Ilustrasi foto (kerapan sapi dan baju sakera) |
Penulis: A. Dardiri Zubairi
Atorcator.Com - Politik
kurang elok yang memain-mainkan isu agama dan etnis dengan balutan
"posttruth" sedemikian parahnya seingat saya baru terjadi dalam
pemilu kali ini. Ledakannya di ruang publik sungguh luar biasa, baik online
maupun offline. Dahsyat. Banyak orang yang luluh karena pilpres dianggap
sebagai arena perang, dan memenangkan calonnya sebagai jihad fii sabilillah.
Tulisan ini cuma mau mendiskusikan
soal agama dan etnisitas yang dalam pilpres tahun ini by design diorganisir
dengan "baik" dan massif, khususnya di pulau Madura. Kenapa Madura?
Karena bagi orang Madura agama adalah segala-galanya. Tentu saja berikut
simbol-simbolnya. Pilinan agama dan etnis bagi orang Jakarta pasti menggiurkan
tentu saja.
Ingat kasus ninja tahun 1998? Para
kiai dibantai dengan memakai isu santet. Bermula di daerah banyuwangi kemudian
merembet ke daerah tapal kuda, dan isunya kencang menyasar Madura. Orang Madura
tak peduli santri atau blater ramai-ramai menjaga kiai. Kenapa harus dijaga?
Karena kiai simbol agama.
Ingat tahun 2001 ketika gus dur
hendak digulingkan secara inkonstitusional? Orang NU terutama dari Jawa Timur
rame-rame pasang badan. Dan diantara ratusan ribu orang yang rela mati demi gus
dur itu adalah orang Madura. Bagi orang Madura Gus Dur waktu itu bukan sekedar presiden
yang sah, tapi juga seorang kiai, simbol agama.
Dua kasus ini bukan pelintiran
agama dan etnisitas demi politik kekuasaan. Pembelaan orang Madura murni karena
marwah simbol agama diganggu. Dikuya-kuya secara tidak bermartabat. Dalam kasus
penggulingan Gus Dur kebetulan penggeraknya masih hidup dan lagi-lagi jadi
penggerak people power. Siapakah? Mbah Amien Rais.
Nah, sekarang orang Madura jadi
sasaran pelintiran agama dan etnisitas lagi. Tentu beda dengan dua peristiwa
sebelumnya, beda segalanya. Ya beda konten. Beda substansi. Dan beda cerita.
Pilinan dan pelintiran agama dan
etnisitas di Madura dalam kasus plpres tahun ini penuh hoax dan jebakan. Satu
calon dijunjung dengan menggunakan argumen dan idiom agama misalnya hasil
"ijtima' ulama", didukung "para habaib" sementara pada sisi
lain menyorongkan calon lain ke dasar lumpur sebagai calon "antek
pki", mau menghapus "pendidikan agama", menghapus
"pesantren", melakukan "kriminalisasi ulama", "antek
china", "mendukung LGBT", "antek yahudi", dan
idiom-idiom lainnya yang menggambarkan calon lainnya sebagai musuh agama.
Berita hoax ini sampai ke
tokoh-tokoh agama di akar rumput kemudian direproduksi kepada jamaahnya hingga
sampai pada masyarakat paling bawah yang tidak memiliki akses untuk melakukan
tabayyun atau memperoleh informasi pembanding.
Luar biasa hasilnya. Ada seorang
tokoh yang memvideokan fatwanya jelang pencoblosan dengan menyebut orang yang
memilih paslon lain sebagai jahiliyah. Sambil menyebut bahwa calonnya didukung
mayoritas para ulama yang beliau sebut "asswadul a'dham" ( maksudnya
didukung Ijtima' Ulama yang kalau dihitung mungkin lebih banyak politisinya)
Tentu siapapun saja yang mendengar
isu seperti di atas akan luluh karena persoalan pemilu sepenuhnya dikaitkan
dengan soal agama. Apalagi tafsir atas agama didramatisasi dan dimekarkan
maknanya sehingga orang yang mendengar secara psikologis merasa berdosa jika
tidak memilih calon yang disodorkan. Apalagi seperti yang saya singgung di
atas, warga biasa tidak memiliki akses lain untuk sekedar mencari informasi
pembanding.
Persoalan memain-mainkan etnis juga
menjadi masalah tersendiri. Salah satunya melalui pelibatan jagoan dengan
menggunakan simbol pakaian Sakera, baju hitam -celana "komprang",
kaos dalam berwarna merah putih, dan memakai ikat kepala. Sebenarnya pakaian
ini juga banyak dipakai orang Madura yang menjual sate. Tapi konteksnya yang
berbeda. Pada penjual sate pakaian sakera bagian dari brand bisnisnya.
Sementara simbol sakera yang
diambil oleh organisasi tertentu dimaksudkan untuk memain-mainkan imaginasi
orang, para pendekar madura mendukung calon tertentu dan organisasi tertentu.
Simbol sakera ini penting bagi mereka untuk makin mengukuhkan eksistensinya
sebagai organisasi yang "gagah". Coba kita hubungkan pasukan
sakera ini dengan posisi blater di Madura sebagai sosok yang
"ditakuti" dimana secara sosiologis posisinya "terhormat".
Tapi penggunaan simbol sakera bagi
saya kurang tepat. Sosok sakera dalam sejarahnya adalah blater yang menggunakan
kedigdayaannya melawan pihak kolonial. Satu pandangan yang kontras dengan makna
simbol yang dipahami sekarang. Saya merasa prihatin di Madura ada demo di KPU
yang diorganisir kelompok tertentu dengan mengerahkan pasukan sakera ini.
Prihatin saya bukan pada demonya, tapi lebih pada penggunaan simbol Sakeranya.
Jelang 22 Mei ini saya tidak tahu
apakah pelintiran agama dan etnisitas ini akan kembali kencang di Madura? Tapi
sepertinya sudah beredar ajakan para tokoh melalui video yang menyebar di
medsos untuk "berjihad" ke Jakarta. Bahkan sudah beredar list calon
relawan yang mau berangkat ke Jakarta yang terbuka untuk diisi siapapun. Bisa
jadi pasukan sakera juga diberangkatkan sebagai branding bahwa Madura mendukung
people power. Karena meski sedikit misalnya orang yang menggunakan simbol
sakera yang berangkat Jakarta, tapi simbol Sakera sudah cukup memberi pesan
bahwa seolah Madura mendukung people power. Apalagi keberangkatan ke Jakarta
disebut sebagai "jihad", ideom agama yang sayang sekali dipelintir lagi.
Ada lagi seorang tokoh yang
berfatwa bahwa zakat maal boleh diberikan kepada relawan yang mau
"jihad" ke Jakarta, "demi Islam", dan seterusnya, karena
orang desa sekarang sudah cukup (tidak miskin). Hingga di sini, nalar saya
terhenti.
Mari perbanyak berpikir agar kita
tidak terbawa arus. Tahan diri. Sikapi soal pilpres ini dengan kepala dingin.
Yang panas, atau manas-manasi kita hindari saja.
Mari perbanyak berdoa, semoga Allah
tetap menjadikan negeri kita aman. Dan yang paling penting, yang terpilih betul-betul
adil dan berpihak bagi rakyat banyak, terutama kaum terpinggirkan. Yang saya
hawatirkan, justru presiden yang jadi nanti malah lupa sama rakyatnya, sama
orang-orang kecil dan terpinggirkan yang jumlahnya banyak di republik ini.
Semoga tidak.
A Dardiri Zubairi