Penulis: Nur Kholilah Mannan
______
Editor: Azam Ibrohimy
Publisher: Siti Fadilah
Ilustrasi foto (wajib'baca) |
Susunan acaranya
tak begitu resmi, karena yang penting adalah berkumpul dan tertawa bersama dan
terakhir akan ada halal bihalal (meminta kehalalan antara satu orang
kepada orang lain, perlu diketahui bahwa istilah ini diprakarsai oleh KH. A.
Wahab Hasbullah ketika Bung Karno meminta beliau untuk mengubah kata
silaturrahmi menjadi halal bihalal untuk mempersatukan bangsa) yang
ditandai dengan salaman kepada semua guru, ustadz dan kiai.
Sebagai sababul wurūd (penyebab tulisan ini), kemarin reuni pesantren ada seorang santri
yang bertanya ketika pembawa acara mengumumkan bahwa alumni diperkenankan
bersalaman dengan para guru, ustadz/ustadzah dan kiai. Ia bertanya dengan nada
heran “Kak, alumni putri kok dibolehkan salaman ke ustadz?” “Kamu salaman ke
kiai saja”. Itu jawaban sederhana saya, jawaban ribetnya seperti ini.
Berjabat tangan
adalah masalah furu’iyah / masalah cabang fikih / bukan masalah
keyakinan yang seratus persen benar dan harus diyakini sepenuhnya. Oleh
karenanya ia mempunyai beragam pendapat, dalam berjabat tangan dengan
perempuan non mahram syekh Wahbah Zuhaily dalam magnum opus-nya al-fiqhu
al-Islām wa Adillatuhu, mengatakan mayoritas ulama kecuali madzhab
syafi'iyah membolehkan jabat tangan (muṣāfahah) berjabat tangan dengan
perempuan tua yang sudah tidak mempunyai daya tarik laki-laki karena tidak
dikhawatirkan terjadi fitnah.
Sedangkan madzhab syafi’iyah mengharamkannya secara mutlak karena sesuatu yang dilarang dilihat maka haram pula disentuh, hal ini berdasarkan hadis إني لا أصافح النساء “Sesungguhnya aku tidak bersalaman dengan perempuan”. Namun Hanafiyah membolehkan jabat tangan jika terdapat penghalang (hāil) antara dua kulit orang yang bersalaman.
Kemudian
mengenai jabat tangan laki-laki dan perempuan muda, madzhab yang empat
menyatakan keharamannya. Tetapi hanafiyah memberi catatan selama perempuan
tersebut menimbulkan syahwat.
Bahkan hanabilah mengatakan hukumnya makruh
secara mutlak, baik ia bersyahwat atau tidak. Pernyataan ini ditegaskan kembali
oleh syekh Ali Jum’ah, mufti Mesir, dalam laman Darul Ifta nomor 2287 yang
dilansir pada tanggal 13 Januari 2011. Beliau mengatakan bahwa jabat tangan
laki-laki dan perempuan yang bukan mahramnya adalah masalah yang mempunyai
ragam pendapat.
Jumhur ulama mengatakan haram kecuali hanafiyah dan hanabilah
yang mengatakan boleh jabat tangan dengan perempuan renta yang tidak lagi
membangkitkan syahwat, ketika sebagian ulama membolehkan praktik itu
berdasarkan riwayat bahwa sayyidina Umar ra berjabat tangan dengan perempuan
dimana Rasul menahan diri dari praktik tersebut, maka penahanan diri Rasul
dipahami sebagai bagian dari kekhususan Nabi Muhammad saw.” (Syekh Ali Jum’ah,
Darul Ifta, Mesir, 2011, nomor 2287).
Tidak hanya
itu, ada hadis yang menerangkan kesunahan mencium tangan (bersalaman) orang yang berilmu dengan
maksud menghormati orang yang berilmu. Dalam kitab al-Bahru al-Rāiq karya Ibn
Nujaim al-Hanafī:
قال في
الجامع الصغير: ويكره تقبيل غيره ومعانقته ولا بأس بالمصافحة لما روي أنه عليه
الصلاة والسلام سئل 'أيقبل بعضنا بعضا؟ قال: "لا", قالوا: ويعانق بعضنا
بعضا؟, قال: "لا" قالوا: أيصافح بعضنا بعضا؟ قال: "نعم" قال
مشايخنا: إن كان يأمن على نفسه من الشهوة وقصد البر والإكرام وتعظيم المسلم فلا
بأس به والحديث محمول على هذا التفصيل
“Pengarang al-Jāmi’ al-Ṣaghīr
berkata: makruh mencium tangan orang lain dan merangkulnya. Sedangkan berjabat
tangan tidak apa-apa berdasarkan riwayat bahwasanya Nabi pernah ditanya “Apakah
kita boleh mencium tangan orang lain?” Nabi menjawab tidak, “Apakah kita boleh
merangkul orang lain?” Nabi menjawab tidak, “Apakah kita boleh berjabat
tangan?” Nabi menjawab iya. Guru-guru kita berkata, jika aman dari timbulnya
syahwat dan bermaksud memuliakan guru, mengagungkannya atau memuliakan sesame
muslim maka tidak masalah. Dan hadis ini diarahkan pada rincian ini.
Perlu digarisbawahi, pada tulisan ini saya tidak hendak
membolehkan jabat tangan dengan non mahrom secara bebas, namun memberi
masukan untuk bersikap hormat kepada guru. Memuliakan guru jauh lebih
dipentingkan –setidaknya secara adat- daripada larangan jabat tangan yang
belum tentu menimbulkan syahwat (baik dikarenakan jarak usia murid yang
terlampau amat jauh atau memang rupa si murid tidak layak tayang).
Ada riwayat
lain yang menjelaskan keutamaan berjabat tangan dengan orang alim, Syarhu
an-Nail wa Syifāu
al-‘Alīl karya Muhammad bin
Yusuf , أَنَّهُ مَنْ صَافَحَ عَالِمًا فَكَأَنَّمَا
صَافَحَنِي “Bahwasanya orang yang berjabat tangan dengan orang yang
berilmu maka seakan-akan ia berjabat tangan denganku”.
Tulisan bukan datang untuk melonggarkan aturan yang ketat
melainkan menyodorkan kebenaran ilmiah karena walau bagaimanapun akademisi
haruslah bersikap jujur pada fakta ilmiah bahwasanya memang terdapat banyak
pendapat mengenai ilmu –selain ilmu usuluddīn-. Semoga tulisan ini bermanfaat.
Allahu A’lam!