Penulis: Iqbal Syauqi al-Ghiffari
Kamis 11 Juli 2019
Atorcator.Com - Kota Kudus adalah daerah yang tersohor berkat kretek dan dodolnya. Namun, tak elok jika bicara Kudus tidak membahas para tokoh-tokoh besar yang berada di lingkungannya. Sebut saja Sunan Kudus, lalu ulama besar seperti KH. Arwani, KH. Raden Asnawi, dan banyak sebagainya. Sekian banyak figur yang dikenal dari Kudus, ada satu yang agaknya mendapat sorotan kuat apalagi pada momen jelang Ramadhan. Beliau dikenal lewat ilmu tata langit, yang biasa dikenal dengan ilmu astronomi atau ilmu falak. Ya, kota Kudus memiliki salah satu pemuka ilmu ini, dialah KH. Turaichan Adjhuri Asy Syarofi rahimahullah.
Dalam tataran masyarakat dewasa ini, membentuk kader ulama setidaknya harus melalui tempaan dalam pondok pesantren. Lembaga pendidikan semacam ini tetap menjadi pilihan nomor satu dalam mengkaji dan mempertahankan nilai agama. Namun tidak demikian halnya dengan KH. Turaichan (selanjutnya kita sapa beliau dengan Mbah Tur). Meskipun memang atmosfer keilmuan kota Kudus memenuhi untuk “menjadi alim tanpa nyantri”, tentu saja ini kurang lumrah di kalangan ulama Nusantara. Beliau, selain melalui didikan orang tuanya, KH. Adjhuri dan Nyai Sukainah, mendalami ilmu agama dan fikih secara komprehensif, Mbah Tur kecil juga melewati masa belajarnya dengan mendatangi kelompok-kelompok pengajian ulama Kudus masa itu, dari majelis satu ke yang lainnya.
Mbah Tur adalah generasi asli kota Kretek, disebutkan lahir pada 10 Maret 1915. Beliau mengenyam pendidikan formal hanya melalui Madrasah Tasywiqut Thullab Salafiyah (dikenal dengan TBS) sejak masa awalnya, selama dua tahun. Kecerdasan beliau yang luar biasa, membuat para pengajar menjadikannya sebagai pembantu tenaga guru. Selain itu, melalui madrasah tersebut, Mbah Tur muda diperkenalkan dengan dunia organisasi dan pergerakan di masyarakat. Lambat laun waktu mengarahkan beliau menuju forum-forum besar dalam ranah PBNU, baik secara organisasi maupun soal diskusi hukum bahtsul masaail.
Terhitung banyak posisi dan tanggung jawab yang beliau emban, dan karena kepakarannya di bidang fikih, maka ranah itulah yang ditempuh beliau. Mulai dari Rais Syuriah NU Cabang Kudus, lalu masuk dalam jajaran anggota Lajnah Falakiyah PBNU, dan lembaga lain terkait spesialisasi fikihnya, yakni bidang ilmu falak. Argumen-argumen beliau yang terkadang tidak sejalan dengan konsensus kebanyakan, yang ternyata terbukti lebih akurat, menjadikan keputusan Mbah Tur menjadi berpengaruh. Disebutkan bahwa beberapa kiai ternama sempat bertentangan pendapat dalam perkara penetapan suatu tanggal, dan ternyata KH. Turaichan tetap kukuh pada keyakinannya.
Baiklah, kita ceritakan sedikit tentang perihal Mbah Tur ini. Pada suatu ketika disebutkan terjadi gerhana matahari total tahun 1984, pemerintah melayangkan aturan untuk melarang warga untuk keluar “menyambut” datangnya peristiwa itu. Mbah Tur, dengan ketegasan dan prinsip-prinsip falak yang matang menyatakan pada masyarakat Kudus melalui sebuah khutbah di atas Menara Kudus, Masjid Al Aqsha,
“Wahai Saudara-saudara, jika Kalian tidak percaya, maka buktikan. Sekarang peristiwa yang dikatakan menakutkan, sedang berlangsung. Silahkan keluar dan buktikan, bahwa Allah tidak menciptakan bala’ atau musibah darinya. Silahkan. Keluar dan saksikan secara langsung!”.
Siapa sangka, masyarakat pun menyambut ajakan ini, dan melihat gerhana yang tiba. Faktanya, memang tidak terjadi apapun. Setelah pengamatan itu, warga melangsungkan salat gerhana sebagaimana disyariatkan. Akibat dari pernyataan KH. Turaichan yang kontroversial dan menentang pemerintah itu, Orde Baru yang saat itu memang amat menekan dan represif, maka beliau dimintai pertanggungjawaban oleh pemerintah. Mbah Tur disebutkan memegang teguh naskah teks mengenai fenomena alam ini yang redaksinya adalah abshara, yakni melihat dengan mata telanjang, meskipun kalimat ini bisa ditafsirkan sedemikian rupa menjadi mengamati, meneliti, dan lainnya.
Dikarenakan keadaan beliau yang pernah menjadi pejabat penting dari Partai NU (pada masa itu), dan berperan dalam pergerakan PBNU, maka Mbah Tur mempunyai prinsip ke-NU-an yang tak bisa ditawar. Ketika tiba masa pergolakan NU, yakni ketika NU menerima asas Pancasila sebagai asas organisasi menggantikan asas Islam Ahlussunnah wal jamaah, KH. Turaichan memutuskan untuk berpisah diri dari organisasi secara struktural. Sejak saat itu, Mbah Tur lebih memilih untuk mengurusi NU secara lokal di Kudus, dan akhirnya beliau memopulerkan istilah “Lokalitas NU”
Kita tak bisa memungkiri, bahwa ilmu falak adalah salah satu ilmu yang agak punya hajat besar bagi kehidupan berbangsa kita. Tahukah Anda, pergumulan dan perbedaan antar golongan dalam sidang isbat penentuan awal dan akhir Ramadlan selalu menjadi topik hangat negeri ini. Setiap tahun masing-masing golongan mengajukan perbedaan dalam pelaksanaan dan penjabaran ilmu falak.
Sebagaimana disebutkan, Mbah Tur memang memiliki otoritas dan ketegasan dalam prinsip-prinsip fikih, namun bagaimanapun beliau tetap menjalin hubungan baik dan akomodatif terhadap kalangan PBNU juga jajaran pemerintahan. “Lokalitas NU” yang beliau perkenalkan kepada masyarakat membuat berbagai ajaran NU yang diserukan oleh para pemimpin organisasi, tidak serta merta diikuti.
Salah satu hasil analisis Mbah Tur adalah rashdul qiblat pada setiap tanggal 28 Mei pukul 16.18 wib atau pada setiap tanggal 16 Juli pukul 16.27 wib, semua benda tegak lurus adalah arah kiblat. Rashdul qiblat ini adalah usaha melihat bayang-bayang matahari pada tanggal tertentu untuk menentukan kiblat. Walaupun pada dasarnya rashdul qiblat dapat dihitung dalam setiap harinya, hanya saja penetapan dua hari rashdul qiblat oleh KH Turaichan di atas adalah atas pertimbangan yang lebih akurat dan realistis.
Ilmu falak kini kian langka peminat dan pengkajinya. Beberapa kalangan menyebut ilmu ini cukup sulit terdapat paduan yang cukup kompleks antara geografi, astronomi, matematika, serta fisika. Belum lagi prinsip-prinsip fikih yang mesti dipegang mengenai kiblat, waktu shalat, dan pergerakan bulan.
Beberapa pesantren, selain di daerah Kudus, juga banyak yang mengkaji ilmu falak lebih komprehensif dalam kurikulum maupun kajian non-formalnya. Institusi pendidikan formal yang mengkaji ilmu ini antara lain (jika bukan satu-satunya) adalah UIN Walisongo Semarang. Bagaimanapun, peran KH. Turaichan dalam memepertahankan ilmu falak, khususnya di Jawa Tengah, telah banyak dialnjutkan oleh murid-murid beliau.
Ilmu fikih adalah ilmu yang luas, dan falak adalah bagiannya yang tak terelakkan. Melalui berkah Tuhan yang dilimpahkan pada KH. Turaichan Adjhuri rahimahullah, falak dapat lestari di Indonesia, dan menjadi modal persatuan umat, semoga.
Selengkapnya di sini
Kamis 11 Juli 2019
Ilustrasi foto/K.H. Turaichan Adjhuri |
Atorcator.Com - Kota Kudus adalah daerah yang tersohor berkat kretek dan dodolnya. Namun, tak elok jika bicara Kudus tidak membahas para tokoh-tokoh besar yang berada di lingkungannya. Sebut saja Sunan Kudus, lalu ulama besar seperti KH. Arwani, KH. Raden Asnawi, dan banyak sebagainya. Sekian banyak figur yang dikenal dari Kudus, ada satu yang agaknya mendapat sorotan kuat apalagi pada momen jelang Ramadhan. Beliau dikenal lewat ilmu tata langit, yang biasa dikenal dengan ilmu astronomi atau ilmu falak. Ya, kota Kudus memiliki salah satu pemuka ilmu ini, dialah KH. Turaichan Adjhuri Asy Syarofi rahimahullah.
Dalam tataran masyarakat dewasa ini, membentuk kader ulama setidaknya harus melalui tempaan dalam pondok pesantren. Lembaga pendidikan semacam ini tetap menjadi pilihan nomor satu dalam mengkaji dan mempertahankan nilai agama. Namun tidak demikian halnya dengan KH. Turaichan (selanjutnya kita sapa beliau dengan Mbah Tur). Meskipun memang atmosfer keilmuan kota Kudus memenuhi untuk “menjadi alim tanpa nyantri”, tentu saja ini kurang lumrah di kalangan ulama Nusantara. Beliau, selain melalui didikan orang tuanya, KH. Adjhuri dan Nyai Sukainah, mendalami ilmu agama dan fikih secara komprehensif, Mbah Tur kecil juga melewati masa belajarnya dengan mendatangi kelompok-kelompok pengajian ulama Kudus masa itu, dari majelis satu ke yang lainnya.
Mbah Tur adalah generasi asli kota Kretek, disebutkan lahir pada 10 Maret 1915. Beliau mengenyam pendidikan formal hanya melalui Madrasah Tasywiqut Thullab Salafiyah (dikenal dengan TBS) sejak masa awalnya, selama dua tahun. Kecerdasan beliau yang luar biasa, membuat para pengajar menjadikannya sebagai pembantu tenaga guru. Selain itu, melalui madrasah tersebut, Mbah Tur muda diperkenalkan dengan dunia organisasi dan pergerakan di masyarakat. Lambat laun waktu mengarahkan beliau menuju forum-forum besar dalam ranah PBNU, baik secara organisasi maupun soal diskusi hukum bahtsul masaail.
Terhitung banyak posisi dan tanggung jawab yang beliau emban, dan karena kepakarannya di bidang fikih, maka ranah itulah yang ditempuh beliau. Mulai dari Rais Syuriah NU Cabang Kudus, lalu masuk dalam jajaran anggota Lajnah Falakiyah PBNU, dan lembaga lain terkait spesialisasi fikihnya, yakni bidang ilmu falak. Argumen-argumen beliau yang terkadang tidak sejalan dengan konsensus kebanyakan, yang ternyata terbukti lebih akurat, menjadikan keputusan Mbah Tur menjadi berpengaruh. Disebutkan bahwa beberapa kiai ternama sempat bertentangan pendapat dalam perkara penetapan suatu tanggal, dan ternyata KH. Turaichan tetap kukuh pada keyakinannya.
Baiklah, kita ceritakan sedikit tentang perihal Mbah Tur ini. Pada suatu ketika disebutkan terjadi gerhana matahari total tahun 1984, pemerintah melayangkan aturan untuk melarang warga untuk keluar “menyambut” datangnya peristiwa itu. Mbah Tur, dengan ketegasan dan prinsip-prinsip falak yang matang menyatakan pada masyarakat Kudus melalui sebuah khutbah di atas Menara Kudus, Masjid Al Aqsha,
“Wahai Saudara-saudara, jika Kalian tidak percaya, maka buktikan. Sekarang peristiwa yang dikatakan menakutkan, sedang berlangsung. Silahkan keluar dan buktikan, bahwa Allah tidak menciptakan bala’ atau musibah darinya. Silahkan. Keluar dan saksikan secara langsung!”.
Siapa sangka, masyarakat pun menyambut ajakan ini, dan melihat gerhana yang tiba. Faktanya, memang tidak terjadi apapun. Setelah pengamatan itu, warga melangsungkan salat gerhana sebagaimana disyariatkan. Akibat dari pernyataan KH. Turaichan yang kontroversial dan menentang pemerintah itu, Orde Baru yang saat itu memang amat menekan dan represif, maka beliau dimintai pertanggungjawaban oleh pemerintah. Mbah Tur disebutkan memegang teguh naskah teks mengenai fenomena alam ini yang redaksinya adalah abshara, yakni melihat dengan mata telanjang, meskipun kalimat ini bisa ditafsirkan sedemikian rupa menjadi mengamati, meneliti, dan lainnya.
Dikarenakan keadaan beliau yang pernah menjadi pejabat penting dari Partai NU (pada masa itu), dan berperan dalam pergerakan PBNU, maka Mbah Tur mempunyai prinsip ke-NU-an yang tak bisa ditawar. Ketika tiba masa pergolakan NU, yakni ketika NU menerima asas Pancasila sebagai asas organisasi menggantikan asas Islam Ahlussunnah wal jamaah, KH. Turaichan memutuskan untuk berpisah diri dari organisasi secara struktural. Sejak saat itu, Mbah Tur lebih memilih untuk mengurusi NU secara lokal di Kudus, dan akhirnya beliau memopulerkan istilah “Lokalitas NU”
Kita tak bisa memungkiri, bahwa ilmu falak adalah salah satu ilmu yang agak punya hajat besar bagi kehidupan berbangsa kita. Tahukah Anda, pergumulan dan perbedaan antar golongan dalam sidang isbat penentuan awal dan akhir Ramadlan selalu menjadi topik hangat negeri ini. Setiap tahun masing-masing golongan mengajukan perbedaan dalam pelaksanaan dan penjabaran ilmu falak.
Sebagaimana disebutkan, Mbah Tur memang memiliki otoritas dan ketegasan dalam prinsip-prinsip fikih, namun bagaimanapun beliau tetap menjalin hubungan baik dan akomodatif terhadap kalangan PBNU juga jajaran pemerintahan. “Lokalitas NU” yang beliau perkenalkan kepada masyarakat membuat berbagai ajaran NU yang diserukan oleh para pemimpin organisasi, tidak serta merta diikuti.
Salah satu hasil analisis Mbah Tur adalah rashdul qiblat pada setiap tanggal 28 Mei pukul 16.18 wib atau pada setiap tanggal 16 Juli pukul 16.27 wib, semua benda tegak lurus adalah arah kiblat. Rashdul qiblat ini adalah usaha melihat bayang-bayang matahari pada tanggal tertentu untuk menentukan kiblat. Walaupun pada dasarnya rashdul qiblat dapat dihitung dalam setiap harinya, hanya saja penetapan dua hari rashdul qiblat oleh KH Turaichan di atas adalah atas pertimbangan yang lebih akurat dan realistis.
Ilmu falak kini kian langka peminat dan pengkajinya. Beberapa kalangan menyebut ilmu ini cukup sulit terdapat paduan yang cukup kompleks antara geografi, astronomi, matematika, serta fisika. Belum lagi prinsip-prinsip fikih yang mesti dipegang mengenai kiblat, waktu shalat, dan pergerakan bulan.
Beberapa pesantren, selain di daerah Kudus, juga banyak yang mengkaji ilmu falak lebih komprehensif dalam kurikulum maupun kajian non-formalnya. Institusi pendidikan formal yang mengkaji ilmu ini antara lain (jika bukan satu-satunya) adalah UIN Walisongo Semarang. Bagaimanapun, peran KH. Turaichan dalam memepertahankan ilmu falak, khususnya di Jawa Tengah, telah banyak dialnjutkan oleh murid-murid beliau.
Ilmu fikih adalah ilmu yang luas, dan falak adalah bagiannya yang tak terelakkan. Melalui berkah Tuhan yang dilimpahkan pada KH. Turaichan Adjhuri rahimahullah, falak dapat lestari di Indonesia, dan menjadi modal persatuan umat, semoga.
Selengkapnya di sini