m.semarangpos.com |
Penulis: Wahyu Eka Setyawan
Atorcator.Com - Bumi semakin panas, di mana beberapa publikasi ilmiah mencatatkan
peningkatan suhu hampir mencapai 1 derajat celcius. Maka tidak heran, jika di
beberapa titik wilayah suhu bisa mencapai 29 hingga 30 derajat celcius. Belum
lagi di kota-kota besar yang selain panas karena cuaca terik, juga diakibatkan
oleh polusi yang semakin meningkat tajam. Hal ini menjadi isu bersama, mengenai
peningkatan suhu di bumi dengan aneka dampaknya bagi kehidupan manusia, salah
satunya ialah persoalan ibadah.
Salah satu ibadah yang terancam
akibat peningkatan suhu ialah puasa. Peningkatan suhu ekstrem memaksa tubuh
untuk menyesuaikan, tak jarang juga yang gagal untuk beradaptasi dengan ekstremnya
suhu. Salah satu dampaknya ialah pusing-pusing, lemas dan kurang fokus. Hal ini
diakibatkan oleh cuaca panas yang menguras habis energi tubuh, salah satu yang
umum ditemui yakni dehidrasi. Tubuh manusia mayoritas adalah cairan,
peningkatan suhu ekstrem memaksa cairan di tubuh keluar dengan cepat, melalui
pori-pori kulit atau saluran pembuangan.
Hal ini menjadi persoalan serius,
yang mana ibadah puasa menuntut kita untuk tidak makan dan minum selama 12 jam
lebih. Dengan situasi dan kondisi inilah mengakibatkan kekhusukan ibadah puasa
terganggu. Bukan hanya itu saja, di tengah bumi yang tidak baik-baik saja, suhu
yang meningkat tajam ternyata bukan satu-satunya ancaman. Masih ada ancaman
kekeringan hingga memburuknya kualitas udara. Tidak hanya ibadah puasa saja
yang terancam, namun ibadah lainnya juga sangat riskan. Seperti ketika kita
sholat butuh air bersih, ketika berdzikir membutuhkan udara yang segar dan
hal-hal lain yang mendekatkan diri dengan sang khalik.
Maka dari itu, esensi seungguhnya ibadah
puasa bukan hanya sekedar menahan haus dan lapar. Meningkatkan jumlah kunjungan
ke masjid untuk berjamaah, hingga buka bersama dan sahur bersama. Bahkan melampaui
tren kekinian yakni sekadar update status di media sosial. Namun, ibadah puasa
Ramadan secara hakikat merupakan ajakan untuk merefleksikan diri terkait apa
yang telah kita perbuat. Mengajak kita untuk berlaku adil serta melawan hawa
nafsu, ini sangat relasional dengan berbagai tindakan-tindakan yang berpotensi
merusak.
Puasa merupakan wujud transendensi,
mencoba berinteraksi dengan sang khalik. Di dalam aspek teologi Islam
mengajak setiap insan untuk kembali rabb. Menunjukkan suatu sisi
hubungan vertikal, antara mahkluk dengan sang khalik. Selain itu, puasa
juga manifestasi dari sisi ekuilibrium. Titik di mana manusia harus egaliter,
duduk setara dengan manusia dan mahkluk lain baik biotik ataupun abiotik.
Secara horizontal hubungan tersebut
terbagi menjadi dua yakni hablum minannas dan hablum minalalam.
Dalam konteks hablum minannas, puasa Ramadhan sejatinya mengajak kita
untuk memperbaiki hubungan sosial, dalam hal ini termanifestasi dalam sholat
tarawih dan aneka kegiatan yang bersifat kolektif. Selain itu, ada hablum
minalalam yang mana mengajak manusia untuk menjaga dan melestarikan alamnya.
Dalam konteks ini puasa ialah menahan hawa nafsu, menjaga diri agar tidak
berbuat kerusakan dan senantiasa menunjukan sisi rehabilitatif sebagai salah
satu manifestasi memperbaiki diri.
Dari konteks ini puasa Ramadan
sejatinya mengajak manusia untuk lebih baik, menahan hawa nafsu agar tidak
merusak, memperbaiki diri agar bisa menjaga dan merawat. Karena puasa sendiri
merupakan ibadah reflektif, baik secara horizontal maupun vertikal. Tentu, hal
ini dapat dimaknai jika salah satu cara untuk menanggulangi bencana alam, ialah
dengan istiqomah berbuat positif untuk bumi. Seperti berupaya untuk
menahan, dan menghentikan peningkatan suhu di bumi yang mengakibatkan perubahan
iklim.
Maka puasa Ramadan adalah cara jitu
untuk merefleksikan diri, hingga masuk ke hakikat dari beribadah dan
menjalankan perintah dari Allah SWT. Salah satunya ialah menjaga lingkungan
hidup, serta serius dalam melawan perubahan iklim.
Perubahan iklim, rusaknya lingkungan
hidup hari ini, merupakan akibat dari rakusnya manusia, perubahan perilaku dari
manfaat ke mudharat, dari yang menggunakan sesuai kebutuhan menjadi
perilaku boros menjurus ke ghuluw. Semua itu merupakan implikasi dari
keserakahan manusia, mereka memakan apapun demi keuntungannya sendiri. Tanpa
peduli orang lain dan kontinuitas peradaban manusia.
Puasa Ramadhan merupakan sebuah cara
progresif, karena memiliki syarat materil untuk menjadi sebuah gerakan etis.
Yang mana etika lingkungan hidup dapat dikonstruksikan melalui puasa Ramadhan,
sebagai satu langkah konkrit dalam menghadapi perubahan iklim.
(Penulis Wahyu Eka Setyawan adalah
Mahasiswa Unair, Walhi Jatim & FNKSDA)