Ilustrasi foto (Atorcator) |
Penulis: Kurdi Fadal
Atorcator.Com - Tidak ada yang salah dengan ‘saling mencintai’. Tak berdosa
pula untuk saling menyukai. Karena manusia diciptakan untuk saling mengenal dan
menyayangi.
Berpacaran sejatinya adalah bentuk ekspresi rasa cinta antara
laki-laki dan perempuan. Mereka saling memberi perhatian dan mewarnai hubungan
dengan kemesraan tanpa ‘imbuhan’.
Banyak alasan mengapa berpacaran dilakukan. Sebagian
melakukannya hanya sebatas untuk saling mengenal, sebagai rekreasi, sosialisasi
diri kepada orang sekitar, atau untuk mendapatkan keintiman dalam kebersamaan.
Sebagian yang lain bahkan sampai pada eksperimen seksual.
Semua indah saat bersama.
Namun, saat ego mulai terlihat, kebersamaan mulai terasa
membosankan, rasa kesal kerap bermunculan, disitulah kekerasan kerap tak
terkendalikan: Kekerasan Dalam Pacaran
Kekerasan dalam pacaran (KDP) atau _dating violence_ (DV)
adalah kekerasan yang dilakukan pasangan dalam hubungan pacaran. Mirip dengan
KDRT (kekerasan dalam rumah tangga) KDP bisa terjadi dalam bentuk fisik,
psikologis dan seksual, bahkan ekonomi.
KDP bisa terjadi pada siapa saja, laki-laki atau perempuan.
Namun perempuan lebih sering menjadi korbannya, lebih-lebih dalam bagi usia
remaja hingga dewasa awal.
“Younger women, especially those between 15 and 19 years
old, were at a higher risk of physical or sexual violence by a partner”,
kata seorang psikolog Spanyol.
Mengapa perempuan paling rentan? Budaya patriarkhi salah satu
alasannya. Budaya ‘lawas’ ini masih sangat mengakar kuat di masyarakat dan
berefek pada sikap dominasi dan kontrol laki-laki terhadap pasangannya.
Stereotip bahwa ‘perempuan adalah makhluk lemah’ sebagai turunan dari budaya
tersebut.
KDP juga diperkuat oleh faktor sosial bahwa perempuan sering
diposisikan sebagai pihak yang bersalah. Ini yang paling sering membekas dalam
mindset sebagian banyak laki-laki. Ketika sifat itu muncul, perlakuan yang
mengarah pada kekerasan sering dijadikan cara untuk menyelesaikan konflik
interpersonal dengan pasangan. [begitu kata sebagian psikolog].
Kapan pria menjadi korban? Untuk kekerasan fisik memang
jarang ditemukan. Tapi kekerasan psikis kerap menjadi korbannya.
Ketika wanita menjadi pihak yang paling benar, ‘woman is
always right’, ‘woman is never wrong’, jika wanita salah berarti si pria
sebagai penyebabnya. Dan, pria harus bisa memaklumi semuanya.
Bagaimana dengan kekerasan seksual pacaran?
Lebih-lebih.
Perempuan yang paling rentan menjadi korbannya. Kekerasan ini
bisa terjadi pada usia berapapun, namun kaum remaja hingga dewasa awal paling
rentan mengalaminya.
Kekerasan seksual dapat terjadi dalam bentuk sikap melecehkan
atau merendahkan secara seksual terhadap pasangan, _petting_ (meraba, mencium
atau menyentuh bagian sensitif) hingga paksaan hubungan seksual (intercourse).
Beberapa kasus bisa terjadi eksploitasi seksual atau trafficking untuk
tujuan seksual.
Ini bentuk _direct violence_ (kekerasan langsung) karena
pihak korban secara langsung merasa dirugikan.
Namun tidak jarang kekerasan seksual terjadi bersifat tidak
langsung (indirect violence). Pasangan pacaran melakukan sebuah tindakan secara
suka rela, suka sama suka, sama-sama menghendakinya dan tanpa paksaan.
Seseorang menjadi korban kekerasan seksual tanpa
menyadarinya.
_’Petting’_ dan _’sexual experiment’_ (eksperimen seksual)
dilakukan pasangan tanpa berpikir dampak buruknya. Saat semuanya telah usai
atau hubungan kandas sebelum ke jenjang pernikahan, kesadaran baru muncul bahwa
tindakan tersebut merugikan. Penyesalan muncul ketika menyadari dirinya telah
menjadi korban rayuan.
Akibatnya, korban mengalami krisis konfidensi, bersikap
negatif pada dirinya, apalagi menjalani dampak buruk yang sangat fatal berupa
kehamilan, putus sekolah, atau teralienasi secara sosial. Na’uzhubillah!
Memang tidak mudah menyadari “kerugian seksual” pada prilaku
suka sama suka dalam hubungan pacaran. Setiap orang bisa memiliki standar yang
berbeda dalam memaknai sebuah tindakan berbau seksual, apalagi ketidakpahaman
tentang bagaimana menghargai tubuh dan memproteksi kehormatan.
Maka, pacaran yang sehat dan bertanggung jawab menjadi
pilihan yang menyelamatkan. Dibutuhkan kesadaran diri, empati dan kemampuan
mengatur emosi, agar sebuah hubungan terhindar dari kekerasan yang tak
dikehendaki, secara langsung maupun tidak langsung.
Qoute of the Day:
“Jika berpacaran menjadi cara ‘terberat’ untuk menunjukkan kedewasaan, maka prilaku kekerasan harus menjadi kewaspadaan.”
=========
_Walâ taqrabūz Zinã, Jangan berpacaran_@
- Kurdi Fadal Dosen tetap IAIN Pekalongan dan alumni Ma'had Aly Situbondo