Penulis:
Muhammad Faishol
Jumat 12 Juli
2019 16: 09
foto: Nu.or.id |
Atorcator.Com -
Memasuki bulan Februari, kita menyaksikan banyak media massa,
mal-mal, pusat-pusat hiburan, hotel melati hingga berbintang sedang bersibuk
ria berlomba-lomba menarik para remaja dengan menggelar pesta perayaan.
Melakukan semua hal yang di anggap “romantis”, mulai dari sekedar mengucapkan
rasa sayang, berkirim kartu, memberi bunga, sampai pada ‘kegiatan’ yang lain.
Puncaknya, pada tanggal 14 Februari yang biasa kita kenal dengan Valentine’s
Day. Entah dari mana sumbernya hari yang katanya sebagai simbol kasih sayang
itu. Ibarat hadits, sanadnya pun tidak jelas.
Terlepas dari
itu semua, sesungguhnya kita sudah diajari romantisme yang benar-banar tulus
dari hati oleh kiai-kiai NU.
Misalnya,
dicontohkan pendiri Nahdatul Ulama, Hadratusyeikh KH Hasyim Asy’ari. Bagini
ceritanya, pada suatu hari, Nyai Khoiriyah istri Hadratussyeikh KH Hasyim
Asy’ari tidak tahu apa sebabnya ngambek kepada sang kiai. Tiba-tiba saja Nyai
Khoiriyah mengambil sebuah stagen (korset tradisional terbuat dari kain yang
panjang) dan mengikatnya ke tubuh Kiai Hasyim yang sedang duduk di atas kursi.
Tanpa sepatah
kata pun Mbah Hasyim hanya senyum-senyum dan manut dengan perlakuan istrinya
itu. Hadratussyeikh tidak ingin membuat sang istri kecewa atau mungkin agar
kemarahan istrinya cepat reda. Selang beberapa menit, Nyai Khoiriyah bertanya, “Apakah
bapak selalu menyebut namaku di setiap doa bapak?” Dengan lembut Mbah Hasyim
menjawab, ”Tentu saja. Ibu adalah bagian dari hidupku. Jadi tidak mungkin jika
aku tak menyebut namamu di setiap doaku.”
Bagitulah
kira-kira jawaban Mbah Hasyim yang dikenal dengan segala kewibawaan nan
keramat, ternyata juga punya sisi romantis kepada istrinya.
Lain lagi
dengan kisah Gus Dur, Sinta Nuriyah pernah bercerita tentang satu momen
romantis bersama Gus Dur semasa hidup. Pada suatu kesempatan, sekitar tahun 1970,
Gus Dur dan Sinta sedang pergi berdua menumpang becak sebagai salah satu
pilihan alat transportasi yang umum digunakan masyarakat kala itu. Di tengah
perjalanan ternyata hujan turun. Meski tidak terlalu deras, si pengemudi becak
berinisiatif menutup seluruh tempat penumpang dengan plastik layaknya fasilitas
yang dipunya becak pada umumnya. Bukan hanya bagian depan, sisi samping dan
belakang juga ditutup dengan plastik warna transparan.
Tiba-tiba, di
tengah jalan, Gus Dur mencium istrinya itu. Sontak, mendapati ciuman tersebut
ibu empat anak itu bereaksi. Kepada Gus Dur, Sinta mengingatkan, ada tukang
becak tepat di belakang yang mungkin saja masih bisa melihat. Apa jawab Gus
Dur? “Biar saja, biar dia kepingin,” ucapnya sambil tertawa.
Tidak hanya
itu, meski Gus Dur adalah cucu dari pendiri NU dan anak mantan menteri Agama,
ternyata di masa awal-awal pernikahan, semua dilaluinya dengan kehidupan yang
sangat sederhana dan serba pas-pasan. Tiap harinya Gus Dur memiliki pekerjaan
yakni memasukkan kacang ke dalam tiap kantung plastik, dan Sinta Nuriyah
bertugas menutupnya dengan menggerakkan bagian atas kantung dengan lilin yang
menyala. Setelah semua selesai dibungkus, dengan berbekal sepeda, Gus Dur
membonceng Sinta untuk mengantarkan semua bungkusan itu ke warung-warung
strategis di segenap kota. Sinta tidak pernah malu, menjalani dengan senang
hati semua itu, hingga beberapa tahun selanjutnya tanpa disangka bisa menemani
Gus Dur sampai menjadi Presiden Republik Indonesia.
Tidak heran
jika Sinta pernah mengatakan di salah satu program televisi nasional, ”Gus Dur
itu sosok panutan yang berhasil membawa bahtera rumah tangga kebahagiaan.
Karenannya, menjadi istri Gus Dur dalam suasana apa pun itu enak. Mau jadi
presiden, mau jadi Ketua PBNU, mau jadi orang biasa yang serba pas-pasan, tidak
ada bedanya. Saya sangat bangga menjadi istri Gus Dur,” ucapnya dengan menahan
air mata.
Bagi Anda
wanita salihah mungkin bisa meniru kesabaran dan ketulusan cinta Sinta Nuriya
ini hingga mengantarkan lelaki yang Anda sayang di puncak karirnya.
Selengkapnya
bisa dibaca di NU Online