Penulis: Mohammad Hafid
Ahad 29 September 2019
Atorcator.Com - Wajah Indonesia akhir-akhir ini terlihat buram dan murung. Ada
banyak isu dan permasalahan pelik yang muncul didalamnya khususnya ditahun
politik. Mulai dari awal tahun politik seperti adanya saling serang
antara kubu satu dengan kubu lainnya, kriminalisasi berkedok makar, kisruh
Papua, dan kebakaran hutan, hingga ke yang paling terbarukan seperti isu
pelemahan KPK, dan usaha pengesahan RUU KUHP aneh serta kontroversial menjadi
bukti autentik buram dan murungnya Negara kita.
Suasana menjadi tidak elok, penuh
ketegangan dan bahkan dipandang berada dalam kondisi tidak baik serta
memperihatinkan. Sehingga kaum muda yang terdiri dari mahasiswa se-Indonesia
terketuk hatinya untuk turun ke jalan melakukan unjuk rasa atau demonstrasi
selama dua hari ini.
Untuk rasa atau demonstrasi (demo) diartikan
sebagai bentuk gerakan protes yang dilakukan dimuka umum untuk menyampaikan
aspirasi, mengontrol, menolak dan menentang sebuah sikap, kebijakan serta lain
sebagainya. Unjuk rasa ini umumnya dilakukan oleh mahasiswa dan boleh juga
dilakukan kelompok tertentu. Ya, walaupun kadang dilakukan dengan cara anarkis
seperti pengrusakan dan pembakaran.
Selanjutnya, pertanyaan yang harus
dipikirkan oleh kita sekarang sebagai umat Islam adalah bagaimana kita
menyikapi perbuatan demo tersebut? Apakah ia menjadi sesuatu yang dilegalkan
dalam islam sebagai agama kita? Atau malah sebaliknya? Terus bagaimana
tanggapan ulama kontemporer akan eksistensinya?
Unjuk rasa atau demonstrasi secara
detail dan tersurat memang tidak pernah ditemukan dalam Al-Qur’an, hadis dan
kajian ulama klasik. Sehingga menjadi tanggung jawawb ulama’ kontemporer untuk
memberikan jawaban dan kajian terkait hukumnya. Agar islam juga bisa tetap
dikatakan sebagai agama yang hidup dan adaptif terhadap permasalahan baru.
Unjuk rasa sebagai produk hukum
kontemporer yang belum ditemukan padanannya dalam kajian fikih islam klasik
tentunya berada dalam ranah fikih. Bukan dalam ranah sayariat. Namanya fikih
pastinya tetap memiliki dua kemungkinan hukum dalam pandangan ulama. Boleh dan
tidak boleh. Dari itu, ulama kontemporer tidak dalam satu sata terkait
hukumnya.
Ada yang mengatakan boleh seperti Dr., Yusuf al-Qardhawi, Dr.,
Salman al-Audah, Dr, Mohammad shaleh al-Munjid, Dr., Anwar al-Dabbur, Dr., Anas
Abu Atha’ dan beberapa lembaga fatwa ulama lainnya seperti di Mesir, di Irak
dan negara lainnya.
Di samping itu, ada yang tidak
memperbolehkan seperti kelompok ulama yang mengatasnamakan kelompok ulama
Salafi seperti Syekh Nasiruddin al-Albani, Syekh Muhammad bin Shaleh
al-Ustsaimin, Syekh Adul Aziz bin Baz, Syekh Shaleh al-Fauzan dan lain
sebagainya. Karena menurut mereka, perbuatan ini tidak dicontohkan oleh Nabi
dan para sahabatnya sehingga termasuk bid’ah yang harus dihindari. Disamping
itu, perbuatan dimaksud dikatagorikans sebagai bentuk tasyabbuh dengan
orang-orang kafir.
Bagi kalangan ulama kontemporer yang
memperbolehkan, sekalipun perbuatan ini tidak diatur secara tersurat dalam Al-Qur’an dan Hadis
namun adanya ayat ayat dan hadis yang berbicara tentang anjuran menyuruh kepada
kebaikan dan anjuran mencegah kemungkaran sudah menjadi bukti kuat akan
kebolehan perbuatan demontrasi.
Allah berfirman dalam surah Ali
Imran Ayat: 104 berikutt:
ولْتَكُنْ
مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ
وَيَنْهَوْنَ عَنْ الْمُنْكَرِ وَأُوْلَئِكَ هُمْ الْمُفْلِحُونَ
Dan hendaklah ada di antara kamu
segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma´ruf dan
mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS:Ali
Imran: 104).
Ditegaskan kembali oleh sabda Nabi
Muhammad saw berikut:
مَنْ رَأَى
مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ
فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ
اْلإِيْماَنِ.
“Barangsiapa di antara kalian
melihat kemunkaran, maka hendaklah ia merubah dengan tangannya, jika tidak
mampu lakukanlah dengan lisannya, dan jika tidak mampu juga, maka dengan
hatinya. Itulah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim:49/78)
Mereka menalar dan mengambil
kesimpulan dari ayat dan hadis diatas khususnya, bahwa amar makruf nahi mungkin
merupakan sebuah kewajiban bagi umat islam. Sedang unjuk rasa dan demonstrasi
menjadi salah satu cara dari sekian banyak cara untuk membangkitkan semangat
amar makruf dan nahi mungkar. Maka dari itu, perbuatan ini masuk kedalam bagian
dakwah nahi mungkar melalui tindakan dan sikap.
Bahkan bagi mereka perbuatan ini
bisa menjadi wajib pada kondisi-kondisi tertentu berdasarkan kaidah ma
la yatimmul wajib illa bihi fahuwa wajib (sesuatu yang menjadi media
terlaksananya sebuah kewajiban maka juga menjadi wajib dilakukan). Init terjadi
jika didasarkan pada pendapat ulama tentang kewajiban perintah dalam ayat dan
hadis di atas.
Intinya, berdasarkan ranah perbuatan
ini termasuk dalam katagori fikih maka hukumnya berada diantara dua pendapat
dari kalangan ulama kontemporer. Boleh adan tidak boleh. Berdasarkan dalil yang
sudah dikemukakan diatas. Akan tetapi bagi penulis, bisa ditarik benang merah
bahwa demontrasi yang dilakukan dengan cara yang baik dan sopan tentunya tidak
jadi masalah dan diperbolehkan.
Berbeda jika sebaliknya. Ia
dilakukan dengan dengan cara kotor dan anarkis tentunya menjadi sesuatu yang
hina dan tidak dapt diperbolehkan. Karena sejatinya amar makruf nahi mungkar
bagaimanapun bentuknya tetap harus dilakukan dengan cara yang baik dan
beretika. Wallahu A’lam
Lihat: al-Mudzaharat
al-Silmiyah Bain al-Masyru’iyyah wa al-Ibtida’: Dirasah Muqaranah,
Ismail Muhammad al-Buraisyi, halaman 143-144)
*Tulisan sebelumnya dimuat di
BincamgSyariah
Mohammad Hafid Dosen
Program Studi Hukum Keluarga Islam Sekolah Tinggi Ilmu Syariah As Salafiayah
STISA Sumber Duko Pakong Pamekasan