Kompas |
Penulis:
Sunardian Wirodono
Atorcator.Com
- Karena Islam muncul di Arab, perintah puasa Ramadan menurut Islam
tentu tak lepas dari kebiasaan-kebiasaan di mana agama itu dikembangkan.
Di negeri gurun
pasir, kita tahu perintah puasa dari sejak terbit hingga tenggelam matahari,
bukanlah perintah yang ringan. Sampai sekarang pun, dibandingkan paska jaman
Jahiliyah dahulu kala, hal itu masih terasa.
Di jaman
sekarang, bisa cek hotel-hotel bintang lima di London (Inggris) dan beberapa
negara Eropa. Banyak disinggahi para pangeran dan orang-orang kaya Arab Saudi
pada bulan Ramadhan. Mereka bukan hanya numpang tidur, atau ngadem dari sejak
sahur hingga menjelang buka, tapi juga membawa mobil-mobil mewahnya.
Sementara bagi
orang Jawa, yang secara genetik keturunan dari China, lebih mengenal puasa leluhurnya
yang jauh lebih berat. Apalagi dalam pengaruh Hindu dan Buddha yang lebih kuat.
Banyak varian puasa yang dikenalinya. Puasa sehari semalam tanpa makan dan
minum. Pasa ngedur 7 hari, pasa ngalong, pasa ngrowot, pasa mutih, pasa
ngebleng 40 hari 40 malam tanpa makan dan minum.
Bagi sebagian
orang (yang masih) Jawa dan yang tinggal di Indonesia, puasa seharian itu
bukankah sesuatu yang berat-berat amat. Apalagi puasa Ramadan sekarang, banyak
kemudahan. Sahur ditemani pelawak-pelawak yang nggak lucu. Di sepanjang jalan
banyak orang jualan takjil, atau bagi gratis. Banyak cafe, resto, hotel,
menggoda dengan paket-paket makan enak, berbonus umrah gratis. Nikmat apalagi
yang kau dustakan?
Hanya bedanya,
bagi saya pribadi, sebagai orang Jawa yang berusia bukan bocah lagi, keindahan
Ramadan saya adalah pada masa-masa kanak. Setidaknya sampai SD dan SMP, setiap
bulan puasa, karena sekolah di negeri, selalu liburan sebulan penuh. Dan selama
liburan, selalu saya diungsikan oleh orangtua ke rumah salah satu saudara di
desa.
Hidup di desa,
dari keseharian hidup di kota, adalah sebuah kenikmatan yang membangun karakter
tersendiri. Seolah masuk ke sebuah goa, atau enclave dari kerutinan. Menikmati
waktu senggang (sebagai dasar pembentukan karakter, atau dasar kebudayaan
menurut Rama Dick Hartoko, S.J.).
Pendidikan
sekuler menjadi begitu penting, dibandingkan pendidikan agama yang sekarang
ini, di mana dogma agama dicekokkan bukan untuk membangun religiusitas. Apalagi
cuma sekedar agar anak didik biar pun kecil-kecil sudah bisa teriak; Ganti
Presiden! Atau, Jokowi kafir!
Sayangnya,
waktu kanak itu lewat dengan cepatnya. Sekarang adalah masa tua, di mana
Ramadan lebih sering datang membawa kesedihan.