Penulis: Muahmmad Ibnu Sahroji
Atorcator.Com - Sejak
9 September 2019, kanal youtube NU
Channel menayangkan trailer film The Santri. Hingga 17
September, video trailer tersebut mendapatkan lebih dari 900 ribu penonton, 35
ribu likes, 13 ribu unlikes, dan 8 ribu komentar. Setelah saya telusuri,
rata-rata komentar bernada negatif terhadap film yang akan tayang bertepatan
dengan hari santri 22 Oktober tersebut.
Saya
pribadi tentu saja belum menonton utuh film tersebut. Hanya melihat trailer-nya.
Sekilas, saya bisa memahami kenapa orang-orang berkomentar negatif terhadap
film tersebut. Saking negatifnya, sampai-sampai Hanif Alathas, menantu Habib
Rizieq Shihab, Imam Besar FPI, dengan mengatasnamakan diri sebagai ketua FSI
(Forum Santri Indonesia) menyatakan menolak penayangan film tersebut karena
tidak memperlihatkan nilai-nilai santri dan tidak menjunjung nilai islam ahlu
sunnah wal jamaa’ah.
Penolakan
tersebut amat sangat bisa diprediksi. Selama ini kita memang terbiasa melihat
apapun yang dilakukan oleh PBNU saat ini, maka akan ditolak oleh mereka yang
berada di barisan FPI, NU Garis Lurus, dan lainnya. Setelah
biasanya mereka saling tolak-menolak hal-hal berbau politis, rasanya baru kali
ini yang menjadi kontroversi adalah soalan non politis. Maklumlah, muslim
Pilpres sudah usai, dan musim Pilkada belum juga disemai.
Pasca
melihat trailer film “The Santri” setidaknya saya menduga ada dua atau tiga
adegan yang menjadi kontroversi, yakni adegan santri putri (diperankan oleh
Wirda Mansur) yang curi-curi pandang dengan santri putra (diperankan oleh Gus
Azmi), adegan ketika santri putra bertemu berduaan saja dengan santri putri dan
memberikan sesuatu sebagai pengingat sebelum mereka berpisah, dan adegan dua
orang santri putri yang masuk ke gereja, membawa nasi tumpeng dan
mempersembahkannya pada deretan pemuka agama non-muslim.
Kenapa
adegan-adegan tersebut harus ada? Saya rasa jawabannya adalah karena pertama,
sebuah film harus memperlihatkan sisi drama romantis kalau mau laku. Hambar
rasanya jika film yang kita tonton tidak ada sama sekali dialog antara lawan
jenis. Kedua, karena film ini konon kabarnya dibuat untuk menggambarkan peran
santri dalam menjaga toleransi dan kerukunan antar umat beragama di dunia.
Kenapa
dua hal tersebut ditolak? Jelas karena ada banyak pihak di Indonesia ini yang
merasa dirinya sebagai santri. Ada santri tradisional, santri modern, dan
bahkan santri kombinasi. Semua merasa santri. Sebagai santri, mereka merasa
selama mereka menempuh pendidikan di pesantren, tidak ada celah sama sekali
kemungkinan santri putra bisa curi pandang dengan santri putri, apalagi sampai
berjumpa berduaan dan memberikan sesuatu, entah apapun sesuatu itu. Di
pesantren itu dianggap sebagai sebuah pelanggaran berat yang berujung pada
dikeluarkan dari pesantren atau dinikahkan pada saat itu juga agar tidak
menjadi fitnah.
Berikutnya,
memang semua pihak bersepakat bahwa santri berperan penting dalam meningkatkan
toleransi di Indonesia ini. Tapi tidak sampai berlebihan juga. Memang benar ada
santri yang bersilaturrahim dengan warga non-muslim, tapi itu di rumahnya,
tidak sampai lebay datang ke tempat peribadatan mereka juga.
Ala
kulli hal,
sebenarnya saya suka dengan pesan yang hendak dibawa oleh film ini, yakni ingin
menunjukkan bahwa santri bisa kemana saja. Film ini menunjukkannya dengan
keberhasilan ambisi untuk bisa keliling dunia. Film ini juga hendak menunjukkan
kerukunan umat beragama di dunia. Hal itu pun saya setuju. Tetapi pesan baik
dalam film tersebut akhirnya luntur karena kontroversi yang muncul. Siapa yang
lantas bertanggungjawab akan hal ini?
Livi Zheng sebagai seorang sineas memang
lebih terkenal dengan kenarsisan dan kontroversinya ketimbang prestasinya. Ia
narsis karena mengaku berhasil masuk dalam jagat perfilman Hollywood dan
menembus nominasi Oscar. Banyak pihak yang meragukannya. Ya pokoknya dia kontroversial
dan narsis lah. Saya sebagai penulis rasanya tak perlu lagi menambahi hal ini.
Silahkan anda googling saja.
Kenapa
bisa ada adegan antar santri “berhubungan” dan kenapa ada adegan santri yang
masuk gereja, saya rasa adalah karena sang Sutradara yang kurang “nyantri”.
Livi yang berwajah oriental dan belum pernah menjadi seorang santri sepanjang
hidupnya saya rasa agak kurang memahami dunia pesantren pada umumnya. Ia kurang
paham batasan hubungan antara santri putri dan santri putra. Ia juga tak paham
bahwa toleransi di dunia pesantren pun memiliki batasan tertentu.
Andai
saja Livi terlebih dahulu melakukan riset yang mendalam tentang dunia
kepesantrenan, saya rasa kontroversi ini tidak akan terjadi. Meski memang dalam
hati kecil saya, rasanya akan lebih ramai kalau film ini disutradarai oleh Joko
Anwar saja. Para pembaca rasanya pasti tahu betapa antara keduanya suka banget dibanding-bandingkan
oleh para netizen. Meski nampaknya circle netizen-nya berbeda
dengan netizen yang mengkritik sampai mencaci Yusuf Mansur dan
sang putri.
Tetap
tersenyum dan Wallahu A’lam.
*Tulisan ini sebelumnya dimuat di BincangSyariah
Muhammad Ibnu Sahroji Kandidat Doktor Uin Syarif Hidayatullah