Penulis: Muhammad Ulil Albab AS
Atorcator.Com - Pondok Pesantren Tebuireng. Pesantren yang didirikan K.H. Hasyim Asy’ari merupakan pesantren yang sudah tidak asing lagi bagi para santri di Indonesia. Layaknya lembaga lain, Tebuireng telah mengalami regenerasi hingga kini. Berikut adalah periodisasi kepemimpinan Tebuireng:
Ahad 21 Juli 2019
Ilustrasi: KH. Ahmad Baidhowi Asro |
Pada kali ini, kita akan mengenal lebih dekat biografi K.H. Achmad Baidhowi Asro, pengasuh generasi keempat Pesantren Tebuireng.
Kiai Baidhowi lahir di Banyumas pada tahun 1898 M. Ayahnya, Kiai Asro merupakan sosok kiai yang tersohor di Banyumas. Beliau memulai pendidikannya di HIS Banyumas.
Setelah tamat, beliau melanjutkan studinya ke pelbagai pesantren, di antaranya: Pesantren Jalaan dan Nglirep yang bertempat di Kebumen, seta beberapa pesantren lainnya yang terletak di Jawa Tengah. Setelah tamat, kiainya merekomendasikannya untuk melanjutkan studinya di Tebuireng yang kala itu diasuh oleh sang pendirinya.
Kiai Baidhawi terkenal dengan ketekunan dan sifat rajin yang dimilikinya dalam belajar. Kedahagaannya akan ilmu mempesona hati kiainya, wajar saja beliau selalu menjadi tangan kanan kiainya di manapun beliau berada. Tak terkecuali ketika beliau di Tebuireng, Kiai Hasyim sering memintanya sebagai pengganti apabila beliau sedang berhalangan. Bahkan dalam beberapa kesempatan, Kiai Hasyim mengajaknya sebagai teman bermusyawarah dan meminta pendapatnya dalam mempertimbangkan suatu masalah.
Sebagai hadiah untuk murid istimewanya tersebut, Kiai Hasyim memberangkatkan Kiai Baidhawi ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji serta menuntut ilmu. Selepas pulangnya dari Tanah Suci, beliau melanjutkan studinya ke Universitas al-Azhar, Kairo.
Setelah meneguk banyak ilmu di tanah Kairo, Kiai Baidhowi mengabdikan diri di Tebuireng dengan cara membantu Kiai Hasyim mengajar. Tak lama kemudian, beliau dijodohkan oleh Kiai Hasyim dengan putri ketiganya, Aisyah. Dari pernikahan ini, beliau dikaruniai 6 orang anak, yaitu:
Muhammad, Ahmad Hamid, Mahmud, Ruqayyah (istri Kiai Yusuf Masyhar, pendiri PP. Madrasatul Quran Tebuireng), Mahmad, dan Kholid. Dari enam anak ini, hanya Kholid saja yang masih menjalankan aktivitasnya semula sebagai seorang dokter. Setelah melahirkan anak keenamnya ini, Nyai Aisyah berpulang ke rahmatullah.
Atas restu keluarga, Kiai Baidhowi menikah lagi dengan Nyai Bari’ah, putri dari Kiai Anwar Alwi Pacul Gowang. Dari pernikahannya ini, beliau dikaruniai seorang putri yang bernama Muniroh. Hingga saat ini, putri tunggalnya masih dikarunia rezeki umur yang panjang.
Setelah itu, Kiai Baidhowi menikah lagi dengan keponakan Kiai Mahfudz Anwar Seblak, yaitu Nadhifah. Dari pernikahannya ini, beliau dikarunia 5 orang anak, yaitu: Muthohar, Hafsoh, Munawar, Munawir, dan Fatimah.
Kiai Baidhawi merupakan sosok yang fokus dalam bidang pendidikan. Beliau merupakan sosok pendidik yang tekun, rajin, ahli ibadah, dan tak memiliki ambisi apapun. Beliau tidak pernah ikut campur dalam urusan politik. Satu-satunya jabatan yang pernah beiau emban adalah anggota Dewan Syuriah PBNU.
Salah satu peran penting beliau bagi Tebuireng adalah pengenalan sistem madrasah yang terjadi pada tahun 1919 M. Yang mana semulanya Tebuireng masih menggunakan metode sorogan dan bandongan. Karena pada suatu ketika Kiai Baidhowi mengajar santri dengan cara tangan kanan menulis tulisan arab sedangkan di tangan kirinya, beliau menulis tulisan latin Kiai Hasyim tertarik melihat hal ini. Lalu dimualailah sistem madrasah yang dimulai dari kelas 1 hingga 6 Madrasah itu dinamai dengan Madrasah Salafiyah Syafi’iyah. Adapun yang merumuskan kurikulum adalah Pengasuh kedua, yaitu Kiai Abdul Wahid Hasyim.
Kepemimpinannya di Tebuireng merupakan sesuatu yang baru. Karena tradisi yang ada, selagi masih ada anak kandung, maka ia yang berhak meneruskan kursi kepengurusan. Yang unik dari kepemimpinan Kiai Baidhowi ialah statusnya sebagai menantu dapat menjadi pengasuh ketika anak kandung masih hidup. Hal ini disebabkan karena permintaan Kiai Abdul Karim kala itu kepada Kiai Baidhawi untuk menjadi pengasuh. Setelah sebelumnya pernah menjabat sebagai bendahara.
Di masa kepemimpinannya yang berjumlah 1 tahun (1951-1952), Kiai Baidhowi tidak mengubah sistem yang ada, hanya melanjutkan serta memelihara sistem yang ada. Ketika kepemimpinan pindah ke adik iparnya, beliau tetap membantunya dengan cara mengajar para santri.
Pada tahun 1955, tepatnya di hari Jumat beliau menghembus nafas terakhir. Setelah sebelumnya beliau mengimami Salat Jumat, di sore harinya beliau terkena demam. Di malam harinya demam tersebut meninggi yang berujung ditutupnya usia beliau. Beliau dimakamkan di area Pemakaman Tebuireng.
Selengkapnya di sini
- Muhammad Ulil Albab AS Santri Madrasah Darus-Sunnah Ciputat, Tangerang Selatan