Penulis: Dona Romdona
Atorcator.Com - Dalam catatan sejarah, Laksamana Cheng Ho pernah melakukan pelayaran untuk berkunjung ke Kerajaan Singosari dan kerajaan-kerajaan nusantara. Pada waktu itu, ia mendapatkan mandat dari kerajaan untuk melakukan hubungan diplomatik. Kerjasama perdagangan adalah hal yang lumrah karena sumber rempah-rempah pada jaman tersebut masih dikuasai oleh kerajaan-kerajaan nusantara, dan sebagai salah satu produsen terbesar di dunia.
Dalam proses pelayaran Laksamana Cheng Ho biasanya mengikutsertakan juru tulis kerajaan. Tugas juru tulis kerajaan adalah mencatat segala seluk beluk penduduk, kondisi alam dan budaya negeri setempat. Selanjutnya hasil pencatatannya dijadikan sumber ilmu pengetahuan bagi kerajaan China. Sebagaimana diketahui, salah satu juru tulis terkenal bernama Ma Huan, juru tulis kerajaan yang beragama muslim.
Ma Huan atas perintah laksamana Cheng Ho, berlayar dan singgah di Pantai Timur Pulau jawa. Ma Huan mencatat kondisi masyarakat nusantara pada waktu itu terbagi menjadi tiga golongan,
pertama, keluarga kerajaan yang menganut agama Hindu dan Budha, dan kebanyakan beraliran Bairawa Tantra.
Kedua, golongan masyarakat barat (Arab) dan thionghoa yang keduanya beragama Islam.
Dan ketiga, adalah masyarakat pribumi yang masih menganut agama lokal, yang disebut agama kapitayan atau disebut juga agama Tauhid Purba.
Dalam catatan Ma Huan ketika mengisahkan kondisi masyarakat lokal, dikisahkan sebagai masyarakat yang masih menganut agama lokal yang berbeda dengan agama-agama yang dianut oleh raja-raja Nusantara pada waktu itu. Kondisi masyarakatnya pun masih kurang berbudaya, tingkat kebersihan yang masih belum terawat dan sangat feodalistik.
Masyarakat pribumi pada waktu itu jarang mandi, tidur di tanah, dan rumah yang tidak memiliki lantai yang bersih. Pada waktu itu masyarakat nusantara sama sekali tidak memiliki hak kepemilikan tanah. Ketika kerajaan meminta penguasaan tanah maka masyarakat harus rela menyerahkan sebidang tanah dan sawahnya ke kerajaan. Masyarakat yang terbelakang, kotor, dan busana yang hanya menutupi pusar sampai ke lutut adalah gambaran umum masyarakat nusantara pada waktu itu.
Seiring masuknya agama Islam yang dibawakan para syiar Islam dan para wali, proses perubahan secara evolutif mulai berubah. Para wali mulai merubah kebiasaan masyarakat pribumi pada waktu itu. Sebagai bentuk strategi kebudayaan para wali membangun Langgar/mushola. Setiap mushola biasanya para wali menyediakan sumur-sumur, gunanya disamping untuk mensucikan diri dari hadats atau najis, juga mengajak masyarakat pribumi untuk mandi. Menurut Prof. Agus Sunyoto dalam buku Atlas Walisongo,masyarakat pribumi jarang mandi sehingga terkesan kotor dan dekil. Para wali biasanya selalu mengajak pribumi untuk mandi di mushola agar badannya bersih, tanpa mengenal status agamanya.
Di samping mengajak mandi biasanya para wali membagikan baju bersih buat masyarakat pribumi secara gratis untuk menutupi tubuhnya. Budaya pembagian baju terus menerus dipelihara oleh para wali sebagai bentuk kasih sayang terhadap masyarakat pribumi. Sehingga masyarakat pribumi menjadi simpati dan berduyun-duyun memeluk agama Islam.
Menariknya, budaya pemberian baju yang dilakukan oleh para wali terus dipelihara terutama menjelang hari raya umat Islam yang dikenal dengan Idul Fitri. Menjelang Idul Fitri masyarakat pribumi baik Islam maupun non-muslim selalu berkumpul di langgar untuk menerima jatah baju, terutama bagi masyarakat miskin yang non-muslim. Baju yang diperolehnya digunakan untuk menutup aurat.
Dari tradisi ini setiap para wali membuka perkampungan baru di tiap-tiap daerah pedalaman selalu membangun mushola disertai sumur buat mandi penduduk juga disertai aktifitas pembagian baju buat penduduk lokal. Upaya tersebut dilakuakn sebagai upaya untuk memanusiakan penduduk lokal yang masih belum mengenal kebersihan.
Budaya memakai baju baru ini akhirnya berurat akar di mata penduduk lokal sehingga menjadi budaya yang ajeg. Dalam proses pembagian baju ini penduduk lokal menyebutnya sebagai lebaran. Lebaran dalam penduduk lokal akhirnya dikenal sebagai budaya membersihkan diri dan menutup aurat dengan memakai baju baru.
Dalam kisah ini kita melihat proses humanisasi yang dilakukan oleh para wali. Bukan hanya sebagai strategi kebudayaan dalam rangka syiar Islam, tapi juga sebagai bentuk budaya memanusiakan manusia dari keterbelakangan peradaban. Proses ajaran para wali yang memberikan nilai berharga pada tubuh manusia adalah manifestasi dari ajaran Islam. Sehingga tradisi humanisasi ini terpelihara sampai sekarang – terlepas dari adanya konteks dimana kekinian dimana membeli baju menjadi budaya konsumerisme. Namun di era penyebaran Islam tradisi tersebut tersebut sebagai bentuk memanusiakan manusia (humanisasi) terhadap penduduk lokal pada waktu itu.
Selengkapnya di sini
- Dona Romdona Pengurus Majelis Nasional Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) dan Direktur Yayasan Karawang Strategis