Ilustrasi foto (rancah-post) |
Penulis: Dimas
Supriyanto
Atorcator.Com - Tertangkapnya
anak muda yang mengancam akan memenggal kepala presiden RI menambah daftar
dampak absennya budi pekerti dalam pendidikan kita. Juga semakin mendesaknya
pelajaran budi pekerti agar dihadirkan kembali di rumah dan di kelas, sejak
dini.
Selain itu,
perilaku anak muda itu juga menunjukkan absennya akhlak dalam agama. Padahal
akhlak tak bisa dipisahkan dari agama. Meski pada kenyataannya, banyak muncul
orang yang beragama tapi tidak berakhlak – padahal bergelar ustadz dan ulama.
Padahal,
produk akhir dari agama adalah akhlak – Umat Islam menyebutnya “Akhlakul
Kharimah” yang artinya "Akhlak yang Mulia" – tercermin dalam
kata kata, penampilan dan perilaku, sebagai menjadi modal pergaulan
dengan orang lain dengan umat lain.
Anda shalat,
puasa dan berhaji itu hak dan kewajiban pribadi Anda kepada Allah SWT. Urusan
pribadi Anda - urusan kamar Anda. Habluminallah.
Tapi bersopan
santun menjaga lidah, penampilan dan menata perilaku adalah kewajiban
kepada sesama. Habluminanas.
Sebagaimana
undang undang, perda, dan aturan publik umumnya, berlaku untuk semua
orang; apa pun agama, suku dan budaya anda, wajib untuk taat aturan
lalu lintas. Budi pekerti demikian halnya.
Sudah lama
Indonesia kehilangan pendidikan budi pekerti. Para agamawan dan tokoh tokoh
politik merasa pendidikan agama mencukupi.
Tapi ternyata
tidak!
Munculnya anak
anak muda yang menghina aparat, tokoh yang dihormati dan kepala negara adalah
contohnya.
Sebaliknya,
agama malah memproduksi radikalisme dan sikap intoleransi. Penerapan dan tafsir
agama yang keliru melahirkan aksi aksi persikusi, anarkisme dan perilaku
destruktif. Juga terorisme dan tindakan keji dengan mengatas-namakan ayat suci.
Simbol simbol
agama digunakan untuk mencaci maki, mengintimidasi, menista, memeras, menindas
umat dan golongan lain dan merugikan kepentingan umum.
Agama secara
masif, sistemik dan terstruktur juga telah melepas akar budaya pengikutnya.
Orang orang Jawa mulai kehilangan keJawaannya, orang Indonesia kehilangan
keIndonesiaannya; mereka menjadi robot bahkan zombie agama serta antek budaya
asing.
Sebagian tokoh
agama menjadi calo / makelar budaya asing - khususnya budaya gurun pasir.
Budi pekerti
secara konsepsional adalah budi yang “dipekertikan”; dilaksanakan dan
diaktualisasikan, dalam kehidupan sehari-hari dalam kehidupan pribadi, sekolah,
pergaulan di tengah masyarakat, bangsa, dan negara.
Budi pekerti
merupakan suatu perilaku baik yang dilakukan melalui kebiasaan, - karena
diajarkan sejak dini - agar berperilaku positif, santun sejak masa kecil sampai
dewasa, melalui latihan-latihan, dalam cara berbicara, cara menyapa dan
berpakaian, menghormati orang lain, cara bersikap menghadapi tamu, cara makan
dan minum, cara masuk dan keluar rumah, dan sebagainya.
Pendidikan budi
pekerti - dalam jangka panjang - membentuk karakter generasi khususnya para
remaja yang masih labil, di persimpangan jalan.
Pengembangan
karakter anak tidak bisa mengandalkan bahan yang diberikan guru di sekolah,
karena siswa di sekolah diajarkan ilmu kognitif. Padahal, dalam kehidupan
bermasyarakat, kapasitas intelektual dan budi pekerti berguna membangun
karakter bangsa.
Di negara maju,
budi pekerja diajarkan dengan disiplin dan etika. Sportifitas. Sehingga
meski mereka minim pengetahuan agama - bahkan tidak beragama sama sekali
- seperti di negeri negeri sekuler dan komunis; mereka bisa luwes dalam
pergaulan dan adaptif dengan siapa pun.
Sebaliknya, di
negeri negeri yang kuat agamanya, justru menonjol sikap menang sendiri, merasa
paling benar, terlindungi oleh ayat ayat, sehingga semena mena kepada pihak
lain yang berseberangan pendapat. Mengkafirkan orang lain.
Dengan menanam
budi pekerti, Anda tak perlu pamer pamer diri paling beragama - tapi mencaci
maki, kasar dan tidak hormat pada aparat negara dan pelayan rakyat. Juga kepada
pegawai minimarket.
Dalam kehidupan
bermasyarakat, moral, etika serta disiplin jauh lebih penting dibanding
agama.
Anda bergama
dan tidak beragama itu urusan anda - taat dan tidak taat ibadah itu urusan
anda. Tapi ketika Anda merusak fasilitas publik dan tidak taat aturan
lingkungan dan lembaga negara dan masyarakat - Anda menjadi beban bagi
orang orang di sekitar anda. Anda warga parasit.
Budi pekerti adalah
pendidikan moral dan etika untuk semua kalangan semua suku semua agama tanpa
kecuali.
Budi pekerti
ialah perilaku kehidupan sehari-hari dalam bergaul, berkomunikasi, maupun
berinteraksi antar sesama manusia maupun dengan penciptanya.
Budi pekerti
yang kita miliki terdiri dari kebiasaan atau perangai, tabiat dan tingkah laku
yang lahir disengaja tidak dibuat-buat dan telah menjadi kebiasaan.
Semangat yang
dikandung dalam budi pekerti adalah hormat yang lebih tua, cinta sesama dan
sayang pada yang lebih muda..
Pendidikan budi
pekerti adalah sarana dan protokol untuk kehidupan bermasyarakat yang akan
menjaga keharmonisan dan ketertiban. Juga disiplin.
Budi pekerti
bersifat non sektarian; berlaku untuk semua suku, agama dan budaya -
yang disesuaikan dengan kondisi serta tata cara dan adat istiadat dari daerah
yang bersangkutan
Semua agama
mengajarkan hormat pada yang lebih tua dan sopan - itulah budi pekerti. Dan itu
non sektarian. Berlaku untuk semua suku, agama dan semua kalangan.
Menjaga adab
adalah sebutan lain dari budi pekerti. Tata krama - unggah ungguh.
Di mana pun
Anda - dengan siapa pun Anda berbicara, jika mengungkapkan
dengan kata kata sopan Anda akan disambut dan diterima.
Tapi menyampaikan
ayat suci dengan menuding menuding, melotot lotot, dalam diksi kebencian, Anda
akan mendapat perlawanan dan antipati. Kecuali di antara sesama pembeci.
Dan bukan agama
jika mengajarkan kebencian dan membenci. Apalagi tindakan keji.
Demi agama –
yang notabene datang dari negeri asing - mengancam kepala negara yaitu pemimpin
bangsa sendiri – Demi membela Palestina, malah menista saudara sesama warga,
mengintimidasi orang yang sedang bekerja.
Di mana
akhlaknya? Siapa yang dulu mengajarkan agama kepadanya?
PS: Terima
kasih kepada jajaran Polri, khususnya aparat Polda Metro Jaya, yang
telah sigap menangkap pelaku pengancaman kepada kepala negara.
Dimas
Supriyanto
(Copas Hari
Merdeka)