Untuk Gagasan "Forum Santri Buruh" - Atorcator
Latest Update
Fetching data...

Rabu, Mei 01, 2019

Untuk Gagasan "Forum Santri Buruh"

indoPROGRES

Penulis: Muhammad Al-Fayyadl

Atorcator.Com - Banyak kaum santri, termasuk dulunya penulis, menyimpan ilusi bahwa apapun persoalan kaum Mustadl'afin akan beres dan cespleng kalau negara ini dipimpin perwakilan kaum santri, kalau birokrasi diduduki kaum santri. Bahwa keadilan otomatis diperoleh.

Ternyata persoalannya tidak sesederhana waham yang lebih tepat disebut harapan plus angan-angan itu. Karena setiap agensi subjek tidak lepas dari struktur. Selama strukturnya korup dan timpang, agensinya akan terkondisikan oleh struktur itu.

Ketika menteri ketenagakerjaan dipegang Hanif Dhakiri sebagai representasi kaum santri, ada secuil harapan perbaikan kondisi buruh dan perburuhan di tanah air, mengingat dulu Gus Dur cukup menunjukkan sikap dan gestur berpihak kepada kaum buruh. Tapi ternyata harapan itu tidak terjawab. Kondisi ketenagakerjaan makin memburuk, PHK di mana-mana, upah murah diterapkan, kriminalisasi aktivis serikat buruh meningkat, buruh informal tidak terlindungi dan eksploitasi menjadi-jadi. Kawan saya, Nashirulhaq, pernah meneliti kehidupan buruh pekerja baju di Tangerang yang dieksploitasi habis-habisan untuk memenuhi seragam SEA GAMES terakhir. Di sebuah kota, pabrik rokok milik seorang politisi berlatar belakang santri mempekerjakan buruh kontrakan dan harian dengan jam kerja di luar batas. Di tempat lain banyak cerita serupa.

Artinya, tidak ada korelasi niscaya antara latar belakang identitas (Islam, santri) dengan keberpihakan terhadap buruh.

Ada beberapa faktor.

Pertama, kaum santri tidak terlatih mengenal seluk-beluk dunia kerja, apalagi terlatih mengenal makhluk bernama "kapitalisme" sebagai suatu keutuhan. Mata pelajaran dan edukasi tentang Kapital nyaris tak ada di pesantren. Hanya santri-santri yang "rodo mbeling" yang sempat ngaji "Das Kapital"-nya K.H. (Karl Heinrich) Marx. Demikian juga santri belum terbiasa mengenal ekonomi moneter, finansial, dan ekonomi kapitalis dunia. Begitu mengenal melalui ilmu Ekonomi Syariah, yang diperkenalkan lebih berupa kebaikan-kebaikan lembaga keuangan, bukan Fiqh Perburuhan atau Ketenagakerjaan. Jadi, tak berlebihan mengatakan, santri itu walaupun alim kitab, sebenarnya awam soal kapitalisme.

Kedua, karena Fiqh Politik kaum santri memang baru sampai pada fiqh kekuasaan. Jadi wajar, kalau diskursus kaum santri baru soal perebuatan kekuasaan, belum soal ekonomi di balik kekuasaan. Santri akan lebih tertarik untuk 1000x membicarakan soal Gus Dur sebagai presiden atau Kiai Ma'ruf sebagai wapres daripada soal oligarki di baliknya. Cek saja kurikulum Fiqh Siyasah kita, kaum santri. Belum beranjak dari soal hubungan "Sulthoh" dan Agama. Belum bicara kelas-kelas, apalagi kelas kapitalis. Dengan kata lain, kesadaran kelas belum sepenuhnya terinternalisir.

Sementara itu, ada kondisi-kondisi objektif yang mendorong kaum santri semakin masuk dalam pusaran kapitalisme.

Pertama, keluaran pesantren terpapar ke setidaknya lima sektor: 1) buruh formal (kerja pabrikan atau profesional), 2) buruh informal (kerja rumahan atau kontrak), 3) pengangguran (cadangan tenaga kerja formal & informal), 4) petani atau buruh tani, 5) wiraswasta (pemodal kecil atau menengah, yang juga akan mempekerjakan buruh).

Dari kelimanya, tidak ada satu pun yang lepas dari cengkeraman kapitalisme. Seandainya kaum santri menjadi pengusaha pun, atau mandiri menjadi wirausahawan, mereka juga bagian dari kelas-kelas dalam rezim kapitalisme. Kalau bukan sebagai produsen barang, minimal distributor atau retail. Pengetahuan mengenai cara kerja kapital dan kapitalisme menjadi penting dan "dlaruri".

Kedua, karena iming-iming Revolusi Industri 4.0 tetap akan memasukkan kaum santri ke pusaran ketenagakerjaan dan dinamika perburuhan. Santri akan tetap, seberapapun kreatifnya, dipaksa bekerja bagi skema industri global.

Kedua faktor ini mendorong perlunya menggagas suatu wadah bagi santri yang kelak atau sedang menjadi buruh untuk bersama-sama belajar mengenai perburuhan, memperkuat kesadaran kelas, merajut solidaritas dengan elemen buruh yang lain yang masih segar dan tidak terkooptasi. Apapun wadah itu namanya. Penulis siap memimpin wadah itu jika ada yang tertarik ikut bersama-sama memulainya.

Bagaimana dengan Sarbumusi, serikat buruh milik NU? Di beberapa titik, Sarbumusi punya elan perlawanan untuk mendorong beberapa aspirasi buruh, tapi secara nasional, terus-terang, kondisinya belum menggembirakan. Terakhir Sarbumusi ikut elite-elite serikat seperti Said Iqbal ke Istana, dijamu Jokowi. Belum tampak suatu agenda yang progresif dan anti-kapitalistik, justru masih terkesan bermain di lingkaran elite untuk meredam gejolak perlawanan buruh.

Anggap wadah itu, jika nanti terbentuk atas seizin Allah, sebagai pelengkap Sarbumusi dari perwakilan kaum santri. Atau saudara seperjuangan untuk saling mengingatkan: perjuangan kita belum selesai karena Setan kapitalisme-nya masih ngendon di aliran darah kita, masih membuat kaum Mustadl'afin negeri ini meringis menahan beban. Masa tega kalian, kita, kaum santri tinggal diam?

Dukung saya mewujudkan ini.


Selamat MayDay 2019!