Penulis: Nur Solikhin
Selasa 22 Oktober 2019 01: 00
Atorcator.Com - “Sebagai seorang santri,” tuturnya, sambil memegang sarung
dan menunjukkan bahwa dirinya adalah seorang santri. Ia mendorong agar para
santri bisa menulis. Baginya santri tidak kolot, mereka mampu berkreativitas,
misalnya menulis. Ketika salah seorang peserta Sekolah Menulis Kreatif (SMK)
yang diadakan oleh Komunitas Santri Gus Dur (SGD) pada 21 Oktober 2018 tersebut
memberikan statement seperti itu, sepenuhnya penulis mendukung. Namun, ketika
ia menunjukkan identitas santrinya dengan sarung, penulis kemudian nyeletuk dengan
teman samping, “Saya pakai celana dan kaos oblong, tapi saya dulu nyantri di
pesantren 5 tahun, saya masih santri nggak ya?”.
Tidak ada masalah ketika ada seseorang menunjukkan ia
sebagai santri dengan atribut sarung, peci dan lain sebagainya. Memang itu
semestinya seorang santri, kebiasaan menggunakan sarung, peci dikenakan ketika
di pondok pesantren, melekat hingga sudah menjadi alumni pondok pesantren.
Namun ada sebagian orang yang dulunya nyantri, atribut santri tidak dikenakan
lagi ketika ia di kampus atau sudah bekerja di kantoran, apakah masih santri
atau bukan? Pertanyaan itulah yang menjadikan bahan renungan penulis, siapakah
sebenarnya santri ketika hari ini, hari santri dirayakan oleh banyak orang.
Apakah mereka yang masih nyantri di pondok pesantren atau orang-orang yang
mengikuti para kiai dan mengamalkan nilai-nilai ajaran Islam dengan ramah?
Bagi penulis, santri tidak terbatas ketika ia masih nyantri,
dan tidak terbatas pada pakaian yang setiap saat melekat seperti sarung dan
peci. Sepertihalnya ketika penulis sudah menjadi mahasiswa, ada salah seorang
pembina Pramuka sewaktu di Madrasah Aliyah berkomentar di facebook penulis,
“bangga ya sekarang sudah tidak berpakaian Pramuka,” ujarnya. Komentar seperti
itu memang wajar, kalau Pramuka hanya dimaknai sebatas berseragam dan
bersepatu, kemudian berlatih baris-berbaris dan kedisiplinan. Lebih luas lagi,
penulis beranggapan, anak Pramuka tidak selamanya menjadi anak Pramuka kalau
dipahami sebatas identitas seragam Pramuka, namun ketika ia mengamalkan jiwa
sebagai anak Pramuka, ia tetap menjadi anak Pramuka. Jiwa Pramuka yang mencakup
kedisiplinan, sikap bersedia, siap dan setia, apabila menjadi landasan
hidupnya, ia bisa dikatakan anak Pramuka.
Begitu juga dengan santri, apabila santri hanya dipahami
sebatas identitas yang melekat pada dirinya, tidak mementingkan bagaimana
perilaku seorang santri ia hanya terbatas pada atribut yang melekat pada
dirinya. Ia dikatakan sebagai seorang santri, ketika ia mengenakan atribut
santri. Berbeda ketika santri tidak hanya dimaknai sebatas identitas, melainkan
sebagai sistem nilai, tanpa atau melekat pada atribut, ia akan menjadi seorang
santri. Santri bagi KH. Musthafa Bisri, merupakan murid kiai yang dididik
dengan kasih sayang, menjadi mukmin yang kuat, mempunyai akhlak yang baik,
mencintai tanah air, menghargai perbedaan, menghargai tradisi, menghormati kiai
dan orang tua yang mendidiknya, menyayangi sesama hamba Allah, tidak pernah
berhenti belajar kepada para kiai. Apabila nilai-nilai santri tersebut
dijadikan sebagai landasan hidup, di mana pun dan kapan pun ia akan menjadi
santri. Sistem nilai yang diambil dari pendidikan pesantren, kemudian
diterapkan dalam setiap kehidupan sehari-hari, jiwa santri ia selalu bawa tidak
lekang oleh waktu dan tempat. Ia akan selalu berperilaku santri, kepada siapa
pun
Kata Sifat dan Kata Kerja
Ketika memahami santri, penulis terinspirasi pada analisis Muhammad
Al-Fayyadl ketika menuliskan artikel “Gus Dur sebagai Kata Kerja,”. Bagi
Fayyadl, sekadar menjadi “Gus Durian”, berarti meletakkan Gus Dur sebagai kata
sifat, dan itu artinya menyematkan suatu identifikasi diri dengan Gus Dur
sebagai sumber nostalgia dan ingatan. Gus Dur, menurutnya tidak cocok untuk
sekadar menjadi kata sifat, menjadi ajektif, karena Gus Dur adalah pelaku,
subjek, yang sepanjang hidupnya bergulat dengan laku, dengan tindakan dan aksi.
Tapi para Gus Durian, baginya bukan copy paste dari Gus Dur, bukan
pula pengikut dari sebuah isme, atau fans club dari sebuah federasi
sepak bola Gus Dur. Baginya, mereka hanya orang yang ingin mengubah Gus Dur
dari kata sifat, menjadi kara kerja, kerja untuk Indonesia dengan atau tanpa
baju Gus Dur.
Begitu juga dengan santri, ketika dipahami sebagai kata
sifat, ia hanya menjadi bahan nostalgia saat nyantri dan menjadi ingatan
momentum saat di pondok pesantren. Ia memaknai santri terbatas saat di pondok
pesantren, selepas itu, ia tidak sebagai santri karena terbatas pada atribut.
Ia akan kembali menjadi santri, ketika mengenakan baju koko, peci, sarung dan
mengikuti pengajian atau sedang bersilaturahmi ke rumah kiainya. Ia akan
merayakan hari santri dengan bahan nostalgia saat nyantri.
Santri bukan hanya terbatas pada kata sifat, yang menjadi
sumber nostalgia dan ingatan. Santri dipahami sebagai bahan nostalgia dan
ingatan, kecil kemungkinan ia akan bisa menerapkan nilai-nilai pendidikan
pesantren pada dirinya, pun pada masyarakat. Santri tidak bisa menjadi sumber
inspirasi dalam setiap perilaku dan sikap, kalau hanya terperangkap pada
nostalgia.
Sebagaimana Gus Dur, walaupun ia sudah menjadi seorang
Presiden Republik Indonesia, ia masih menganggap dirinya sebagai seorang
santri. Baginya sebagai seorang santri, harus nurut apa yang
dikatakan oleh kiai, ketika ia menjadi presiden. Gus Dur ketika dewasa pun
masih menjalankan nilai-nilai yang diajarkan pesantren. Suka berziarah ke makam
para wali, bersilaturahmi ke para sahabat dan ke kiai, serta banyak hal lain
yang dilakukan sebagai seorang santri.
Santri tidak cukup kalau dipahami sebagai kata sifat. Santri
adalah pelaku resolusi jihad, berkontribusi untuk mempertahankan tanah air.
Peran santri pun banyak ikut andil dalam membangun bangsa Indonesia. Santri sudah
selayaknya menjadi kata kerja, kerja untuk masyarakat, mengabdi di berbagai
lini, mulai keagamaan hingga perekonomian, serta atau tanpa memakai atribut
santri.
Nur Solikhin, Penulis adalah mahasiswa Pasca Sarjana,
Psikologi Pendidikan Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan pegiat Komunitas
Santri Gus Dur Yogyakarta.
Tulisan sebelumnya di dimuat di Islami.co