Ilustrasi foto (FB-Sumanto Alqurtuby) |
Penulis: KH. DR. Miftah el-Banjary, MA
Atorcator.Com - Dikisahkan pada zaman dahulu ada seorang ulama yang sangat
tekun beribadah siang dan malam. Sang ahli ibadah sangat marah sekali jika
mendengar atau melihat terjadinya kemungkaran di sekitarnya.
Sampai suatu hari, si ahli ibadah mendengar bahwa di satu
kampung ada sebatang pohon yang dikeramatkan oleh masyarakatnya. Pohon itu
dikeramatkan sedemikian rupa agar terkabul segala hajat dan permintaan orang
yang memberikan sesajian.
Demi mendengar kabar itu, si ahli ibadah bukan main marahnya.
Dia segera mengambil kapak dan berniat menebangnya. Di tengah perjalanan, dia
bertemu dengan seseorang tua yang sejatinya penyamaran syaitan yang ingin
menghalangi rencana si ahli ibadah.
"Apa yang akan kamu lakukan dengan kapakmu?" tanya
syaitan.
"Aku akan menebang pohon yang membuat masyarakat kampung
salah jalan menyimpang dari jalan yang benar!"
"Sebelum kamu menebang pohon itu, hadapi dahulu aku. Aku
tidak akan membiarkan kamu menebang pohon itu! Aku akan menghalangi
langkahmu!"
Akhirnya, ahli ibadah itu berkelahi hebat dengan seorang tua
yang sesungguhnya penyamaran dari syaitan. Si ahli ibadah berhasil mengalahkan
orang tua itu, sehingga dia mengaku kalah.
"Baik.. Baik aku mengaku kalah!" ujar orang tua
itu. "Bagaimana kalau kita berdamai saja?"
"Apa maksudmu?" tanya si ahli ibadah.
"Lepaskan aku dulu, baru aku akan jelaskan
kerjasamanya!" pinta orang tua itu.
"Tahukah kamu siapa aku sesungguhnya?" lanjut orang
tua itu.
"Aku tidak peduli siapa kamu! Apa peduliku
denganmu!" jawab ketus si ahli ibadah.
"Tahukah kamu sesungguhnya aku adalah syaitan yang
menjaga pohon keramat itu!" ujar syaitan mengaku berterus terang.
"Lantas apa urusanmu denganku?!" tanya si ahli
ibadah.
"Begini, aku ingin menawarkan kesepakatan
kerjasama!"
"Apa?" tanya si ahli ibadah.
"Apa untungnya bagimu menebang pohon itu, biarkanlah
orang-orang menyembah pohon itu, kamu tidak akan dirugikan dengan ibadahmu. Toh
kamu bisa tetap tenang beribadah tanpa terusik kan?!," bujuk syaitan.
"Bahkan, jika kamu membatalkan niatmu, aku berjanji akan
memenuhi segala permintaanmu. Aku akan mengirimkan kepingan uang emas di bawah
bantalmu setiap harinya," ujar syaitan menawarkan kerjasama.
Si ahli ibadah menimbang-nimbang hati dan pikirannya,
"Memang ada benarnya juga, apa urusanku dengan kemungkaran yang nun jauh
di sana, sedangkan ibadahku tidak akan terganggu sedikit pun?!"
Apalagi dengan tawaran kepingan emas setiap hari cukup untuk
membuat si ahli ibadah bisa fokus beribadah tanpa harus capek lelah memikirkan
penghasilan dirinya, apalagi pusing memikirkan orang lain.
Akhirnya tawaran kesepakatan dari syaitan itu pun diterima
dan disepakati oleh si ahli ibadah. Dia membatalkan rencananya menebang pohon
itu. Si ahli ibadah melupakan niatnya untuk beramar ma'ruf nahi munkar. Si ahli
ibadah pulang membawa kapaknya. Syaitan telah berhasil memperdayanya.
Keesokan harinya, memang benar setelah dia bangun tidur, si
ahli ibadah mendapati ada sekeping uang emas di bawah bantalnya. Bukan main
girangnya dia, tanpa harus bersusah payah mencari nafkah dia bisa hidup
berkecukupan. Hal itu berlangsung berbulan-bulan.
Sampai pada suatu hari, si ahli ibadah marah, sebab syaitan
sudah tidak lagi menyetorkan kepingan emas lagi. Sudah lama, si ahli ibadah
menunggu-nunggu, namun tak juga kunjung tiba.
Kali keduanya, si ahli ibadah geram dan segera mengambil
kapak untuk menebang kembali pohon yang dilindungi oleh syaitan itu, dia
berharap bisa menjadi ancaman agar syaitan takut dan kembali mengirimkan
kepingan uang emas.
Singkat cerita, si ahli ibadah kembali bertemu dan beradu
otot dengan syaitan yang menyamar sebagai orang tua penjaga pohon. Namun, apa
yang terjadi?
Bukannya syaitan yang terkalahkan, namun sebaliknya, si ahli
ibadah dibuat tak berdaya dengan mudah dikalahkan oleh syaitan. Si ahli ibadah
meronta-ronta minta lepaskan dari belenggu syaitan.
Syaitan melepaskan dan mengusir si ahli ibadah untuk
mendekati pohon yang akan dia ingin tebang. Sebelum pergi si ahli ibadah
bertanya pada syaitan.
"Dulu aku tak terkalahkan, tapi mengapa sekarang aku
dengan mudah kamu kalahkan, wahai syaitan?" tanya si ahli ibadah.
"Dulu kamu berbuat amar ma'ruf atas landasan niat ikhlas
karena Allah sedangkan sekarang kamu melakukannya disebabkan marah aku tidak
lagi mengirimkan kepingan uang emas kepadamu!" ujar syaitan menjawab.
Kisah serupa pernah dikisahkan oleh al-Imam al-Ghazali di
dalam kitab "Ihya Ulumuddin".
Analogi dari kisah ini sangat mendalam sebagai pesan kritik
terhadap orang yang berilmu pengetahuan dan para ulama penguasa yang berfatwa
atas dasar pesanan dan bayaran royalti amplop.
Banyak para ulama dan orang shaleh yang meyakini bahwa hanya
dengan cukup beribadah mereka tidak perlu perduli dengan urusan kepemimpinan
yang zhalim dan urusan politik umat hari ini.
Padahal Islam sesungguhnya tidak hanya sekedar urusan masjid
dan majlis ta'lim saja. Sekiranya Islam hanya cukup ibadah saja, mengapa nabi
Muhammad Saw perlu hijrah?
Bukankah kafir Quraisy sudah menawarkan kesepakatan untuk
membiarkan ibadah nabi dan para sahabat di kota Makkah, selama tidak masuk pada
wilayah hegenomi politik Quraisy ketika itu?
Mengapa perlu ada sejumlah peperangan seperti perang Badr,
Uhud, Khandak dan Fath Makkah. Bukankah semua itu dilandasi semangat penegakkan
amar ma'ruf nahi munkar?
Lebih dari itu, Islam menyangkut semua aspek peri-kehidupan
yang bermasyarakat, berbangsa dan bernegara demi mencapai kemaslahatan umat
bersama mulai dari aspek ubudiyyah, mahdhah dan ghairu mahdhah, politik,
ekonomi, sosial, budaya dan lain sebagainya.
Bukankah Rasulullah shallallahu alaihi wassalam pernah
bersabda:
من لا يهتم بأمور المسلمين فليس منا
"Barangsiapa yang tidak peduli dengan urusan kaum
muslimin, dia bukanlah bagian dari umatku".
Jadi, keliru jika ada ulama atau tokoh agama yang hanya
mementingkan urusan ubudiyyah dengan mengenyampingkan urusan muamalah dan
urusan umat.
Keliru jika ada ulama yang hanya mengurusi urusan fiqih dan
tauhid saja, ulama juga harus berani lantang menyuarakan kebenaran dalam
konstitusi negara. Berani lantang menyatakan penentangan atas kezhaliman dan
kecurangan dalam masyarakat, berbangsa dan bernegara.
Sebagaimana para ulama mengatakan:
الساكت عن الحق فهو شيطان أخرس
"Orang yang diam atas ketidakadilan, maka dialah
syaitan bisu".
Semoga kisah ini menjadi pelajaran sekaligus peringatan bagi
kita bersama agar tak mudah mengikuti ulama yang terjerumus dalam jebakan dunia
yang menggoda dan menggiurkan keimanan.
Wallahu 'alam.
- KH. DR. Miftah el-Banjary, MA Penulis National Bestseller | Dosen | Pakar Linguistik Arab & Sejarah Peradaban Islam | Lulusan Institute of Arab Studies Cairo Mesir.