keterangan photo; Kiai Imam Nakhai dalam sebuah seminar |
Penulis: Ahmad
Husain Fahasbu
Atorcator.Com -
Tadi malam ketika buka facebook saya agak kaget. Sebab guru saya,
Kiai Imam Nakha’i sedang live streaming di akun Facebook pribadinya. Kaget
karena sepengetahuan saya, beliau termasuk orang yang tidak suka memamerkan
aktivitasnya di media sosial, tidak seperti kebanyakan orang yang sudah masuk
ke aliran “narsisme & noraisme”.
Ustaz Nakha’i,
begitu kami memanggilanya, meskipun sering memberi ceramah, pelatihan, dan
diskusi baik pada taraf regional, nasional dan internasional tidak pernah mengunggahnya di laman facebook pribadinya.
Suatu
kesempatan saya pernah bertanya kepada beliau; “ustaz, kenapa panjenengan tidak
pernah mengunggah aktivitas jenengan di facebook? Bukankah sampean sering
mengisi kajian bersama tokoh, artis dan kelas sosialita di Jakarta?”, beliau
tersenyum seraya berkata, “Saya haram hukumnya minta foto bareng sama artis!,
saya mau foto sama artis kalau dia minta duluan”, saya dan teman-teman yang
mendengarnya tertawa lepas.
Ustaz Nakhai
bagi para santri adalah ustaz idola. Ide-idenya selalu segar, nyentrik,
provokatif dan konfrontatif. Pandangan-pandangan keagamaan yang beliau
lontarkan kerap membuat “kaget” siapapun yang menjadikan kemapanan sebagai
mazhab. Namun demikian, seluruh pandangan keagamaannya sangat kukuh, logis dan
sulit dicari celah untuk dibantah.
Ini maklum,
karena beliau bukan hasil karbitan. Bertahun-tahun belajar ilmu agama ke
pusatnya, pesantren. Selepas belajar, beliau tidak langsung menjadi terkenal,
tetapi ia terus memperdalam pengetahuannya dengan menjadi ustaz atau pengajar
di Ma’had Aly Situbondo. Mungkin inilah yang membuat argumen keagamaan beliau
sangat kukuh. Ditambah, penguasaanya terhadap ilmu usul fikih, sebagai ilmu
untuk memproduksi hukum islam begitu mendalam.
Daya tarik
ustaz kondang ini juga karena sikapnya yang terbuka, egaliter, pendengar yang
baik dan jauh dari kesan elit di kalangan para santri. Karir ilmiahnya yang
cemerlang tidak membuatnya lupa daratan. Ia terbang tinggi namun tetap membumi.
Dan penting juga disampaikan; beliau dermawan dan suka memberi.
Kembali ke
pembahasan utama. Dalam video itu tampak ustaz Nakhai sedang menjelaskan
tentang pernikahan dan tujuan pernikahan dalam islam. Menurut beliau,
pernikahan dalam islam hadir sebenarnya sebagai kritik terhadap perkawinan
dalam tradisi jahiliyah yang cenderung manipulatif dan eksploitatif.
Sebagaimana ditulis Wahbah al-Zuhaili, dulu di masa jahiliyah dikenal tiga
model pernikahan yang cenderung merugikan kaum perempuan.
Pertama, nikah
al-Rahti, yaitu seorang perempuan digauli oleh beberapa orang laki-laki,
setelah hamil dan melahirkan, perempuan tersebut bebas memilih yang mana saja
sebagai ayah dari anak itu. kedua nikah al-Istibdha’, yaitu pernikahan untuk
memperbaiki keturunan, misalnya seorang suami menyuruh istrinya berhubungan
badan dengan orang lain yang memiliki kelas sosial yang tinggi dan suami tersebut
tidak menggauli istrinya sampai ia melahirkan.
Ketiga, nikah
al-Syighar, yaitu pernikahan yang diawali kesepakatan antara dua orang ayah
atau bapak yang sama-sama memiliki anak perempuan agar anaknya dibarter untuk
dijadikan istri masing-masing mereka. Maharnya adalah kemaluan dari anak
masing-masing.
Model-model
perkawinan di atas adalah model perkawinan yang coba dihancurkan oleh islam.
Pertama kali yang dibongkar oleh islam adalah tujuan dari perkawinan itu
sendiri. Bahwa tujuan perkawinan dalam islam adalah satu, yaitu sakinah. Ini
dipahami dari ayat dalam Alquran, yaitu surat al-Rum ayat 21
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا
لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي
ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan di antara
tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari
jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya dan
dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesunguhnya pada yang demikian
itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”
Dari ayat di
atas dipahami bahwa tujuan pernikahan adalah sakinah. Jadi tidak benar adagium
dan doa yang selama ini yang sering muncul di area pernikahan, “Semoga menjadi
keluarga sakinah, mawaddah dan rahmah”, atau dalam bahasa lain semoga “samawa”.
Itu semua tidak benar. Sebab Alquran menegaskan bahwa tujuan dari pernikahan
adalah “litaskunu”, agar supaya kamu merasakan ketenangan. Penting dicatat
huruf jar yang digunakan pada lafadz litaskunu menggunakan huruf jar lam
bermakna bahwa yang dimaksud di sini adalah ketenangan ruhaniyah, non-materi.
Yang benar
adalah dengan berbekal rahmah dan mawaddah semoga menjadi keluarga sakinah.
Jadi rahmah dan mawaddah adalah perangkat yang diciptakan oleh tuhan dan ada
pada setiap manusia yang tujuannya adalah lahirnya sakinah (ketenangan). Nah apa
yang dimaksud “mawaddah” dan “rahmah”? ini yang membuat para ahli bahasa dan
tafsir kerepotan. Tetapi, singkatnya, “rahmah” adalah mencintai seseorang
karena kebutuhan seseorang tersebut. Sementara “Mawaddah” adalah mencintainya
seseorang kepada orang lain karena dia secara pribadi butuh. Dalam bahasa yang
lebih mudah, “rahmah” adalah aku mencintaimu agar kamu bahagia sementara
“mawaddah” adalah aku mencintaimu agar aku bahagia.
Sakinah baru
bisa terwujud jika mawaddah dan rahmah itu sama-sama ada dalam hati suami
istri. Karena mawaddah tanpa rahmah adalah keegoisan dan rahmah tanpa mawaddah
adalah bentuk kasihan. Dan ini tidak mungkin melahirkan ketenangan (sakinah)
antara suami-istri. Misalnya ketika melakukan hubungan badan tidak boleh hanya
berdasarkan “rahmah” saja atau “mawaddah” saja. Keduanya harus berpadu agar
melahirkan sakinah.
Dalam
kesempatan ini, saya penting menyampaikan dawuh guru saya Kiai Afifuddin
Muhajir bahwa resep keluarga sakinah adalah. Pertama, membangun kesepahaman
yang baik (husnu al-Tafahum), suami istri harus memiliki satu visi dan misi
dalam menjalani kehidupan. Kemana hidup mau dibawa? Diantara yang bisa
membangun kesepahaman ini adalah banyaknya kesamaan antara suami istri atau
adanya chemistry antara keduanya. Semakin banyak persamaan maka semakin besar
kesepahaman.
Kedua, bersikap
toleran dan murah hati (al-Tasamuh). Ini sebagai antisipasi bahwa manusia tidak
ada yang sempurna, dalam pepatah “tidak ada gading yang tak retak”. Jadi
misalnya, ketika salah seorang suami-istri melakukan sebuah kesalahan maka
pasangannya bisa menoleransi dan bermurah hati. Nilai toleransi ini kemudian
menjadi pengingat ketika pasangan memiliki kekurangan agar pasangannya mencari
sebuah kelebihan yang bisa menembel kekurangan itu.
Langkah ketiga
adalah sikap moderat. Maksudnya bersikap tengah-tengah; tidak berlebihan dan
berlaku wajar. Sikap moderat ini meliputi, tengah-tengah dalam nafkah,
tengah-tengah dalam memuji, tengah-tengah dalam cemburu. maksudnya ketika
berbelanja tidak terlalu boros dan tidak terlalu kikir, ketiga memuji
pasangannya tidak berlebihan dan tidak perlu berlebihan ketika cemburu
sekaligus tidak hilang rasa cemburunya.
Ini semua
adalah hasil panfasiran dan elaborasi dari ayat Alquran:
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوف
“Dan bergaullah
dengan mereka (para istri) secara patut”
Namun yang
paling penting dari itu semua adalah kamu harus punya pasangan dulu. Kalau
jomblo, mau sakinah sama siapa? Sama tembok? Hahahahaha
Mari luangkan
waktu sejenak untuk mengirim fatihah kepada Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari,
dimana pada tanggal tujuh Ramadan beliau dipanggil oleh Allah Swt. Al-Fatihah!
Ahmad Husain
Fahasbu, santri yang sedang merindukan azan
maghrib.