Ilustrasi foto (KH Afifuddin Muhajir) |
Penulis: KH. Afifuddin Muhajir
Atorcator.Com - Dalam menentukan awal bulan Ramadan dan bulan Syawal untuk memulai dan mengakhiri puasa, sampai saat ini jumhur (mayoritas ulama) berpedoman pada rukyat. Yang dimaksud adalah melihat bulan baru (هلال) dengan mata kepala (رؤية بصرية), bukan penglihatan ilmiah (رؤية علمية) dengan menggunakan perhitungan (حساب).
Bila penglihatan riil dengan mata kepala tidak terjadi meski karena terhalang awan, mereka menggenapkan bulan Syakban/Ramadhan menjadi 30 hari.
Dasar mereka adalah hadis riwayat Abu Hurairah bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته، فإن غبي عليكم فأكملوا عدة شعبان ثلاثين يوما
“Berpuasalah kamu ketika telah melihat hilal Ramadan dan berhentilah kamu berpuasa ketika telah melihat hilal bulan Syawal, jika hilal tertutup bagimu maka genapkanlah bulan syakban menjadi 30 hari”. (HR. al-Bukhari dan Muslim.
Dalam hadis riwayat Ibnu Umar Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
لا تصوموا حتى تروا الهلال ولا تفطروا حتى تروه، فإن غم عليكم فاقدروا له
“Janganlah kamu berpuasa sehingga kamu melihat hilal (ramadan) dan janganlah kamu berhenti berpuasa sehingga kamu melihat hilal syawal, jika jika hilal tertutup bagimu maka…”
Bagi jumhur, sabda Nabi (فاقدروا له) merupakan tafsir/penjelasan terhadap sabda Nabi pada hadits yang pertama, (فأكملواعدة) yang bermakna: sempurnakanlah bilangan menjadi 30 hari.
salah Seorang imam besar dari kalangan ulama Syafi’iyah, Abu al-Abbas Ahmad bin Umar bin Suraij mengkompromikan dua riwayat hadis di atas dengan menggunakan pendekatan yang dalam istilah sekarang disebut dengan teori multi-dimensi (نظرية تعدد الأبعاد), yaitu bahwa sabda Nabi (فاقدرواله) bermakna: “perkirakanlah hilal itu dengan menghitung posisi-posisi-nya”.
Ini ditujukan kepada mereka yang oleh Allah Swt dianugerahi pengetahuan tentang hisab, sedang sabda Nabi (فاكملوا عدة) ditujukan kepada mereka yang awam di bidang ilmu itu. (Fatawa al-Qardhawi)
Yang menarik adalah pendapat Imam Taqyuddin al-Subki, yang diakui memiliki kapasitas sebagai mujtahid. Pendapat beliau dalam masalah ini antara lain dikemukakan oleh Sayyid Abu Bakar Syatha di dalam Hasyiyah I’anah al-Thalibin:
فرع- لو شهد برؤية الهلال واحد او اثنان واقتضى الحساب عدم امكان رؤيته ، قال السبكي: لا تقبل هذه الشهادة، لان الحساب قطعي والشهادة ظنية، والظن لا يعارض القطع
“Jika satu orang atau dua orang bersaksi bahwa dia atau mereka telah melihat hilal sementara secara hisab hilal tak mungkin terlihat, maka menurut al-Subki kesaksian itu tidak diterima, karena hisab besifat pasti sedangkan rukyat bersifat dugaan, tentu yang bersifat dugaan tisak bisa mengalahkan yang pasti.
Substansi dari pendapat ini ialah bahwa hisab menjadi dasar dalam rangka menafikan, tidak dalam rangka menetapkan.
الحساب حجة في النفي لا في الإثبات
والمعتمد قبولها، إذ لا عبرة بقول الحسٌاب
Alasan Imam al-Subki : (لان الحساب قطعي والرؤية ظنية) untuk menolak rukyat ketika bertentangan dengan hisab perlu digarisbawahi kemudian ditarik ke kondisi saat ini di mana ilmu astronomi modern telah begitu maju dan akurasinya benar-benar meyakinkan (قطعي).
Dengan ilmu ini, para ahli astronomi bisa memprediksi terjadinya gerhana beberapa ratus tahun sebelum terjadinya dengan sangat akurat menyangkut tahun, bulan, minggu, hari dan jam, bahkan menitnya.
Dengan begitu akurat (قطعي)nya ilmu astronomi saat ini maka rukyat yang semula bersifat dugaan kuat (مظنونة)، ketika bertentangan dengan hisab turun menjadi sesuatu yang diragukan (مشكوك فيها), bahkan hanya bersifat asumsi saja (موهومة).
Pendapat imam al-Subki ini merupakan jalan tengah(المنهج الوسطي), sekaligus menjadi ajang perdamaian antara yang fanatik rukyat dan yang fanatik hisab.
Jika pemerintah berpegang pada pendapat ini maka tidak perlu menyiapkan tenaga dan biaya yang cukup besar yang dibutuhkan untuk melakukan pemantauan hilal (الترائي)، ketika seluruh ahli hisab/astronomi sepakat mengatakan bahwa hilal tidak mungkin dirukyat.
تصحيح :
١. فإن غبي عليكم فأكملوا عدة شعبان ثلاثين يوما
٢. فإن غمٌ عليكم فاقدروا له
وان كان أحدهما تفسيرا للآخر فالصواب أن المفسٌر هو الاول للثاني المجمل ، لا العكس
- KH. Afifuddin Muhajir Guru Besar usul fikih di Ma'had Aly Situbondo.