indoPROGRES |
Penulis:
Muhammad Al-Fayyadl
Atorcator.Com -
Banyak kaum santri, termasuk dulunya penulis, menyimpan ilusi bahwa
apapun persoalan kaum Mustadl'afin akan beres dan cespleng kalau negara ini
dipimpin perwakilan kaum santri, kalau birokrasi diduduki kaum santri. Bahwa
keadilan otomatis diperoleh.
Ternyata
persoalannya tidak sesederhana waham yang lebih tepat disebut harapan plus
angan-angan itu. Karena setiap agensi subjek tidak lepas dari struktur. Selama
strukturnya korup dan timpang, agensinya akan terkondisikan oleh struktur itu.
Ketika menteri
ketenagakerjaan dipegang Hanif Dhakiri sebagai representasi kaum santri, ada
secuil harapan perbaikan kondisi buruh dan perburuhan di tanah air, mengingat
dulu Gus Dur cukup menunjukkan sikap dan gestur berpihak kepada kaum buruh.
Tapi ternyata harapan itu tidak terjawab. Kondisi ketenagakerjaan makin
memburuk, PHK di mana-mana, upah murah diterapkan, kriminalisasi aktivis
serikat buruh meningkat, buruh informal tidak terlindungi dan eksploitasi
menjadi-jadi. Kawan saya, Nashirulhaq, pernah meneliti kehidupan buruh pekerja
baju di Tangerang yang dieksploitasi habis-habisan untuk memenuhi seragam SEA
GAMES terakhir. Di sebuah kota, pabrik rokok milik seorang politisi berlatar
belakang santri mempekerjakan buruh kontrakan dan harian dengan jam kerja di
luar batas. Di tempat lain banyak cerita serupa.
Artinya, tidak
ada korelasi niscaya antara latar belakang identitas (Islam, santri) dengan
keberpihakan terhadap buruh.
Ada beberapa
faktor.
Pertama, kaum
santri tidak terlatih mengenal seluk-beluk dunia kerja, apalagi terlatih
mengenal makhluk bernama "kapitalisme" sebagai suatu keutuhan. Mata
pelajaran dan edukasi tentang Kapital nyaris tak ada di pesantren. Hanya
santri-santri yang "rodo mbeling" yang sempat ngaji "Das Kapital"-nya
K.H. (Karl Heinrich) Marx. Demikian juga santri belum terbiasa mengenal ekonomi
moneter, finansial, dan ekonomi kapitalis dunia. Begitu mengenal melalui ilmu
Ekonomi Syariah, yang diperkenalkan lebih berupa kebaikan-kebaikan lembaga
keuangan, bukan Fiqh Perburuhan atau Ketenagakerjaan. Jadi, tak berlebihan
mengatakan, santri itu walaupun alim kitab, sebenarnya awam soal kapitalisme.
Kedua, karena
Fiqh Politik kaum santri memang baru sampai pada fiqh kekuasaan. Jadi wajar,
kalau diskursus kaum santri baru soal perebuatan kekuasaan, belum soal ekonomi
di balik kekuasaan. Santri akan lebih tertarik untuk 1000x membicarakan soal
Gus Dur sebagai presiden atau Kiai Ma'ruf sebagai wapres daripada soal oligarki
di baliknya. Cek saja kurikulum Fiqh Siyasah kita, kaum santri. Belum beranjak dari
soal hubungan "Sulthoh" dan Agama. Belum bicara kelas-kelas, apalagi
kelas kapitalis. Dengan kata lain, kesadaran kelas belum sepenuhnya
terinternalisir.
Sementara itu,
ada kondisi-kondisi objektif yang mendorong kaum santri semakin masuk dalam
pusaran kapitalisme.
Pertama,
keluaran pesantren terpapar ke setidaknya lima sektor: 1) buruh formal (kerja
pabrikan atau profesional), 2) buruh informal (kerja rumahan atau kontrak), 3)
pengangguran (cadangan tenaga kerja formal & informal), 4) petani atau buruh
tani, 5) wiraswasta (pemodal kecil atau menengah, yang juga akan mempekerjakan
buruh).
Dari kelimanya,
tidak ada satu pun yang lepas dari cengkeraman kapitalisme. Seandainya kaum
santri menjadi pengusaha pun, atau mandiri menjadi wirausahawan, mereka juga
bagian dari kelas-kelas dalam rezim kapitalisme. Kalau bukan sebagai produsen
barang, minimal distributor atau retail. Pengetahuan mengenai cara kerja
kapital dan kapitalisme menjadi penting dan "dlaruri".
Kedua, karena
iming-iming Revolusi Industri 4.0 tetap akan memasukkan kaum santri ke pusaran
ketenagakerjaan dan dinamika perburuhan. Santri akan tetap, seberapapun
kreatifnya, dipaksa bekerja bagi skema industri global.
Kedua faktor
ini mendorong perlunya menggagas suatu wadah bagi santri yang kelak atau sedang
menjadi buruh untuk bersama-sama belajar mengenai perburuhan, memperkuat
kesadaran kelas, merajut solidaritas dengan elemen buruh yang lain yang masih
segar dan tidak terkooptasi. Apapun wadah itu namanya. Penulis siap memimpin
wadah itu jika ada yang tertarik ikut bersama-sama memulainya.
Bagaimana
dengan Sarbumusi, serikat buruh milik NU? Di beberapa titik, Sarbumusi punya
elan perlawanan untuk mendorong beberapa aspirasi buruh, tapi secara nasional,
terus-terang, kondisinya belum menggembirakan. Terakhir Sarbumusi ikut
elite-elite serikat seperti Said Iqbal ke Istana, dijamu Jokowi. Belum tampak
suatu agenda yang progresif dan anti-kapitalistik, justru masih terkesan
bermain di lingkaran elite untuk meredam gejolak perlawanan buruh.
Anggap wadah
itu, jika nanti terbentuk atas seizin Allah, sebagai pelengkap Sarbumusi dari
perwakilan kaum santri. Atau saudara seperjuangan untuk saling mengingatkan:
perjuangan kita belum selesai karena Setan kapitalisme-nya masih ngendon di
aliran darah kita, masih membuat kaum Mustadl'afin negeri ini meringis menahan
beban. Masa tega kalian, kita, kaum santri tinggal diam?
Dukung saya
mewujudkan ini.
Selamat MayDay
2019!