Penulis: KH. DR. Miftah el-Banjary, MA
Selasa 18 Juli 2019 10:25
Atorcator.Com - Konon, sebelum munculnya budaya suap, hiduplah tiga orang hakim yang diangkat oleh masyarakat untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang muncul di tengah mereka. Ketiganya adalah hakim-hakim yang pandai dan tegas.
Ketika mereka menghadapi perselisihan, mereka mengajukan perkara itu ke hakim pertama. Jika mereka tidak puas dengan putusan hakim pertama, maka mereka akan mengajukannya ke hakim kedua.
Dan ketika mereka tidak puas juga dengan putusan hakim kedua, mereka pun bisa mengajukannya ke hakim ketiga. Begitulah prosedur yang mereka sepakati bersama dalam menyelesaikan kasus.
Suatu kali, Sultan Ghazi ingin menguji ketangguhan para Hakim dalam memberikan keadilan di kalangan mereka. Sang Sultan pun menyamar sebagai seorang saudagar kaya raya dengan membawa para pengawal.
Saudagar itu memerintahkan pada pengawalnya untuk menambatkan seekor sapi di tepi sumur untuk minum.
Tak berapa lama, datanglah seorang penggembala dengan membawa seekor induk kuda dan anaknya untuk minum.
Seketika itu juga, sang Sultan yang menyamar tadi menghipnotis anak kuda itu agar tunduk dan ikut dengan sapi yang dibawanya. Tiba-tiba anak kuda itu meninggalkan induknya dan mengekor pada sapi itu, layaknya seekor anak sapi.
Sang penggembala pun tak tinggal diam melihat anak kuda yang dibawanya itu tiba-tiba menginduk ke sapi milik sang Sultan yang menyamar tadi. Ia langsung memaksa anak kuda itu agar kembali ke induknya (kuda).
Namun, anak kuda itu tetap diam dan tak mau pergi dari sisi sapi. Karena kesal, si penggembala pun menyeret dan memukul anak kuda agar mau ikut dengannya.
“Hai penggembala, biarkan anak kuda itu ikut dengan sapiku, karena kuda kecil itu adalah anak sapiku. Kau tidak berhak memaksanya. Ia adalah milikku,” kata Saudagar itu tiba-tiba.
“Bagaimana mungkin ? Anak kuda ini jelas-jelas anak kuda milikku,” jawab sang penggembala seolah tak percaya dengan tuduhan itu.
“Lihat saja! Anak kuda itu selalu dekat dan tidak mau dipisahkan dari milikku,” jawab Saudagar itu.
Tanpa banyak komentar, Saudagar beserta pengawalnya kemudian pergi dengan membawa sapi dan seekor anak kuda yang mengikuti di belakangnya.
Tidak terima dengan kejadian tersebut, si penggembala itu kemudian menghadap ke Hakim pertama untuk meminta keadilan.
Setelah melakukan pemeriksaan, sang Hakim berkesimpulan bahwa anak kuda itu adalah jelas anak dari kuda milik si penggembala tadi. Sang Hakim pun berencana akan memberikan keputusan esok hari.
Sehari sebelum memberikan keputusan, Saudagar itu menemui Hakim pertama dan berkata, “Hai Hakim, jika Engkau berani memberikan putusan yang memenangkan aku, maka aku akan memberimu harta yang banyak,”
Sang Hakim pun tergoda dan menuruti bujuk rayu Saudagar itu. Esoknya, Hakim itu akhirnya memutuskan bahwa anak kuda itu adalah anak sapi yang dibawa oleh laki-laki itu (Saudagar kaya raya).
Si penggembala itu merasa tidak puas mendengar putusan Hakim yang memenangkan sang saudagar. Ia mengajukan kasus itu ke Hakim kedua.
Hakim kedua pun berkesimpulan sama seperti Hakim pertama dan anak memutuskannya esok hari.
Demi memenangkan kasusnya, sang Saudagar mendatangi Hakim kedua dan mengiming-imingi harta bila memenangkan perkaranya. Akhirnya Hakim kedua pun tergoda dan memenangkan saudagar itu.
Tanpa putus asa, si penggembala kembali menghadap Hakim ketiga untuk meminta keadilan.
Malamnya, Saudagar itu kembali menemui Hakim ketiga dan berkata, “Hai Hakim ketiga, jika Engkau berani memenangkan perkara untukku dengan memutuskan bahwa sapiku ini adalah induk dari anak kuda itu, maka Engkau akan kuberi harta yang banyak,”
“Apa yang Kau inginkan dari perkara itu?” Tanya sang Hakim.
“Aku ingin esok hari Engkau memutuskan bahwa anak kuda itu adalah anak dari sapi milikku,” jawab sang Sultan.
Sang Hakim pun berkata, “Maaf, besok saya tidak bisa memutuskan perkara karena malam ini saya sedang haid!”
Sang Sultan pun berkata, “Saya heran bagaimana mungkin Anda bisa haid, padahal Anda seorang laki-laki. Bukankah hanya wanita yang mengalami haid?”
Hakim ketiga pun menjawab,” Saya juga heran bagaimana mungkin seekor sapi bisa melahirkan anak kuda??”
Maka pesan moril dari kisah ini bahwa kebenaran dan keadilan itu seterang benderang terik matahari di siang hari.
Namun, lantaran tertutup oleh butanya mata orang yang memiliki kepentingan kekuasaan, kekayaan, jabatan, dan keduniawian lainnya, maka semua bisa berubah buram.
Seorang Hakim menempati posisi Tuhan di muka bumi sebagai penegak pilar-pilar keadilan dan peletak nilai-nilai kebenaran.
Maka penentu akhirnya, seorang Hakim terletak pada palu yang ada di tangannya. Apakah palu itu dijatuhkan demi pertimbangan rasa keadilan atau kah demi kepentingan orang yang membayarnya?!
Oleh karena itulah, kedua kaki para Hakim berada diantara dua tepi, surga dan neraka. Surga bila ia memutus dengan haq dan benar, sebaliknya neraka bila ia memutuskan berdasarkan hawa nafsu dan memenangkan kebathilan.
Jika putusan Hakim sudah tidak bisa kita harapkan keadilannya, lantas keadilan mana lagi yang bisa kita harapkan, kecuali hanya pengadilan rakyat yang akan menegakkannya.
Di sanalah adanya campur tangan Tuhan untuk mewujudkannya. Yakinlah bahwa keadilan dan kebenaran akan menemukan jalan kebenarannya sendiri.
Selasa 18 Juli 2019 10:25
Ilustrasi foto/islampos |
Atorcator.Com - Konon, sebelum munculnya budaya suap, hiduplah tiga orang hakim yang diangkat oleh masyarakat untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang muncul di tengah mereka. Ketiganya adalah hakim-hakim yang pandai dan tegas.
Ketika mereka menghadapi perselisihan, mereka mengajukan perkara itu ke hakim pertama. Jika mereka tidak puas dengan putusan hakim pertama, maka mereka akan mengajukannya ke hakim kedua.
Dan ketika mereka tidak puas juga dengan putusan hakim kedua, mereka pun bisa mengajukannya ke hakim ketiga. Begitulah prosedur yang mereka sepakati bersama dalam menyelesaikan kasus.
Suatu kali, Sultan Ghazi ingin menguji ketangguhan para Hakim dalam memberikan keadilan di kalangan mereka. Sang Sultan pun menyamar sebagai seorang saudagar kaya raya dengan membawa para pengawal.
Saudagar itu memerintahkan pada pengawalnya untuk menambatkan seekor sapi di tepi sumur untuk minum.
Tak berapa lama, datanglah seorang penggembala dengan membawa seekor induk kuda dan anaknya untuk minum.
Seketika itu juga, sang Sultan yang menyamar tadi menghipnotis anak kuda itu agar tunduk dan ikut dengan sapi yang dibawanya. Tiba-tiba anak kuda itu meninggalkan induknya dan mengekor pada sapi itu, layaknya seekor anak sapi.
Sang penggembala pun tak tinggal diam melihat anak kuda yang dibawanya itu tiba-tiba menginduk ke sapi milik sang Sultan yang menyamar tadi. Ia langsung memaksa anak kuda itu agar kembali ke induknya (kuda).
Namun, anak kuda itu tetap diam dan tak mau pergi dari sisi sapi. Karena kesal, si penggembala pun menyeret dan memukul anak kuda agar mau ikut dengannya.
“Hai penggembala, biarkan anak kuda itu ikut dengan sapiku, karena kuda kecil itu adalah anak sapiku. Kau tidak berhak memaksanya. Ia adalah milikku,” kata Saudagar itu tiba-tiba.
“Bagaimana mungkin ? Anak kuda ini jelas-jelas anak kuda milikku,” jawab sang penggembala seolah tak percaya dengan tuduhan itu.
“Lihat saja! Anak kuda itu selalu dekat dan tidak mau dipisahkan dari milikku,” jawab Saudagar itu.
Tanpa banyak komentar, Saudagar beserta pengawalnya kemudian pergi dengan membawa sapi dan seekor anak kuda yang mengikuti di belakangnya.
Tidak terima dengan kejadian tersebut, si penggembala itu kemudian menghadap ke Hakim pertama untuk meminta keadilan.
Setelah melakukan pemeriksaan, sang Hakim berkesimpulan bahwa anak kuda itu adalah jelas anak dari kuda milik si penggembala tadi. Sang Hakim pun berencana akan memberikan keputusan esok hari.
Sehari sebelum memberikan keputusan, Saudagar itu menemui Hakim pertama dan berkata, “Hai Hakim, jika Engkau berani memberikan putusan yang memenangkan aku, maka aku akan memberimu harta yang banyak,”
Sang Hakim pun tergoda dan menuruti bujuk rayu Saudagar itu. Esoknya, Hakim itu akhirnya memutuskan bahwa anak kuda itu adalah anak sapi yang dibawa oleh laki-laki itu (Saudagar kaya raya).
Si penggembala itu merasa tidak puas mendengar putusan Hakim yang memenangkan sang saudagar. Ia mengajukan kasus itu ke Hakim kedua.
Hakim kedua pun berkesimpulan sama seperti Hakim pertama dan anak memutuskannya esok hari.
Demi memenangkan kasusnya, sang Saudagar mendatangi Hakim kedua dan mengiming-imingi harta bila memenangkan perkaranya. Akhirnya Hakim kedua pun tergoda dan memenangkan saudagar itu.
Tanpa putus asa, si penggembala kembali menghadap Hakim ketiga untuk meminta keadilan.
Malamnya, Saudagar itu kembali menemui Hakim ketiga dan berkata, “Hai Hakim ketiga, jika Engkau berani memenangkan perkara untukku dengan memutuskan bahwa sapiku ini adalah induk dari anak kuda itu, maka Engkau akan kuberi harta yang banyak,”
“Apa yang Kau inginkan dari perkara itu?” Tanya sang Hakim.
“Aku ingin esok hari Engkau memutuskan bahwa anak kuda itu adalah anak dari sapi milikku,” jawab sang Sultan.
Sang Hakim pun berkata, “Maaf, besok saya tidak bisa memutuskan perkara karena malam ini saya sedang haid!”
Sang Sultan pun berkata, “Saya heran bagaimana mungkin Anda bisa haid, padahal Anda seorang laki-laki. Bukankah hanya wanita yang mengalami haid?”
Hakim ketiga pun menjawab,” Saya juga heran bagaimana mungkin seekor sapi bisa melahirkan anak kuda??”
Maka pesan moril dari kisah ini bahwa kebenaran dan keadilan itu seterang benderang terik matahari di siang hari.
Namun, lantaran tertutup oleh butanya mata orang yang memiliki kepentingan kekuasaan, kekayaan, jabatan, dan keduniawian lainnya, maka semua bisa berubah buram.
Seorang Hakim menempati posisi Tuhan di muka bumi sebagai penegak pilar-pilar keadilan dan peletak nilai-nilai kebenaran.
Maka penentu akhirnya, seorang Hakim terletak pada palu yang ada di tangannya. Apakah palu itu dijatuhkan demi pertimbangan rasa keadilan atau kah demi kepentingan orang yang membayarnya?!
Oleh karena itulah, kedua kaki para Hakim berada diantara dua tepi, surga dan neraka. Surga bila ia memutus dengan haq dan benar, sebaliknya neraka bila ia memutuskan berdasarkan hawa nafsu dan memenangkan kebathilan.
Jika putusan Hakim sudah tidak bisa kita harapkan keadilannya, lantas keadilan mana lagi yang bisa kita harapkan, kecuali hanya pengadilan rakyat yang akan menegakkannya.
Di sanalah adanya campur tangan Tuhan untuk mewujudkannya. Yakinlah bahwa keadilan dan kebenaran akan menemukan jalan kebenarannya sendiri.
- KH. DR. Miftah el-Banjary, MA Penulis National Bestseller | Dosen | Pakar Linguistik Arab & Sejarah Peradaban Islam | Lulusan Institute of Arab Studies Cairo Mesir.