Penulis: Ibnu Kharis
Kamis 18 Juli 2019
Atorcator.Com - Silsilatul Haramain merupakan kitab kumpulan wiridan dan tawasul yang dikarang oleh K.H. Abdul Hannan, salah satu sufi dan wali Allah yang dimakamkan di komplek pemakanan Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon. Menurut beberapa sumber, kitab wiridan tersebut dikarang oleh Kiai Hannan saat beliau melakukan ibadah haji di Tanah Suci Makkah. Kiai Hannan merupakan ulama yang hidup pada abad ke-19. Pada abad tersebut, beberapa ulama Nusantara menjadi ulama terkemuka di sana, seperti Syekh Mahfuz Termas, Syekh Nawawi Banten, dan lain sebagainya.
Silsilatul Haramain berarti ‘rantai dua Tanah Suci, Makkah dan Madinah’. Karena dikarang di Tanah Suci, kemungkinan itulah alasan Kiai Abdul Hannan menamai kitab tersebut. Kitab wiridan tersebut secara turun temurun dibaca oleh keturunan dan para santrinya hingga kini. Karena wiridan dalam kitab tersebut diawali dengan kalimat ya hadiyu ‘Wahai Tuhan Zat Pemberi Hidayah’, para santri Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon sering menyebutnya dengan hadiyu. Aktivitas membaca wiridan tersebut disebut dengan hadiyuwan.
Pada umumnya, Silsilatul Haramain dibaca di kompleks Pesantren Babakan pada setiap malam Jumat atau bakda Jumat. Semua keluarga pesantren yang berada di kompleks Pesantren Babakan hampir seluruhnya membaca wiridan tersebut. Salah satu putra Kiai Abdul Hannan yang identik sebagai penerus dan pemimpin istikamahan wirid tersebut adalah Kiai Makhtum Hannan. Memang beliau bukan satu-satunya kiai yang mengistikamahan wiridan tersebut, namun pelopor pembacaan wiridan tersebut dalam acara istigasah kubra di makbarah Kiai Hannan adalah Kiai Makhtum.
Menurut buku Aku Bersama Sang Kiai, Kiai Makhtum Hannan pertama kali mengistikamahkan pelaksanaan istigasah kubra di kompleks pemakaman Kiai Abdul Hannan sejak tahun 1995. Kegiatan istigasah kubra itu diselenggarakan dua bulan sekali berjalan hingga kini. Setelah Kiai Makhtum wafat pada 21 Januari 2017, pembacaan wiridan tersebut diteruskan oleh keturunan, keponakan, keluarga, dan para jemaahnya.
Pada pembacaan tawasul Silsilatul Haramain yang ke-12 disebutkan beberapa nama-nama sufi dan wali Allah. Secara urut, tawasulan tersebut menyebutkan masyāyikh al-Qādiriyyah, wa an Naqsyabandiyyah seluruh ahli tarekat.
Setelah itu disebutkan secara khusus nama Syekh Abdul Qadir al-Jailani, Abu al-Qasim al-Junaidi, dan ulama-ulama lainnya. Hanya ada dua ulama yang disebutkan dengan nama kitab yang dianggitnya, yaitu Imam Muhammad al-Ghazali, pengarang Ihya ‘Ulum al-Din dan Imam Taj al-Din al-Khawwafi, penulis al-Risālah al-Qudsiyyah.
Saya yakin, bagi kalangan santri pada umumnya, nama Imam al-Ghazali tidak asing lagi. Namun saya pribadi, baru mendengar nama yang kedua saat membaca wiridan tersebut sekitar 17 tahun silam. Apalagi kitab al-Risālah al-Qudsiyyah, sepengetahuan saya, tidak diajarkan di pesantren-pesantren. Belakangan, saya mencoba menelusuri keberadaan cetakan atau manuskrip kitab tersebut melalui googling. Ternyata saya belum menemukan versi cetak kitab tersebut, dan hingga saat ini tidak ditemukan keberadaan manuskrip kitab tersebut di Indonesia.
Manuskrip Al-Risālah al-Qudsiyyah
Berdasarkan penelusuran, penulis tidak menemukan uraian para peneliti mengenai kitab Al-Risālah al-Qudsiyyah. Namun, penulis menemukan tulisan H.T. Norris dalam jurnal Bulletin of the School of Oriental and African Studies, University of London, Vol. 53, No. 1 (1990), tentang karya lain Syekh Zain al-Din al-Khawwafi. Karya lain tersebut berjudul Mir’āt al-Ṭālibīn.
Menurut tulisan ini, Syekh Zain al-Din al-Khawwafi memiliki nama lengkap Muhammad bin Muhammad bin Ali bin Abu Bakar al-Khawafi al-Harawi yang lahir di Khurasan pada 757 Hijriah atau 1356 Masehi. Saat ini, Khurasan adalah istilah modern untuk wilayah timur Persia kuno sejak abad ke-3. Khurasan Raya meliputi wilayah yang kini merupakan bagian dari Iran, Afganistan, Tajikistan, Turkmenistan, dan Uzbekistan. Syekh Zain al-Din al-Khawwafi wafat pada 838 Hijriah atau 1435 Masehi di Herat, yang kini masuk dalam teritori Afganistan.
Melalui data daring, penulis menemukan salinan manuskrip al-Risālah al-Qudsiyyah yang tercecer di beberapa negara. Di antaranya Turki, Suriah, Palestina, dan Arab Saudi. Satu-satunya manuskrip al-Risālah al-Qudsiyyah yang dapat diakses dalam bentuk digital adalah manuskrip koleksi Universitas Leipzig, Jerman.
Menjadi maklum bila manuskrip tersebut ditemukan salinannya di beberapa negara. Hal ini karena, menurut Al-Zirikli dalam al-A’lām, Zain al-Din al-Khawwafi melakukan perjalanan ilmiah ke beberapa negara, di antaranya Mesir, Syam (Suriah dan sekitarnya), dan Hijaz.
Mansukrip ini merupakan salinan milik Muhammad Sizai. Penyalinan tersebut selesai dilakukan pada 15 Ramadan 1062 atau 20 Agustus 1662 di Turki. Penulis tidak dapat berasumsi lebih jauh apakah kitab yang terdapat digitalnya ini merupakan versi utuh, atau hanya bagian dari beberapa juz. Dalam katalog Leipzig ini, nama kitab tersebut disebut dengan al-Waṣāyā al-Qudsiyyah. Jarak antara penyalinan naskah dengan wafat Syekh al-Khawwafi selisih 224 tahun.
Kitab ini berisi tentang petunjuk bagi orang-orang yang ingin mendekatkan diri kepada Allah. Petunjuk tersebut ia bagi berdasarkan tingkat murīd yang ingin mendekatkan diri pada Allah, tingkat orang awam dan tingkatan orang khāṣ, atau dalam istilah Syekh Ibn ‘Athaillah tingkatan tajarrud.
Dalam kitab ini disebut juga beberapa kutipa para sufi pendahulunya, seperti Imam al-Junaidi, Abu Yazid al-Busthami, Abu Bakar al-Warraq al-Turmudzi, imam al-Fuhdail., Abu al-Husain al-Nuri, Abu Said al-Kharraz, Abu Hazmah al-Khurasani, Abu al-‘Abbas al-Dinawari, Abu al-Qasim al-Nashr Abadi, Abu al-Qasim al-Qusyairi, Najm al-Din al-Kursi. Selain itu, kitab ini juga diselingi dengan kutipan-kutipan bahasa Persia yang mana bahasa Persia merupakan bahasa nasional wilayah Khurasan pada waktu itu.
Selengkapnya di sini
Kamis 18 Juli 2019
Atorcator.Com - Silsilatul Haramain merupakan kitab kumpulan wiridan dan tawasul yang dikarang oleh K.H. Abdul Hannan, salah satu sufi dan wali Allah yang dimakamkan di komplek pemakanan Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon. Menurut beberapa sumber, kitab wiridan tersebut dikarang oleh Kiai Hannan saat beliau melakukan ibadah haji di Tanah Suci Makkah. Kiai Hannan merupakan ulama yang hidup pada abad ke-19. Pada abad tersebut, beberapa ulama Nusantara menjadi ulama terkemuka di sana, seperti Syekh Mahfuz Termas, Syekh Nawawi Banten, dan lain sebagainya.
Silsilatul Haramain berarti ‘rantai dua Tanah Suci, Makkah dan Madinah’. Karena dikarang di Tanah Suci, kemungkinan itulah alasan Kiai Abdul Hannan menamai kitab tersebut. Kitab wiridan tersebut secara turun temurun dibaca oleh keturunan dan para santrinya hingga kini. Karena wiridan dalam kitab tersebut diawali dengan kalimat ya hadiyu ‘Wahai Tuhan Zat Pemberi Hidayah’, para santri Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon sering menyebutnya dengan hadiyu. Aktivitas membaca wiridan tersebut disebut dengan hadiyuwan.
Pada umumnya, Silsilatul Haramain dibaca di kompleks Pesantren Babakan pada setiap malam Jumat atau bakda Jumat. Semua keluarga pesantren yang berada di kompleks Pesantren Babakan hampir seluruhnya membaca wiridan tersebut. Salah satu putra Kiai Abdul Hannan yang identik sebagai penerus dan pemimpin istikamahan wirid tersebut adalah Kiai Makhtum Hannan. Memang beliau bukan satu-satunya kiai yang mengistikamahan wiridan tersebut, namun pelopor pembacaan wiridan tersebut dalam acara istigasah kubra di makbarah Kiai Hannan adalah Kiai Makhtum.
Menurut buku Aku Bersama Sang Kiai, Kiai Makhtum Hannan pertama kali mengistikamahkan pelaksanaan istigasah kubra di kompleks pemakaman Kiai Abdul Hannan sejak tahun 1995. Kegiatan istigasah kubra itu diselenggarakan dua bulan sekali berjalan hingga kini. Setelah Kiai Makhtum wafat pada 21 Januari 2017, pembacaan wiridan tersebut diteruskan oleh keturunan, keponakan, keluarga, dan para jemaahnya.
Pada pembacaan tawasul Silsilatul Haramain yang ke-12 disebutkan beberapa nama-nama sufi dan wali Allah. Secara urut, tawasulan tersebut menyebutkan masyāyikh al-Qādiriyyah, wa an Naqsyabandiyyah seluruh ahli tarekat.
Setelah itu disebutkan secara khusus nama Syekh Abdul Qadir al-Jailani, Abu al-Qasim al-Junaidi, dan ulama-ulama lainnya. Hanya ada dua ulama yang disebutkan dengan nama kitab yang dianggitnya, yaitu Imam Muhammad al-Ghazali, pengarang Ihya ‘Ulum al-Din dan Imam Taj al-Din al-Khawwafi, penulis al-Risālah al-Qudsiyyah.
Saya yakin, bagi kalangan santri pada umumnya, nama Imam al-Ghazali tidak asing lagi. Namun saya pribadi, baru mendengar nama yang kedua saat membaca wiridan tersebut sekitar 17 tahun silam. Apalagi kitab al-Risālah al-Qudsiyyah, sepengetahuan saya, tidak diajarkan di pesantren-pesantren. Belakangan, saya mencoba menelusuri keberadaan cetakan atau manuskrip kitab tersebut melalui googling. Ternyata saya belum menemukan versi cetak kitab tersebut, dan hingga saat ini tidak ditemukan keberadaan manuskrip kitab tersebut di Indonesia.
Manuskrip Al-Risālah al-Qudsiyyah
Berdasarkan penelusuran, penulis tidak menemukan uraian para peneliti mengenai kitab Al-Risālah al-Qudsiyyah. Namun, penulis menemukan tulisan H.T. Norris dalam jurnal Bulletin of the School of Oriental and African Studies, University of London, Vol. 53, No. 1 (1990), tentang karya lain Syekh Zain al-Din al-Khawwafi. Karya lain tersebut berjudul Mir’āt al-Ṭālibīn.
Menurut tulisan ini, Syekh Zain al-Din al-Khawwafi memiliki nama lengkap Muhammad bin Muhammad bin Ali bin Abu Bakar al-Khawafi al-Harawi yang lahir di Khurasan pada 757 Hijriah atau 1356 Masehi. Saat ini, Khurasan adalah istilah modern untuk wilayah timur Persia kuno sejak abad ke-3. Khurasan Raya meliputi wilayah yang kini merupakan bagian dari Iran, Afganistan, Tajikistan, Turkmenistan, dan Uzbekistan. Syekh Zain al-Din al-Khawwafi wafat pada 838 Hijriah atau 1435 Masehi di Herat, yang kini masuk dalam teritori Afganistan.
Melalui data daring, penulis menemukan salinan manuskrip al-Risālah al-Qudsiyyah yang tercecer di beberapa negara. Di antaranya Turki, Suriah, Palestina, dan Arab Saudi. Satu-satunya manuskrip al-Risālah al-Qudsiyyah yang dapat diakses dalam bentuk digital adalah manuskrip koleksi Universitas Leipzig, Jerman.
Menjadi maklum bila manuskrip tersebut ditemukan salinannya di beberapa negara. Hal ini karena, menurut Al-Zirikli dalam al-A’lām, Zain al-Din al-Khawwafi melakukan perjalanan ilmiah ke beberapa negara, di antaranya Mesir, Syam (Suriah dan sekitarnya), dan Hijaz.
Mansukrip ini merupakan salinan milik Muhammad Sizai. Penyalinan tersebut selesai dilakukan pada 15 Ramadan 1062 atau 20 Agustus 1662 di Turki. Penulis tidak dapat berasumsi lebih jauh apakah kitab yang terdapat digitalnya ini merupakan versi utuh, atau hanya bagian dari beberapa juz. Dalam katalog Leipzig ini, nama kitab tersebut disebut dengan al-Waṣāyā al-Qudsiyyah. Jarak antara penyalinan naskah dengan wafat Syekh al-Khawwafi selisih 224 tahun.
Kitab ini berisi tentang petunjuk bagi orang-orang yang ingin mendekatkan diri kepada Allah. Petunjuk tersebut ia bagi berdasarkan tingkat murīd yang ingin mendekatkan diri pada Allah, tingkat orang awam dan tingkatan orang khāṣ, atau dalam istilah Syekh Ibn ‘Athaillah tingkatan tajarrud.
Dalam kitab ini disebut juga beberapa kutipa para sufi pendahulunya, seperti Imam al-Junaidi, Abu Yazid al-Busthami, Abu Bakar al-Warraq al-Turmudzi, imam al-Fuhdail., Abu al-Husain al-Nuri, Abu Said al-Kharraz, Abu Hazmah al-Khurasani, Abu al-‘Abbas al-Dinawari, Abu al-Qasim al-Nashr Abadi, Abu al-Qasim al-Qusyairi, Najm al-Din al-Kursi. Selain itu, kitab ini juga diselingi dengan kutipan-kutipan bahasa Persia yang mana bahasa Persia merupakan bahasa nasional wilayah Khurasan pada waktu itu.
Selengkapnya di sini
- Ibnu Kharis Peneliti el-Bukhari institute