Penulis: Saefudin Achmad
Rabu 4 September 2019
Atorcator.Com - Disertasi Abdul Aziz yang kontrovesi tentang konsep Milk Al-Yamin yang diaggap sebagai keabsahan hubungan seks di luar nikah sebenarnya bukan barang baru. Berdasarkan berita-berita di media (saya belum baca disertasinya secara lengkap), Saya anggap tidak ada kebaruan dari disertasi itu. Abdul Aziz terlihat hanya mengutip pemikiran Syahrur tentang konsep Milk Al-Yamin.
Konsep Milk Al-Yamin ala Syahrur sebenarnya sudah lama. Hanya saja, baru heboh di Indonesia karena baru ada yang berani mengangkat menjadi disertasi, yaitu Abdul Aziz. Kebetulan juga media ramai-ramai memberitakan sehingga menjadi heboh. Selain konsep Milk Al-Yamin, sebenarnya ada pemikiran-pemikiran Syahrur lain yang tidak kalah kontroversi.
Bagi orang Indonesia secara umum, nama Muhammad Syahrur mungkin kurang familiar. Tapi bagi akademisi di bidang tafsir, nama beliau sangat populer. Model tafsir ala Syahrur bahkan kerap menjadi bahan diskusi dan kajian yang cukup menarik minat. Sudah banyak skripsi, tesis, jurnal ilmiah yang mengkaji pemikiran-pemikiran Muhammad Syahrur. Orang yang kaget dengan pemikiran Muhammad Syahrur sepertinya minim literasi.
Muhammad Syahrur adalah pemikir muslim liberal dari Damaskus, Suriah, yang lahir pada 11 April 1938. Sepengetahuan saya saat ini beliau masih hidup dan menetap di Suriah. Beliau merupakan Profesor Teknik Sipil di Universitas Damaskus.
Terlepas dari benar-salah, model penafsiran ala Muhammad Syahrur tetap patut diapresiasi. Bagaimanapun, beliau telah 'berijtihad', mencurahkan tenaga dan pikirannya untuk menghasilkan karya monumental seperti 'Al-Kitab wa Al-Qur'an; Qira'ah Mu'ashirah', Nahw Ushūl al-Jadīdah Li al-Fiqh al-Islāmy, 'Dirasah Islamiyyah Mu'ashirah fi ad-Daulah wa al-Mujtama', serta Al-Iman wa Al-Islam'.
Toeri yang sangat terkenal yang beliau gunakan untuk menafsirkan Al-Qur'an dikenal dengan istilah teori hudud (batas). Teori ini metode memahami ayat-ayat hukum (muhkamat) sesuai dengan konteks sosio-historis masyarakat kontemporer agar ajaran Al-Qur'an tetap relevan dan kontekstual sepanjang masih dalam wilayah batas-batas hukum Allah SWT (hududullah). Dari teori ini kemudian lahir pemikiran Syahrur yang kontroversi seperti Konsep Milk Al-Yamin yang membolehkan hubungan seks di luar nikah. Selain Milk Al-Yamin, masih ada beberapa pemikiran kontroversi hasil dari teori hudud, di antaranya:
Pertama, Soal Poligami
Syahrur berpendapat bahwa poligami hanya diperbolehkan dalam kondisi darurat karena pada dasarnya Islam menganut prinsip monogami. Teori hudud beliau pergunakan untuk membuat dua persyaratan bagi orang yang hendak poligami, yaitu kuantitas dan kualitas.
Menurutnya, secara kuantitas, batas minimal (haddul adna) poligami adalah dua, dan batas maksimal (haddul a'la) poligami adalah empat. Secara kualitas, orang yang hendak poligami harus berusaha dapat berlaku adil, dan perempuan yang hendak dipoligami harus berstatus janda dan memiliki anak yatim. Secara sederhana, orang yang berpoligami tanpa memenuhi syarat-syarat di atas, artinya dia telah melanggar hudud Allah.
Kedua, soal Jilbab
Syahrur berpendapat bahwa jilbab yang dipakai oleh perempuan untuk menutupi seluruh tubuh adalah tradisi agama-agama Persi. Konsep jilbab pada awalnya adalah untuk membedakan antara perempuan merdeka dan budak.
Dari aplikasi teori hudud-nya, Syahrur berpendapat bahwa batas minimal (haddul adna) pakaian perempuan adalah pakaian yang menutup aurat besar (al-juyub) perempuan yang meliputi farji, dua pantat, dubur, dan dada (payudara). Sedangkan batas maksimal (haddul a'la) aurat perempuan ketika bersama laki-laki lain yang bukan mahram adalah seluruh anggota tubuh kecuali muka dan telapak tangan.
Artinya, perempuan yang berpakaian lebih seksi sampai aurat besar (al-juyub) terlihat dianggap telah melanggar haddul adna. Pun begitu bagi perempuan yang berjilbab dan menggunakan cadar sampai wajahnya tidak kelihatan, dianggap telah melanggar haddul a'la (batas bawah). Dari sini secara tidak langsung Syahrur seperti ingin mengatakan perempuan yang menampakkan aurat besar sama jeleknya dengan perempuan yang bercadar karena sama-sama melanggar batas.
Itu sekilas produk pemikiran Muhammad Syahrur hasil dari teori hudud-nya yang sangat terkenal. Terlepas dari salah dan benar sebuah pemikiran, dalam ranah akademik sebuah produk pemikiran tetap layak untuk diapresisi. Bagi yang tidak sepakat dengan pemikiran Syahrur, bisa memberikan kritik secara elegan seperti yang dicontohkan oleh para ulama. Jangan sampai yang tidak sepakat dengan Syahrur hanya bisa nyinyir, marah-marah, mencaci maki, bahkan sampai men-judge murtad dan kafir.
Kritik yang elegan yaitu dengan membuat karya tandingan untuk membantah pemikiran Syahrur sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Imam Ghazali yang tidak sepakat dengan pemikiran para filusuf. Beliau menulis kitab Tahafut Al-Falasifah untuk mengritik pemikiran para filusuf. Pun begitu dengan Ibnu Rusyd yang tidak sepakat dengan pemikiran Imam Ghazali dalam kitab Tahafut Al-Falasifah, lalu beliau membuat kitab tandingan yaitu Tahafut At-Tahafut.
Saya rasa tradisi saling memberikan kritik secara elegan (lewat sebuah karya) sangat bagus bagi perkembangan pemikiran Islam. Saya yakin Syahrur sangat senang dan terbuka jika ada yang mau mengkritisi pemikirannya asalkan ilmiah dan berbasis data serta argumen yang kuat dan logis.
Syaefudin Achmad Dosen IAIN Salatiga Asal Purbalingga Jawa Tengah
Rabu 4 September 2019
Ilustrasi: Muhammad Syahrur |
Konsep Milk Al-Yamin ala Syahrur sebenarnya sudah lama. Hanya saja, baru heboh di Indonesia karena baru ada yang berani mengangkat menjadi disertasi, yaitu Abdul Aziz. Kebetulan juga media ramai-ramai memberitakan sehingga menjadi heboh. Selain konsep Milk Al-Yamin, sebenarnya ada pemikiran-pemikiran Syahrur lain yang tidak kalah kontroversi.
Bagi orang Indonesia secara umum, nama Muhammad Syahrur mungkin kurang familiar. Tapi bagi akademisi di bidang tafsir, nama beliau sangat populer. Model tafsir ala Syahrur bahkan kerap menjadi bahan diskusi dan kajian yang cukup menarik minat. Sudah banyak skripsi, tesis, jurnal ilmiah yang mengkaji pemikiran-pemikiran Muhammad Syahrur. Orang yang kaget dengan pemikiran Muhammad Syahrur sepertinya minim literasi.
Muhammad Syahrur adalah pemikir muslim liberal dari Damaskus, Suriah, yang lahir pada 11 April 1938. Sepengetahuan saya saat ini beliau masih hidup dan menetap di Suriah. Beliau merupakan Profesor Teknik Sipil di Universitas Damaskus.
Terlepas dari benar-salah, model penafsiran ala Muhammad Syahrur tetap patut diapresiasi. Bagaimanapun, beliau telah 'berijtihad', mencurahkan tenaga dan pikirannya untuk menghasilkan karya monumental seperti 'Al-Kitab wa Al-Qur'an; Qira'ah Mu'ashirah', Nahw Ushūl al-Jadīdah Li al-Fiqh al-Islāmy, 'Dirasah Islamiyyah Mu'ashirah fi ad-Daulah wa al-Mujtama', serta Al-Iman wa Al-Islam'.
Toeri yang sangat terkenal yang beliau gunakan untuk menafsirkan Al-Qur'an dikenal dengan istilah teori hudud (batas). Teori ini metode memahami ayat-ayat hukum (muhkamat) sesuai dengan konteks sosio-historis masyarakat kontemporer agar ajaran Al-Qur'an tetap relevan dan kontekstual sepanjang masih dalam wilayah batas-batas hukum Allah SWT (hududullah). Dari teori ini kemudian lahir pemikiran Syahrur yang kontroversi seperti Konsep Milk Al-Yamin yang membolehkan hubungan seks di luar nikah. Selain Milk Al-Yamin, masih ada beberapa pemikiran kontroversi hasil dari teori hudud, di antaranya:
Pertama, Soal Poligami
Syahrur berpendapat bahwa poligami hanya diperbolehkan dalam kondisi darurat karena pada dasarnya Islam menganut prinsip monogami. Teori hudud beliau pergunakan untuk membuat dua persyaratan bagi orang yang hendak poligami, yaitu kuantitas dan kualitas.
Menurutnya, secara kuantitas, batas minimal (haddul adna) poligami adalah dua, dan batas maksimal (haddul a'la) poligami adalah empat. Secara kualitas, orang yang hendak poligami harus berusaha dapat berlaku adil, dan perempuan yang hendak dipoligami harus berstatus janda dan memiliki anak yatim. Secara sederhana, orang yang berpoligami tanpa memenuhi syarat-syarat di atas, artinya dia telah melanggar hudud Allah.
Kedua, soal Jilbab
Syahrur berpendapat bahwa jilbab yang dipakai oleh perempuan untuk menutupi seluruh tubuh adalah tradisi agama-agama Persi. Konsep jilbab pada awalnya adalah untuk membedakan antara perempuan merdeka dan budak.
Dari aplikasi teori hudud-nya, Syahrur berpendapat bahwa batas minimal (haddul adna) pakaian perempuan adalah pakaian yang menutup aurat besar (al-juyub) perempuan yang meliputi farji, dua pantat, dubur, dan dada (payudara). Sedangkan batas maksimal (haddul a'la) aurat perempuan ketika bersama laki-laki lain yang bukan mahram adalah seluruh anggota tubuh kecuali muka dan telapak tangan.
Artinya, perempuan yang berpakaian lebih seksi sampai aurat besar (al-juyub) terlihat dianggap telah melanggar haddul adna. Pun begitu bagi perempuan yang berjilbab dan menggunakan cadar sampai wajahnya tidak kelihatan, dianggap telah melanggar haddul a'la (batas bawah). Dari sini secara tidak langsung Syahrur seperti ingin mengatakan perempuan yang menampakkan aurat besar sama jeleknya dengan perempuan yang bercadar karena sama-sama melanggar batas.
Itu sekilas produk pemikiran Muhammad Syahrur hasil dari teori hudud-nya yang sangat terkenal. Terlepas dari salah dan benar sebuah pemikiran, dalam ranah akademik sebuah produk pemikiran tetap layak untuk diapresisi. Bagi yang tidak sepakat dengan pemikiran Syahrur, bisa memberikan kritik secara elegan seperti yang dicontohkan oleh para ulama. Jangan sampai yang tidak sepakat dengan Syahrur hanya bisa nyinyir, marah-marah, mencaci maki, bahkan sampai men-judge murtad dan kafir.
Kritik yang elegan yaitu dengan membuat karya tandingan untuk membantah pemikiran Syahrur sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Imam Ghazali yang tidak sepakat dengan pemikiran para filusuf. Beliau menulis kitab Tahafut Al-Falasifah untuk mengritik pemikiran para filusuf. Pun begitu dengan Ibnu Rusyd yang tidak sepakat dengan pemikiran Imam Ghazali dalam kitab Tahafut Al-Falasifah, lalu beliau membuat kitab tandingan yaitu Tahafut At-Tahafut.
Saya rasa tradisi saling memberikan kritik secara elegan (lewat sebuah karya) sangat bagus bagi perkembangan pemikiran Islam. Saya yakin Syahrur sangat senang dan terbuka jika ada yang mau mengkritisi pemikirannya asalkan ilmiah dan berbasis data serta argumen yang kuat dan logis.
Syaefudin Achmad Dosen IAIN Salatiga Asal Purbalingga Jawa Tengah