Penulis: Idris
Masudi
Ahad 14 Juli
2019
foto; Islami.co |
Atorcator.Com -
Tak banyak Kiai di Indonesia yang mendapatkan gelar “Syaikh”. Gus
Mus sebagaimana disampaikan ulang oleh Kiai Husein Muhammad (2015)-pernah menyampaikan kepada publik dalam sebuah seminar bahwa sebutan Syaikh
hanya disandang oleh dua orang kiai; Syaikh Duki (Masduqi) Lasem, kiai ahli
ushul fikih dan satunya aku sudah lupa.”
Mungkin, yang
dimaksud Gus Mus dalam kutipan di atas memang tengah mengecualikan beberapa
ulama Indonesia yang sudah masyhur bergelar Syaikh seperti Syaikh Ihsan Jampes
Kediri, Syaikh Mahfudz At-Termasi Pacitan, ataupun ulama Indonesia yang datang
belakangan dan berkiprah di Timur Tengah seperti Syaikh Yasin Padang (Allahu
Yarhamhum). Pertanyaannya kemudian adalah siapa Syaikh-selain Syaikh Masduqi yang tidak sempat disebutkan oleh Kiai Husein di atas? Saya menduga
Syaikh yang namanya tidak disebutkan oleh Kiai Husein tersebut adalah Syekh
Mas’ud Kawunganten Cilacap.
Dugaan ini
didasarkan pada artikel Gus Dur yang pernah diterbitkan di majalah Tempo
tanggal 18 September 1982. Dalam artikel yang diberi judul Syekh
Mas’ud Memburu Kitab ini, Gus Dur mengulas sosok Kiai Mas’ud yang memiliki
pengetahuan mendalam dalam disiplin ilmu Ushul Fiqh beserta kaidahnya. “Dua
perangkat yang harus dikuasai dengan baik oleh seorang ahli hukum Islam yang
sehingga ia layak disebut seorang “Syaikh”.” Tandas Gus Dur.
Syaikh Mas’ud
-masih menurut Gus Dur- adalah kiai yang berhasil “menyelamatkan” naskah Mahahijul
Imdad. Sebuah karya Syaih Ihsan Jampes yang berisi tentang komentar atas kitab Irsyadul
Ibad.
Mengenal Syaikh
Mas’ud
Syekh Mas’ud
lahir di Kawunganten Cilacap dari pasangan Muhyidin dan Sangadah pada tahun
1923. Ia anak kedua dari sembilan bersaudara. Ayahnya adalah seorang guru
ngaji di masyarakat yang bekerja sebagai buruh tani.
Syekh Mas’ud
adalah seorang tipikal kiai yang sederhana. Meskipun dikenal memiliki kecapakan
dan keahlian yang luar biasa, penampilannya sangat sederhana. Dalam hal
ini, Gus Dur (1982) mengungkapkan:
Orangnya
sederhana. Dalam pergaulan sangat bersikap rendah hati kepada orang lain,
bahkan kepada yang lebih muda umurnya sekalipun. Suaranya tidak pernah
dikeraskan. Penampilannya adalah penampilan kiai ‘kampung’ yang tidak ada
‘kegagahan’nya sedikit pun.
Pendidikan
agamanya dimulai dari ayahnya sendiri. Kemudian saat usianya menginjak umur
sepuluh tahun ia dikirim oleh ayahnya untuk belajar kepada Kiai Hanafi di Desa
Sarwadadi yang lokasinya tidak jauh dari tempat tinggalnya. Di bawah asuhan
Kiai Hanafi ia belajar al-Quran dan menamatkannya di tahun 1936. Kemudian tanpa
sepengetahuan ayahnya, ia melanjutkan belajarnya ke Mojosari Kebumen. Di bawah
bimbingan Kiai Ahmad, Mas’ud memperdalam ilmu gramatikalnya hingga
menghafal dan memahami kitab Alfiyyah Ibn Malik.
Setelah belajar
selama empat tahun di Kebumen, Mas’ud merasa semakin dahaga dalam mempelajari
ilmu agama. Pada tahun 1940 ia melanjutkan pengembaraannya ke pesantren
Al-Ihsan Jampes dan belajar langsung di bawah asuhan Syekh Ihsan Jampes. Di
sini ia belajar selama tujuh tahun dan memfokuskan diri untuk lebih memperdalam
pengetahuannya di bidang ilmu fikih.
Dari Pesantren
al-Ihsan Jampes, tepatnya pada tahun 1947, ia melanjutkan pendidikannya ke
pesantren Darul Hikam Bendo Pare Kediri. Sebuah pesantren “keramat” yang
melahirkan sejumlah Kiai-Kiai besar di seantero Jawa. Sebut saja Mbah Sahal
Mahfudz (Rais Aam PBNU 1999-2014), Abuya Dimyathi Banten, Syekh Mahmud Bode
Cirebon, dan Kiai-Kiai besar lainnya. Di Pesantren Bendo ini, Syekh Mas’ud
selama sepuluh tahun mempelajari lebih dalam tentang disiplin ilmu fikih
beserta kaidah-kaidahnya.
Selain belajar
di pesantren-pesantren yang telah disebutkan di atas, Syekh Mas’ud tercatat
belajar ke sejumlah pesantren dan Kiai besar lainnya di tanah Jawa seperti
kepada KH. Zubair bin Dahlan (ayahanda Mbah Maimun Zubair) Al-Anwar Sarang
Rembang, Syaikh Masduqi Lasem (ayah mertua KH. Taufiq Pekalongan dan KH.
Miftakhul Akhyar wakil Rais Aam PBNU 2015-2020), KH. Wahid Hasyim Tebu Ireng
Jombang, KH. Ahmad Syu’aib Sarang Rembang, hingga belajar kepada Syaikh Ismail
Zain Yaman dan Syaikh Yasin Padang.
Selengkapnya
bisa dibaca di Islami.co
- Idris Masudi Penyecap kopi, Pemburu Senja, Pengabdi di Lakpesdam PBNU dan Pascasarjana UNUSIA Jakarta