah fi al-Qur’an al-Karim wa Aliyatu Tathbiqihi min Khilal as-Sunnah an-Nabawiyyah menegaskan bahwa ishlah juga termasuk kategori ibadah. Menurutnya pula, ishlah harus mencakup seluruh aspek kehidupan manusia secara komperhensip. (Amali, 2012:85)
Maka menjadi
lucu tatkala ada segolongan umat yang katanya sedang melakukan ibadah dengan
berjihad melawan kelaliman, tetapi saat itu juga, dengan sengaja pula mereka
lakukan ifsad (perusakan) terhadap fasilitas publik.
Kembali ke
kisah Sayyidina Umar, dalam konteks ini, kita dapat menilai apa yang dipraktikkannya
sebagai wujud ishlah atau kesalihan dalam dimensi ekologis. Kesalihan
dalam menjaga ekosistem, khususnya melestarikan makhluk hidup melalui cara yang
membebaskan, memberikan hak-haknya untuk hidup aman di habitatnya. Tidak
seperti mereka yang mendaku sebagai pecinta satwa, tetapi justru secara
bersamaan, mereka mengebiri kebebasan satwa dengan membelenggunya dengan rantai
atau meringkusnya ke dalam sangkar.
Sayangnya,
kesalihan macam ini jarang dilirik dan tidak populer. Mayoritas masyarakat
masih lebih memilih menjadi salih dengan berkali-kali naik haji atau umrah.
Atau berbondong-bondong terjun menjadi demonstran, berkoar-koar di jalan-jalan
dengan embel-embel jihad. Sementara itu, menyaksikan sungai—sungai terus
dicemari, alam dirusak, atau badak mati ditembak untuk diambil culanya mereka
diam saja, seakan tidak terjadi apa-apa.
Sekali lagi,
apa yang percontohkan Sayyidina Umar mengajak kita untuk tidak egois sebagai
umat beragama. Di samping terus berupaya meningkatkan kualitas kehambaan dengan
banyak beribadah. Jangan sampai lupa untuk mengimbanginya dengan beribadah
menjaga lingkungan. Sebab alam dan lingkungan telah banyak berkontribusi bagi
kehidupan manusia.
Dalam hadist
yang diriwayatkan dari Abdullah Bin Umar Rasulullah bersabda:
“Para pengasih
akan dikasihani oleh Allah (ar-Rahman).
Kasihanilah makhluk yang ada di bumi, maka kalian akan dikasihani oleh Allah (berikut
para makhluk) yang ada di langit.”
Barangkali,
rahmat yang akan Allah berikan kepada mereka yang mengasihi sesama hidup tidak hanya
dilimpahkan nanti di hari kelak, sebagaimana yang dialami Sayyidina Umar dalam
hikayat di atas. Akan tetapi rahmat itu juga bisa dirasakan sejak di dunia,
kalau bukan oleh kita, barangkali oleh generasi kita selanjutnya. Bukankah
selamat dari fasad (kerusakan) lingkungan juga merupakan rahmat?!
Wallah a’lam
- Saifir Rohman Santri mahasiswa, penggemar kretek, kopi dan puisi